Minggu, 26 April 2015 0 komentar

HUKUM WASIAT

HUKUM WASIAT
A.    PEMBUKAAN
Dewasa ini banyak kasus pembunuhan lantaran pembagian warisan yang menurut sebagian ahli warits tidak adil dalam pembagiannya. Kurangnya pemahaman akan permasalahan yang semakin hilang ini yaitu ilmu fara’idh membuat seseorang memberi bagian yang lebih besar kepada anak atau pada ahli warits yang lebih disayangi. Inilah yang menjadikan timbulnya banyak kejahatan dan permusuhan antara saudara hanya karena sebuah harta yang panas ini.
Mengenaskan memang, hanya lantaran harta seseorang sampai saling membunuh. Namun, itulah fakta hari ini. Banyak di antara manusia sebelum meninggal memberikan sebagian harta mereka diluar pembagian warits baik mereka adalah ahli warits ataupun bukan. Lalu apakah wasiat itu dan seberapa besarkah warta yang boleh diwasiatkan tanpa melupakan ahli warits yang lain?
B.     Pengertian wasiat
a.       Secara bahasa
Kata wasiat berasal dan bahasa arab "wasiyyat" (وصية) merupakan isim masdar yang bermakna tausiyyat yang tersusun dari tiga huruf asal yaitu و, ص dan ي  yang berarti jatuh dari kedudukan yang tinggi menyambung dan mempertemukan.[1]
            Dalam kamus al-Munjid keduanya berarti mengikat janji atas sesuatu, memerintahkan menjadikan hak milik setelah meninggal dunia seseorang dan menjadikan kepercayaan atas seseorang.[2]
b.      Secara Istilah
Wasiat adalah suatu perintah dengan mentasarufkan harta benda setelah meninggalnya orang yang berwasiat seperti berwasiat kepada seseorang untuk memelihara anak-anaknya yang masih kecil, menikahkan anak perempuan atau memisahkan sepertiga hartanya atau semisalnya.[3]
            Dalam Al-qur'an kata wasiat banyak ditemukan dengan arti dan makna yang berbeda-beda. Perbedaan ini disebabkan karena penggunaan kata-kata wasiat yang berbeda-beda dalam konteks permasalahannya diantaranya arti wasiat itu antara lain:
1)      Menunjukkan makna syari’at, sebagaimana firman Allah:
شَرَعَ لَكُم مِّنَ الدِّينِ مَاوَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَآ إِلَيْكَ وَمَاوَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى    
Artinya: "Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkannya kepada Nuh dan apa yang lelah kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa….." (QS. Asy-Syuura’ :13)
2)      Menunjukkan makna pesan, sebagaimana firman Allah yang artinya                                
Artinya: “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma´ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”(QS. Al-Baqarah:180)
3)      Menunjukkan makna nasehat, sebagaimana firman Allah:
وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ     
            Artinya “Dan nasehat menasehatilah supaya menaati kebenaran dan nasehat menasehatilah supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al-‘Ashr:3)
4)      Menunjukkan makna perintah, sebagaimana firman Allah:
وَصَّيْنَا اْلإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَىَّ الْمَصِيرُ                  Artinya : "Dari Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada kedua orang ibu bapaknya : ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambahtambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada ku dan kepada orang ibu bapakmu hanya kepada-Ku lah kembalimu." (QS. Luqman : 14)

C.     Hukum Wasiat

Wasiat merupakan salah satu amalan ibadah yang disyariatkan dalam Islam memiliki sumber hukum yang berdasarkan pada:
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ ٱلْمَوْتُ إِن تَرَكَ خَيْرًا ٱلْوَصِيَّةُ لِلْوَٰلِدَيْنِ وَٱلْأَقْرَبِينَ بِٱلْمَعْرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى ٱلْمُتَّقِينَ       
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma´ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”(Al-baqoroh:180)
Dalam surat al-Baqarah ayat 240 juga disebutkan:
Artinya: "orang-orang yang akan meninggal dunia di antaramu dan meninggalkan istri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri) maka tidak ada dosa baginya (wali atau waris dan yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (QS. Al-Baqarah; 240)
Ayat di atas menunjukkan secara jelas mengenai hak wasiat serta teknis pelaksanaannya, serta materi yang menjadi objek wasiat. Namun demikian, para ulama berbeda pendapat dalam memahami dan menafsirkan wasiat tentang hukum wasiat serta kedudukan Islam.
Hukumnya sunnah. Wasiat disunnahkan meski dilakukan oleh orang  yang  sehat  dan tidak dalam keadaan sakit, karena kematian datang tiba-tiba, maka mewasiatkan bagian tertentu harta yang dimiliki tidaklah wajib melainkan bagi orang yang memiliki tanggungan hutang, titipan, memiliki kewajiban atau tanggungan lainnya yang wajib diwasiatkan. Sesungguhnya Allah mewajibkan pelaksanaan amanat, dan jalannya melalui wasiat. Dalil tidak diwajibkannya  wasiat; mengenai wasiat, tidak dinukilkan dari mayoritas sahabat dan karena wasiat adalah tabarru’ atau pemberian yang tidak wajib dilaksanakan semasa hidup, maka setelah mati pun tidak diwajibkan, seperti pemberian kepada fakir miskin yang tidak ada hubungan apapun, baik karena keluarga ataupun kerabat. Sedangkan ayat yang artinya:
“diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma´ruf….”.(al-Baqoroh:180)
Dinaskh dengan firman-Nya yang berbunyi: “bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya…”(QS. an-Nisa’:7)
Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Abbas, Ibnu Umar pun mengatakan, “Ayat mengenai wasiat dinaskh dengan ayat tentang warisan.” Setelah hukum wasiat dinaskh, maka tetaplah hukum disunnahkan wasiat diberikan untuk orang yang tidak memiliki hak warits, sebagaimana hadits tersebuat diatas, “Sesungguhnya Allah bersedekah atas kalianketika kalian wafat, denagn menggunakan sepertiga harta kalian.”
Imam Ahmad meriwayatkan dari Muhammad bin sirin, katanya, ketika Ibnu ‘Abbas duduk dan membaca surat Al-baqoroh hingga sampai ayat ini:
ٱلْمَوْتُ إِن تَرَكَ خَيْرًا ٱلْوَصِيَّةُ لِلْوَٰلِدَيْنِ وَٱلْأَقْرَبِينَ بِٱلْمَعْرُوفِ
Jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat kepada ibu bapak dan karib kerabatnya, “ia pun mengatakan: ayat ini sudah dinaskh.”[4]
Sesuai dengan kesepakatan ahlu ilmi, yang lebih utama adalah membuat wasiat untuk para kerabat yang bukan asli waris yang dalam keadaan fakir, karena Allah SWT berfirman, “dan berikanlah hak kepada kerabat dekat…”(al-Israa’:26) maka wasiat dimulai dengan memberikannya kepada golongan ini. Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama)…..”(al-Ahzaab:6) berbuat baik ditafsiri sebagai wasiat.
Juga karena sedekah untuk mereka semasa hidup adalah lebih utama, maka demikian halnya setelah meninggal. Namun, jiak mereka membuat wasiat untuk orang lain dengan membiarkan kerabat dalam keadaan tersebut, menurut pendapat mayoritas ulama’, wasiat mereka tetap sah. Terkadang, hukum wasiat bisa menjadi makruh dan haram. Maka jelas bahwa wasiat ada empat macam bila dilihat dari sifat hukum syar’inya, yaitu sebagai berikut:
1.      Wajib
Contohnya seperti wasiat untuk mengembalikan barang titipan dan hutang yang tidak diketahui dan tanpa surat, atau wasiat akan kewajiban-kewajiban yang menjadi tanggungan seperti zakat, haji, kafarat, fidyah puasa, fidyah shalat, dan sejenisnya. Hukum ini telah disepakati.
Golongan syafi’iyah mengatakan, adalah disunnahkan membuat wasiat untuk membuat hak-hak yang berupa hutang, mengembalkan barang titipan, pinjaman, dan sejenisnya. Pelaksanaan wasiat-wasiat lain apabila ada: memperhatikan urusan anak-anak dan sejenisnya seperti orang-orang gila dan orang-orang yang baligh namun dalam keadaan idiot. Dan wasiat yang berkenaan dengan hak adami adalah wajib, seperti barang titipan dan barang yang di ghashab jika orang tersebuat tidak mengetahuinya.
2.      Mustahab
Contohnya seperti wasiat kepadda para kerabat yang bukan ahli warits, dan wasiat yang ditujukan untuk pihak atau kepentingan kebajikan dan untuk orang-orang yang membutuhkan. Orang yang meninggalkan kebaikan (memiliki harta yang banyak, menurut adat) disunahkan menjadikan seperlima hartanya untuk orang-orang fakir yang dekat, jika tidak ada, maka untuk orang-orang miskin dan orang-orang alim yang agamis.
3.      Mubah
Contohnya seperti wasiat yang ditujukan untuk orang-orang kaya, baik itu orang lain, atau para kerabat sendiri. Wasiat untuk mereka ini boleh.
4.      Makruh Tahrim menurut Hanafiyah
Contohnya seperti wasiat yang ditujukan untuk ahli fasik dan maksiat. Wasiat secara mufakat dimakruhkan bagi orang fakir yang memiliki ahli waris dalam keadaan kaya, maka wasiat berhukum dimubahkan.
      Secara mufakat, terkadang wasiat berhukum haram dan tidak benar, seperti wasiat berhukum haram dan tidak benar, seperti wasiat agar dilakukan sebuah maksiat, misalnya wasiat membangun gereja atau merenovasinya, wasiat menulis serta membacakan taurat dan injil, wasiat menulis buku-buku sesat dan filsafat serta ilmu-ilmu lain yang diharamkan, juga wasiat dengan menggunakan khamar atau wasiat untuk membiayai proyek-proyek yang membahayakan moralitas umum.
      Wasiat juga haram apabila diberikan kepada orang asing( yang bukan keluarga atau kerabat) dan melebihi sepertiga harta, juga wasiat sesuatu untuk ahli waris secara mutlak. Pendapat shahih golongan Hanafiyyah menyatakan bahwa wasiat lebih dari sepertiga harta makruh, sedang wasiat untuk ahli waris haram.
      Hal yang lebih utama adalah menyegerakan wasiat yang ditujukan untuk pihak atau kepentingan kewajiban semasa hidup dan tidak memperlambatnya hingga wafat. Karena bisa saja jika seseorang berwasiat, akan ada kesembronoan dalam pelaksanaan setelah dia meninggal, juga karena hadits riwayat Abu Hurairah r.a.
أي الصدقة أفضل قال أن تصدق وأنت صحيح شحيح تأمل الغنىوتخشى الفقرولا تمهل حتى إذا بلغتاالروح الحلقوم قلت : لفلان كذا ولفلان كذا وقد كان لفلان
“Rasulullah ditanya,’sedekah apakah yang paling utama?’ Beliau menjawab, ‘(Yaitu) kamu bersedekah, sedang kamu dalam keadaan sehat lagi bakhil, sedang kamu mengharapkan kaya dan takut kepada kefakiran. Janganlah memperlambat hingga ruh sampai pada kerongkongan, lalu kamu mengatakan, ‘untuk si A sekian, untuk si B sekian, padahal hal tersebut adalah milik si A dan si B.[5]
Sebagaimana yang dijelaskan sebelum ini bahawa pada peringkat permulaan Islam hukum berwasiat adalah wajib (lihat ayat 180 Surah al-Baqarah), namun hukum berkenaan telah dinasakhkan oleh ayat al-mawarits (ayat 11, 12, dan 176 Surah an-Nisa’). Walau bagaimanapun, amalan wasiat masih lagi digalakkan dengan had maksimum 1/3 harta pusaka dan ditujukan kepada bukan waris.
            Dengan demikian, sedekah semasa hidup lebih utama daripada wasiat, karena orang yang bersedekah akan mendapati pahala amal dihadapannya, dan juga karena jelasnya hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah diatas.[6]
D.    Rukun wasiat
Menurut Hanafiah rukun wasiat hanya satu, yairu ijab. Misalnya, orang yang berwasiat berkata, “Aku wasiatkan untuk Fulan ini dan itu.” Adapun qabul adalah syarat yang harus ada dalam wasiat untuk menetapkan kepemilikan bagi orang yang diberi wasiat.[7]
Sedangkan jumhur ulama (Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah) berpendapat rukun wasiat ada empat:
a.       Al-Mushi atau orang yang berwasiat
b.      Al-Musha lahu atau orang yang diberi wasiat
c.       Al-Musha bihi atau sesuatu yang diwasiatkan
d.      Shighah wasiat
E.     Syarat-syarat wasiat
Dalam wasiat ada syarat sah dan syarat pelaksanaan. Syarat syarat tersebut ada pada orang yang berwasiat, yang diberi wasiat dan wasiatnya.[8]
a.       Syarat orang yang berwasiat.
Syarat sah:
1)      Baligh 
2)      Berakal
Syarat nafadz (pelaksanaan):
1.      Tidak memiliki hutang yang senilai dengan semua hartanya, sebab membayar hutang lebih didahulukan daripada dilaksanakannya wasiat menurut ijma’.
2.      Memiliki harta waris 100 %
b.      Syarat orang yang mendapat wasiat
Syarat sah:
1.      Wujud, ada kehadirannya
2.      Ma’lum, diketahui orangnya
3.      Mampu da berhak untuk memiliki harta
4.      Bukan pembunuh orang yang berwasiat
5.      Bukan orang yang memerangi orang yang berwasiat
Syarat nafadz (pelaksanaan):
·         Bukan ahli waris orang yang berwasiat, jika ada ahli waris lain yang tidak mengizinkan. Jika sebagian ahli waris mengizinkan, maka wasiat boleh dilakukan. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alahi Wasallam:
 إن الله أعطى كل ذي حق حقه ، فلا وصية لوارث
“Sesungguhnya Allah telah memberi hak kepada setiap yang berhak, maka tidak ada wasiat bagi ahli waris.” (HR. Ibnu Majah, at-Tirmidzi dan Abu Dawud, derajat hadits shahih)
Perizinan dari ahli waris akan sah dengan dua syarat:
1.      Ahli waris yang mengizinkan adalah ahli tabarru’ yang mengerti keadaan harta warisan.
2.      Izin yang diberikan oleh ahli waris adalah setelah kematian pemberi wasiat.  Jika ahli waris mengizinkan ketika orang yang berwasiat masih hidup lalu mencabut izinnya setelah kematian orang yang berwasiat, maka pencabutan izin tersebut sah dan wasiatnya batal baik wasiat itu untuk ahli waris ataupun orang asing yang lebih dari 1/3 harta.
c.       Syarat yang menjadi wasiat
Syarat sah:
1.      Harta yang bisa diterima
2.      Berharga menurut adat yang sesuai dengan syari’at
3.      Bisa diterima dan dimiliki
4.      Bukan kemaksiatan atau sesuatu yang diharamkan syari’at, sebab tujuan wasiat adalah memperoleh kebaikan yang terlewatkan semasa hidup pemberi wasiat.
Syarat nafadz:
1.      Tidak tercampur dengan hutang
2.      Tidak lebih dari 1/3 harta harta waris jika pemberi wasiat memiliki ahli waris
d.      Syarat shighah
1.      Menggunakan lafadz yang jelas atau kiasan.
Contoh lafadz sharih, “Aku wasiatkan untuknya uang 100 ribu.” Lafadz sharih mengesahkan.
2.      Ada qabul dari orang yang diberi wasiat.
3.      Qabul dari orang yang diberi wasiat setelah kematian pemberi wasiat.
F.      Sebab-sebab atau  hikmah Wasiat
Sebab wasiat sama dengan sebab semua tabarru’, yaitu menghasilkan faedah kebaikan di dunia dan mendapatkan pahala di akhirat. Karena itu, Allah mensyariatkannya sebagai penguat amal shalih, balasan bagi orang yang telah mempersembahkan kebaikan kepada orang lain, menyambung silaturrahim dan para kerabat selain ahli waris, menutup kekurangan orang-orang yang membutuhkan, meringankan beban orang-orang yang lemah, orang-orang yang dalam keadaan sempit dan orang-orang miskin. Hal ini terealisasikan apabila ada komitmen kebajikan dan keadilan di dalamnya, serta menjauhi unsur merugikan atau membahayakan dalam wasiat, karena Allah Ta’ala berfirman yang artinya,
“... setelah dipenuhi wasiat yang dibuatnya atau setelah dibayar utangnya dengan tidak menyusahkan ahli waris...”(Qs.An-Nisa’: 12)
Keadilan yang dikehendaki adalah membatasi wasiat hanya dari sepertiga harta peninggalan, sebagaimana batasan yang telah ditetapkan syara’. Sedangkan tidak dilaksanakannya wasiat untuk ahli waris,melainkan apabila ada izin dar ahli waris lainnya adalah untuk mencegah terjadinya saling membenci, hasad, serta memutuskan tali silaturrahmi. [9]
Rasulullah bersabda,
إنّ الله تصدق عليكم بثلث أموالكم عند وفاتكم زيادة لكم في أعمالكم (رواه إبن ماجه و أحمد و الدرقطني و البيهقي)
“Sesungguhnya Allah membolehkan kalian untuk bersedekah 1/3 dari hartamu ketika kalian meninggal untuk menambah pahala kebaiakanmu.” Hr.Ibnu Majah, Ahmad, ad-Daruquthni dan al-Baihaqi

G.    Waktu Pelaksanaan Wasiat
Pelaksanaan wasiat dilaksanakan setelah si pewasiat meninggal dunia secara hakiki. Sebab harta peninggalan masih sangat dibutuhkan oleh si pewasiat seperti untuk melunasi hutang-hutangnya, kebutuhan-kebutuhannya, biaya sakitnya ketika sakit, biaya pengurusan jenazahnya dan lain-lain. Sehingga wasiat dilaksanakan ketika semua kebutuhan tersebut telah terpenuhi.
Para ulama bersepakat, tidak ada pelaksanaan wasiat yang dilakukan sebelum si pewasiat meninggal dunia. Jika demikian, si pewasiat bisa menarik kembali pemberiannya dikarenakan ia masih hidup kecuali jika wasiat tersebut adalah wasiat yang wajib. [10]
Wasiat dilaksanakan dengan mengambil sepertiga sisa dari harta peninggalan setelah digunakan untuk dan membayar biaya pengurusan  jenazah melunasi hutang-hutang si pewasiat, bukan sepertiga dari seluruh harta yang ditinggalkan.
Hal ini seperti yang dijelaskan oleh para fuqoha mengenai hak-hak yang berkaitan dengan harta peninggalan si pewasiat. Yaitu hartanya dipakai terlebih dahulu untuk biaya kain kafan dan melunasi hutang-hutang. Kemudian setelah itu di ambil untuk membagi wasiat kemudian untuk pemberian wasiat. Hal ini dilaksanakan baik sebelumnya sudah dipesan oleh si mayit atau belum.[11]     
H.    Hal-hal yang membatalkan Wasiat
Ada beberapa hal yang membatalkan seseorang dari mendapatkan wasiat dari si mayit, yaitu :
1.    Jika si pewasiat murtad (keluar) dari agama Islam, akan tetapi jika ia sempat bertaubat (kembali lagi ke agama Islam) sebelum meninggal, maka orang yang mendapatkan wasiat masih terhalang untuk mendapatkan wasiat jika si pewasiat belum mengulangi akadnya kecuali sebelumnya telah tertulis kesepekatan tersebut dan masih terjaga ketika ia kembali Islam.
2.    Wasiat karena suatu kemaksiatan, seperti seseorang mewasiatkan hartanya untuk siapa saja yang bisa membunuh orang tertentu dengan alasan yang tidak benar dan wasiat untuk siapa saja yang minum khamr dan berzina dengannya.
3.    Menggantungkan wasiat dengan syarat yang tidak atau belum terjadi. Seperti seseorang berkata, “Jika aku mati karena sakitku ini, atau dalam perjalananku ini, aku berwasiat sekian harta untuk si A. Namun setelah itu dia tidak mati.
4.    Jika si penerima wasiat meninggal sebelum meninggalnya orang yang berwasiat atau si pewasiat.
5.    Sesuatu yang diwasiatkan hilang, musnah atau mati sebelum si pewasiat meninggal dunia. Misalnya seseorang diwasiatkan dengan sesuatu berupa hewan tertentu, kemudian hewan tersebut mati maka si penerima wasiat batal menerimanya. [12]
I.       Studi kasus
1.      Wasiat bagi ahlu waris
Para ulama ahli fiqh berbeda pendapat dalam hal pemberian wasiat bagi ahli waris, akan tetapi yang paling rajih ialah pendapat dari kalangan madzhab Hanafiyyah, sebagian Syafi’iyyah, madzhab Ahmad bin Hanbal dalam dhohir serta sebagian Malikiyah. Yaitu pemberian wasiat kepada ahli waris tetap sah selama ahli waris yang lain  meridhoi dan mengizinkannya.
Adapun dalil yang digunakan bagi mereka yang melarangnya adalah hadits ...لا وصيّة لوارث “tidak ada wasiat bagi ahli waris”, didalam riwayat lain ditambahkan إلا أن يجيز الورثة (kecuali jika ahli waris lainnya mengizinkan) bentuk pengecualian disini untuk menafikan, sehingga hadits ini bisa menjadi dalil sahnya wasiat jika ahli waris lainnya mengizinkan.
Kalaupun tambahan hadits tersebut tidak jelas keshahihannya, maka makna dari hadits yang di akui ke shahihannya “tidak ada wasiat bagi ahli waris” adalah tidak ada izin yang lazim atau harus dilaksanakan jika ia ditujukan untuk ahli waris tanpa adanya persetujuan dari ahli waris yang lain.
Adapun ayat yang digunakan oleh orang-orang Syiah Imamiyah yang berpendapat sahnya wasiat untuk ahli waris meskipun ahli waris yang lain tidak mengizinkan (al-baqoroh : 180) adalah ayat yang sudah di naskh dengan ayat (an-Nisa’ : 7) serta ayat-ayat tentang warisan. [13]
2.      Wasiat yang melebihi 1/3 harta
Ijma’ ulama harta wasiat tidak boleh lebih dari 1/3 sebagaimana hadits Sa’ad bin Abi Waqash dan hadits lainnya. Namun jika terjadi demikian, maka jumlah harta yang lebih ditangguhkan dan bergantung pada izin dari ahli waris. Jika mereka membolehkan, maka wasiat dapat dilaksanakan dan jika mereka menolak harta yang lebih tadi maka batallah jumlah kelebihan dari sepertiga harta tersebut.
Jika pemberi wasiat tidak memiliki ahli waris, maka wasiat yang lebih dari 1/3 harta menurut Hanafiah sah dilaksanakan, meskipun musha bih adalah seluruh harta waris mayit, sebab yang menjadi penghalang adalah ahli waris. Menurut ulama Malikiyah dan Syafi’iyah wasiatnya batal, karena harta mayit menjadi warisan bagi kaum muslimin.
3.      Penerima wasiat membunuh pewasiat
Menurut pendapat mazhab Hanafi dan Hanbali wasiat kepada pembunuh adalah terbatal, sama ada pembunuhan itu berlaku sebelum berlaku wasiat seperti seseorang mencederakan seseorang lain dengan tujuan membunuhnya, kemudian sebelum dia meninggal dunia, dia sempat mewasiatkan hartanya kepada orang yang mencederakannya itu, atau selepas berlakunya wasiat, walaupun diizinkan oleh warits-warits tetapi wasiat tersebut tetap juga terbatal. Ini kerana mereka menyamakan halangan pewarisan dengan wasiat. Oleh itu, bentuk pembunuhan yang menyebabkan terbatalnya wasiat menurut kedua-dua mazhab ini adalah sama seperti halangan pewarisan. Walau bagaimanapun, madzhab Syafi’i, Maliki dan Sy’iah Imamiyyah berpendapat bahawa wasiat tersebut tidak terbatal walaupun pembunuhan itu secara sengaja atau bertujuan untuk mempercepatkan kematian pewasiat supaya dia mendapat harta yang diwasiatkan itu dengan segera. Ini kerana wasiat merupakan suatu akad pemilikan sama seperti hibah dan ia berlainan dengan pewarisan. Di negeri-negeri yang telah ada undang-undang wasiat seperti Selangor, Melaka dan Negeri Sembilan, memakai pendapat mazhab Hanafi dan Hanbali dalam soal penerima wasiat membunuh pewasiat.

PENUTUP
Dari penjelasan diatas dapat kita simpulkan bahwa wasiat tidak boleh diberikan lebih dari 1/3 dari harta setelah biaya pengurusan jenazah dan hutang-hutang si mayit dibayarkan.
Karena harta adalah sesuatu yang sangat diagungkan saat ini, ditengah era globalisasi yang kian maju, seolah tanpa uang manusia tidak dapat hidup dan seolah jika ada uang semua urusan bisa terselesaikan dengan mudah. Oleh karena itu, harta dapat menjadikan seseorang melakukan sesuatu diluar kemanusiaan meskipun itu harus dengan saling membunuh saudara sekandung atau bahkan orang tua sendiri. Semoga kita terjaga dari sifat dan perilaku tersebut. Wallahu ‘a’lam bis-Shawab…












DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Washil, Nashr Farid, Fiqhul Mawarits wal Washoya fie asy-Syari’atil Islamiyyah, (ttp: Maktabah at-Tauqifiyyah, t.t)
Abu Faris, Hamzah, Al-Mawarits wal Washoya fie asy-Syari’atil Islamiyyah Fiqhan wa ‘Amalan
Zuhaili, az-, Wahbah, Fiqh Islam Wa Adillatuhu , cet ke-1, terj. Abdul Hayyi al-Kattani (Jakarta : Gema Insani, 2011 M)
Ibnu Muhammad, Abdullah,  tafsir Ibnu Katsir, judul asli, Lubaatul Tafsir Min Ibni Katsir, pernerjemah Muhammad ‘Abdul ghofar E.M.(Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi’I, 2008)
Makluff, Louis,  Al Munjid, (Mesir: Maktabah Qatfaliqiyyah, 1964)
Tinjauan Umum Mengenai Wasiat Dan Kewarisan Dalam Hukum Islam (ttp.: t.p., t.t.)
Jazairi, al-, Abdurrahman, Fiqh al-Madzahib al-'Arba’ah, (Beirut: Darul Fikr, t.t.)




Oleh:
Fahmi Nur Hamidah
Hanina asy-Syahadah
Khaulah Syauqiyyah Syahidah







[1] Louis Makluff, Al Munjid, Mesir: Maktabah Qatfaliqiyyah, 1964, hlm.904
[2] TINJAUAN UMUM MENGENAI WASIAT DAN KEWARISAN DALAM HUKUM ISLAM (ttp.: t.p., t.t.)
[3] Abdurrahman al-Jaziri, Fiqh al-Madzahib al-'Arba’ah. Juz III, Beirut: Darul Fikr, t.t., hlm.136.
[4] DR. Abdullah bin Muhammad, tafsir Ibnu Katsir, judul asli, Lubaatul Tafsir Min Ibni Katsir, pernerjemah Muhammad ‘Abdul ghofar E.M.PUSTAKA Imam Asy-Syafi’I 2008 jilid 1 hal.339
[5] HR Bukhari dan Muslim, juga pengarang kitab-kitab sunan, kecuali at-Tirmidzi, juga diriwayatkan oleh Ahmad dalam musnadnya.
[6] Prof. DR. Wahbah az-Zuhaili, fiqih Islam wa adilatuhu, ter. Abdul Hayyie al-Kattani (Jakarta: Gema insani:2011) jil 10 hal 158-160 
[7] Muslim al-Yusuf, Al-Washiyyah asy-Syar’iyyah, hal. 9, (Halb: t.p, 2005)
[8] Ibid, hal. 9-15
[9] Wahbah Zuhaili , Fiqh Islam Wa Adillatuhu , cet ke-1, terj. Abdul Hayyi al-Kattani (Jakarta : Gema Insani, 2011 M), jil.10 hal.157
[10] Dr.Hamzah Abu Faris, Al-Mawarits wal Washoya fie asy-Syari’atil Islamiyyah Fiqhan wa ‘Amalan, Hal.158
[11]Dr. Nashr Farid Muhammad Washil, Fiqhul Mawarits wal Washoya fie asy-Syari’atil Islamiyyah, (Maktabah at-Tauqifiyyah) Hal.115
[12] Dr.Hamzah Abu Faris, Al-Mawarits wal Washoya fie asy-Syari’atil Islamiyyah Fiqhan wa ‘Amalan, Hal.156

[13] Dr. Nashr Farid Muhammad Washil, Fiqhul Mawarits wal Washoya fie asy-Syari’atil Islamiyyah, (Maktabah at-Tauqifiyyah) Hal.121

 
;