HUKUM WASIAT
A.
PEMBUKAAN
Dewasa ini banyak kasus pembunuhan lantaran pembagian warisan
yang menurut sebagian ahli warits tidak adil dalam pembagiannya. Kurangnya
pemahaman akan permasalahan yang semakin hilang ini yaitu ilmu fara’idh membuat
seseorang memberi bagian yang lebih besar kepada anak atau pada ahli warits
yang lebih disayangi. Inilah yang menjadikan timbulnya banyak kejahatan dan
permusuhan antara saudara hanya karena sebuah harta yang panas ini.
Mengenaskan memang, hanya lantaran harta seseorang sampai saling
membunuh. Namun, itulah fakta hari ini. Banyak di antara manusia sebelum
meninggal memberikan sebagian harta mereka diluar pembagian warits baik mereka
adalah ahli warits ataupun bukan. Lalu apakah
wasiat itu dan seberapa besarkah warta yang boleh diwasiatkan tanpa melupakan
ahli warits yang lain?
B.
Pengertian
wasiat
a.
Secara
bahasa
Kata wasiat berasal dan bahasa arab "wasiyyat"
(وصية) merupakan isim masdar yang bermakna tausiyyat yang tersusun dari tiga huruf
asal yaitu و, ص
dan ي
yang berarti jatuh dari kedudukan yang tinggi menyambung dan
mempertemukan.[1]
Dalam kamus
al-Munjid keduanya berarti mengikat janji atas sesuatu, memerintahkan menjadikan
hak milik setelah meninggal dunia seseorang dan menjadikan kepercayaan atas seseorang.[2]
b.
Secara
Istilah
Wasiat adalah suatu perintah dengan
mentasarufkan harta benda setelah meninggalnya orang yang berwasiat
seperti berwasiat kepada seseorang untuk memelihara anak-anaknya yang masih
kecil, menikahkan anak perempuan atau memisahkan sepertiga hartanya atau semisalnya.[3]
Dalam Al-qur'an
kata wasiat banyak ditemukan dengan arti dan makna yang berbeda-beda. Perbedaan
ini disebabkan karena penggunaan kata-kata wasiat yang berbeda-beda dalam
konteks permasalahannya diantaranya arti wasiat itu antara lain:
1)
Menunjukkan
makna syari’at, sebagaimana firman Allah:
شَرَعَ لَكُم مِّنَ الدِّينِ
مَاوَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَآ إِلَيْكَ وَمَاوَصَّيْنَا بِهِ
إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى
Artinya: "Dia telah
mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkannya kepada Nuh
dan apa yang lelah kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah kami wasiatkan
kepada Ibrahim, Musa, dan Isa….." (QS. Asy-Syuura’ :13)
2)
Menunjukkan
makna pesan, sebagaimana firman Allah yang artinya
Artinya: “Diwajibkan atas kamu,
apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia
meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya
secara ma´ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”(QS.
Al-Baqarah:180)
3)
Menunjukkan
makna nasehat, sebagaimana firman Allah:
وَتَوَاصَوْا
بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
Artinya “Dan
nasehat menasehatilah supaya menaati kebenaran dan nasehat menasehatilah supaya
menetapi kesabaran.” (QS. Al-‘Ashr:3)
4)
Menunjukkan
makna perintah, sebagaimana firman Allah:
وَصَّيْنَا
اْلإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ
فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَىَّ الْمَصِيرُ Artinya : "Dari
Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada kedua orang ibu bapaknya
: ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambahtambah, dan
menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada ku dan kepada orang ibu
bapakmu hanya kepada-Ku lah kembalimu." (QS. Luqman : 14)
C.
Hukum
Wasiat
Wasiat merupakan salah satu amalan
ibadah yang disyariatkan dalam Islam memiliki sumber hukum yang berdasarkan
pada:
كُتِبَ
عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ ٱلْمَوْتُ إِن تَرَكَ خَيْرًا ٱلْوَصِيَّةُ
لِلْوَٰلِدَيْنِ وَٱلْأَقْرَبِينَ بِٱلْمَعْرُوفِ ۖ
حَقًّا عَلَى ٱلْمُتَّقِينَ
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk
ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma´ruf, (ini adalah) kewajiban atas
orang-orang yang bertakwa.”(Al-baqoroh:180)
Dalam surat al-Baqarah ayat 240 juga disebutkan:
Artinya: "orang-orang yang
akan meninggal dunia di antaramu dan meninggalkan istri, hendaklah berwasiat
untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan
disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri) maka
tidak ada dosa baginya (wali atau waris dan yang meninggal) membiarkan mereka
berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana." (QS. Al-Baqarah; 240)
Ayat di atas menunjukkan secara
jelas mengenai hak wasiat serta teknis pelaksanaannya, serta materi yang
menjadi objek wasiat. Namun demikian, para ulama berbeda pendapat dalam
memahami dan menafsirkan wasiat tentang hukum wasiat serta kedudukan Islam.
Hukumnya
sunnah. Wasiat disunnahkan meski dilakukan oleh orang yang sehat dan tidak dalam keadaan sakit, karena
kematian datang tiba-tiba, maka mewasiatkan bagian tertentu harta yang dimiliki
tidaklah wajib melainkan bagi orang yang memiliki tanggungan hutang, titipan, memiliki
kewajiban atau tanggungan lainnya yang wajib diwasiatkan. Sesungguhnya Allah
mewajibkan pelaksanaan amanat, dan jalannya melalui wasiat. Dalil tidak
diwajibkannya wasiat;
mengenai wasiat, tidak dinukilkan dari mayoritas sahabat dan karena wasiat adalah
tabarru’ atau pemberian yang tidak wajib dilaksanakan semasa hidup, maka
setelah mati pun tidak diwajibkan, seperti pemberian kepada fakir miskin yang
tidak ada hubungan apapun, baik karena keluarga ataupun kerabat. Sedangkan ayat
yang artinya:
“diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk
ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma´ruf….”.(al-Baqoroh:180)
Dinaskh dengan firman-Nya yang
berbunyi: “bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang
tua dan kerabatnya…”(QS. an-Nisa’:7)
Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Abbas, Ibnu Umar pun
mengatakan, “Ayat mengenai wasiat dinaskh dengan ayat tentang warisan.” Setelah
hukum wasiat dinaskh, maka tetaplah hukum disunnahkan wasiat diberikan untuk
orang yang tidak memiliki hak warits, sebagaimana hadits tersebuat diatas, “Sesungguhnya
Allah bersedekah atas kalianketika kalian wafat, denagn menggunakan sepertiga
harta kalian.”
Imam Ahmad meriwayatkan dari
Muhammad bin sirin, katanya, ketika Ibnu ‘Abbas duduk dan membaca surat
Al-baqoroh hingga sampai ayat ini:
ٱلْمَوْتُ
إِن تَرَكَ خَيْرًا ٱلْوَصِيَّةُ لِلْوَٰلِدَيْنِ وَٱلْأَقْرَبِينَ بِٱلْمَعْرُوفِ
Jika ia meninggalkan harta yang
banyak, berwasiat kepada ibu bapak dan karib kerabatnya, “ia pun mengatakan:
ayat ini sudah dinaskh.”[4]
Sesuai dengan kesepakatan ahlu
ilmi, yang lebih utama adalah membuat wasiat untuk para kerabat yang bukan
asli waris yang dalam keadaan fakir, karena Allah SWT berfirman, “dan
berikanlah hak kepada kerabat dekat…”(al-Israa’:26) maka wasiat dimulai
dengan memberikannya kepada golongan ini. ” Dan orang-orang yang
mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris mewarisi) di dalam
Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali
kalau kamu mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama)…..”(al-Ahzaab:6)
berbuat baik ditafsiri sebagai wasiat.
Juga karena sedekah untuk mereka
semasa hidup adalah lebih utama, maka demikian halnya setelah meninggal. Namun,
jiak mereka membuat wasiat untuk orang lain dengan membiarkan kerabat dalam
keadaan tersebut, menurut pendapat mayoritas ulama’, wasiat mereka tetap sah.
Terkadang, hukum wasiat bisa menjadi makruh dan haram. Maka jelas bahwa wasiat
ada empat macam bila dilihat dari sifat hukum syar’inya, yaitu sebagai berikut:
1.
Wajib
Contohnya
seperti wasiat untuk mengembalikan barang titipan dan hutang yang tidak
diketahui dan tanpa surat, atau wasiat akan kewajiban-kewajiban yang menjadi
tanggungan seperti zakat, haji, kafarat, fidyah puasa, fidyah shalat, dan
sejenisnya. Hukum ini telah disepakati.
Golongan
syafi’iyah mengatakan, adalah disunnahkan membuat wasiat untuk membuat hak-hak
yang berupa hutang, mengembalkan barang titipan, pinjaman, dan sejenisnya.
Pelaksanaan wasiat-wasiat lain apabila ada: memperhatikan urusan anak-anak dan
sejenisnya seperti orang-orang gila dan orang-orang yang baligh namun dalam
keadaan idiot. Dan wasiat yang berkenaan dengan hak adami adalah wajib, seperti
barang titipan dan barang yang di ghashab jika orang tersebuat tidak
mengetahuinya.
2.
Mustahab
Contohnya
seperti wasiat kepadda para kerabat yang bukan ahli warits, dan wasiat yang
ditujukan untuk pihak atau kepentingan kebajikan dan untuk orang-orang yang
membutuhkan. Orang yang meninggalkan kebaikan (memiliki harta yang banyak,
menurut adat) disunahkan menjadikan seperlima hartanya untuk orang-orang fakir
yang dekat, jika tidak ada, maka untuk orang-orang miskin dan orang-orang alim
yang agamis.
3.
Mubah
Contohnya
seperti wasiat yang ditujukan untuk orang-orang kaya, baik itu orang lain, atau
para kerabat sendiri. Wasiat untuk mereka ini boleh.
4.
Makruh Tahrim menurut Hanafiyah
Contohnya
seperti wasiat yang ditujukan untuk ahli fasik dan maksiat. Wasiat secara
mufakat dimakruhkan bagi orang fakir yang memiliki ahli waris dalam keadaan
kaya, maka wasiat berhukum dimubahkan.
Secara mufakat, terkadang wasiat berhukum
haram dan tidak benar, seperti wasiat berhukum haram dan tidak benar, seperti
wasiat agar dilakukan sebuah maksiat, misalnya wasiat membangun gereja atau
merenovasinya, wasiat menulis serta membacakan taurat dan injil, wasiat menulis
buku-buku sesat dan filsafat serta ilmu-ilmu lain yang diharamkan, juga wasiat
dengan menggunakan khamar atau wasiat untuk membiayai proyek-proyek yang
membahayakan moralitas umum.
Wasiat juga haram apabila diberikan kepada
orang asing( yang bukan keluarga atau kerabat) dan melebihi sepertiga harta,
juga wasiat sesuatu untuk ahli waris secara mutlak. Pendapat shahih golongan
Hanafiyyah menyatakan bahwa wasiat lebih dari sepertiga harta makruh, sedang
wasiat untuk ahli waris haram.
Hal yang lebih utama adalah menyegerakan
wasiat yang ditujukan untuk pihak atau kepentingan kewajiban semasa hidup dan
tidak memperlambatnya hingga wafat. Karena bisa saja jika seseorang berwasiat,
akan ada kesembronoan dalam pelaksanaan setelah dia meninggal, juga karena hadits
riwayat Abu Hurairah r.a.
أي
الصدقة أفضل قال أن تصدق وأنت صحيح شحيح تأمل الغنىوتخشى الفقرولا تمهل حتى إذا
بلغتاالروح الحلقوم قلت : لفلان كذا ولفلان كذا وقد كان لفلان
“Rasulullah
ditanya,’sedekah apakah yang paling utama?’ Beliau menjawab, ‘(Yaitu) kamu
bersedekah, sedang kamu dalam keadaan sehat lagi bakhil, sedang kamu
mengharapkan kaya dan takut kepada kefakiran. Janganlah memperlambat hingga ruh
sampai pada kerongkongan, lalu kamu mengatakan, ‘untuk si A sekian, untuk si B
sekian, padahal hal tersebut adalah milik si A dan si B.[5]
Sebagaimana yang dijelaskan sebelum
ini bahawa pada peringkat permulaan Islam hukum berwasiat adalah wajib (lihat
ayat 180 Surah al-Baqarah), namun hukum berkenaan telah dinasakhkan oleh ayat
al-mawarits (ayat 11, 12, dan 176 Surah an-Nisa’). Walau bagaimanapun, amalan
wasiat masih lagi digalakkan dengan had maksimum 1/3 harta pusaka dan ditujukan
kepada bukan waris.
Dengan demikian, sedekah semasa hidup lebih utama daripada wasiat,
karena orang yang bersedekah akan mendapati pahala amal dihadapannya, dan juga
karena jelasnya hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah diatas.[6]
D.
Rukun wasiat
Menurut Hanafiah rukun wasiat hanya satu, yairu ijab. Misalnya,
orang yang berwasiat berkata, “Aku wasiatkan untuk Fulan ini dan itu.” Adapun
qabul adalah syarat yang harus ada dalam wasiat untuk menetapkan kepemilikan
bagi orang yang diberi wasiat.[7]
Sedangkan jumhur ulama (Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah)
berpendapat rukun wasiat ada empat:
a.
Al-Mushi atau orang yang berwasiat
b.
Al-Musha
lahu atau orang yang diberi wasiat
c.
Al-Musha
bihi atau sesuatu yang diwasiatkan
d.
Shighah wasiat
E.
Syarat-syarat
wasiat
Dalam wasiat ada syarat sah dan syarat pelaksanaan. Syarat syarat
tersebut ada pada orang yang berwasiat, yang diberi wasiat dan wasiatnya.[8]
a. Syarat orang yang berwasiat.
Syarat sah:
1) Baligh
2) Berakal
Syarat nafadz (pelaksanaan):
1.
Tidak
memiliki hutang yang senilai dengan semua hartanya, sebab membayar hutang lebih
didahulukan daripada dilaksanakannya wasiat menurut ijma’.
2.
Memiliki harta waris 100 %
b. Syarat orang yang mendapat wasiat
Syarat sah:
1. Wujud, ada kehadirannya
2. Ma’lum, diketahui orangnya
3. Mampu da berhak untuk memiliki harta
4. Bukan pembunuh orang yang berwasiat
5. Bukan orang yang memerangi orang yang
berwasiat
Syarat nafadz (pelaksanaan):
·
Bukan
ahli waris orang yang berwasiat, jika ada ahli waris lain yang tidak
mengizinkan. Jika sebagian ahli waris mengizinkan, maka wasiat boleh dilakukan.
Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alahi Wasallam:
إن الله أعطى كل ذي حق
حقه ، فلا وصية لوارث
“Sesungguhnya Allah telah memberi hak kepada setiap
yang berhak, maka tidak ada wasiat bagi ahli waris.” (HR. Ibnu Majah,
at-Tirmidzi dan Abu Dawud, derajat hadits shahih)
Perizinan dari ahli waris akan sah dengan dua syarat:
1.
Ahli waris yang mengizinkan adalah ahli tabarru’ yang
mengerti keadaan harta warisan.
2.
Izin yang diberikan oleh ahli waris adalah setelah kematian
pemberi wasiat. Jika ahli waris
mengizinkan ketika orang yang berwasiat masih hidup lalu mencabut izinnya setelah
kematian orang yang berwasiat, maka pencabutan izin tersebut sah dan wasiatnya
batal baik wasiat itu untuk ahli waris ataupun orang asing yang lebih dari 1/3
harta.
c.
Syarat yang menjadi wasiat
Syarat sah:
1.
Harta yang bisa diterima
2.
Berharga menurut adat yang sesuai dengan syari’at
3.
Bisa diterima dan dimiliki
4.
Bukan kemaksiatan atau sesuatu yang diharamkan syari’at, sebab
tujuan wasiat adalah memperoleh kebaikan yang terlewatkan semasa hidup pemberi
wasiat.
Syarat nafadz:
1.
Tidak tercampur dengan hutang
2.
Tidak lebih dari 1/3 harta harta waris jika pemberi wasiat
memiliki ahli waris
d.
Syarat shighah
1.
Menggunakan lafadz yang jelas atau kiasan.
Contoh lafadz sharih, “Aku wasiatkan untuknya uang 100 ribu.”
Lafadz sharih mengesahkan.
2.
Ada qabul dari orang yang diberi wasiat.
3.
Qabul dari orang yang diberi wasiat setelah kematian pemberi
wasiat.
F.
Sebab-sebab
atau hikmah Wasiat
Sebab
wasiat sama dengan sebab semua tabarru’, yaitu menghasilkan faedah kebaikan di
dunia dan mendapatkan pahala di akhirat. Karena itu, Allah mensyariatkannya sebagai penguat amal shalih, balasan bagi orang yang telah mempersembahkan kebaikan kepada orang lain,
menyambung silaturrahim dan para kerabat selain ahli waris, menutup kekurangan
orang-orang yang membutuhkan, meringankan beban orang-orang yang lemah,
orang-orang yang dalam keadaan sempit dan orang-orang miskin. Hal ini
terealisasikan apabila ada komitmen kebajikan dan keadilan
di dalamnya, serta menjauhi unsur merugikan atau
membahayakan dalam wasiat, karena Allah Ta’ala berfirman yang artinya,
“... setelah dipenuhi wasiat yang dibuatnya atau setelah dibayar utangnya
dengan tidak menyusahkan ahli waris...”(Qs.An-Nisa’: 12)
Keadilan yang dikehendaki adalah membatasi wasiat hanya
dari sepertiga harta peninggalan, sebagaimana batasan yang telah ditetapkan
syara’. Sedangkan tidak dilaksanakannya wasiat untuk ahli waris,melainkan
apabila ada izin dar ahli waris lainnya adalah untuk mencegah terjadinya saling
membenci, hasad, serta memutuskan tali silaturrahmi. [9]
Rasulullah bersabda,
إنّ الله تصدق عليكم بثلث أموالكم عند وفاتكم زيادة لكم في أعمالكم (رواه إبن ماجه و أحمد و الدرقطني و
البيهقي)
“Sesungguhnya Allah membolehkan kalian untuk bersedekah 1/3 dari hartamu ketika kalian meninggal untuk menambah pahala kebaiakanmu.” Hr.Ibnu Majah, Ahmad, ad-Daruquthni dan al-Baihaqi
G.
Waktu Pelaksanaan Wasiat
Pelaksanaan wasiat dilaksanakan setelah si pewasiat
meninggal dunia secara hakiki. Sebab harta peninggalan masih sangat dibutuhkan
oleh si pewasiat seperti untuk melunasi hutang-hutangnya,
kebutuhan-kebutuhannya, biaya sakitnya ketika sakit, biaya pengurusan
jenazahnya dan lain-lain. Sehingga wasiat dilaksanakan ketika semua kebutuhan tersebut
telah terpenuhi.
Para ulama bersepakat, tidak ada pelaksanaan wasiat yang
dilakukan sebelum si pewasiat meninggal dunia. Jika demikian, si pewasiat bisa
menarik kembali pemberiannya dikarenakan ia masih hidup kecuali jika wasiat
tersebut adalah wasiat yang wajib. [10]
Wasiat dilaksanakan dengan mengambil sepertiga sisa dari
harta peninggalan setelah digunakan untuk dan membayar biaya pengurusan jenazah melunasi hutang-hutang si pewasiat,
bukan sepertiga dari seluruh harta yang ditinggalkan.
Hal ini seperti yang dijelaskan oleh para fuqoha mengenai
hak-hak yang berkaitan dengan harta peninggalan si pewasiat. Yaitu hartanya
dipakai terlebih dahulu untuk biaya kain kafan dan melunasi hutang-hutang.
Kemudian setelah itu di ambil untuk membagi wasiat kemudian untuk pemberian
wasiat. Hal ini dilaksanakan baik sebelumnya sudah dipesan oleh si mayit atau
belum.[11]
H.
Hal-hal yang membatalkan Wasiat
Ada beberapa hal yang membatalkan seseorang dari mendapatkan wasiat dari si
mayit, yaitu :
1. Jika si pewasiat murtad (keluar) dari agama Islam, akan tetapi jika ia
sempat bertaubat (kembali lagi ke agama Islam) sebelum meninggal, maka orang
yang mendapatkan wasiat masih terhalang untuk mendapatkan wasiat jika si
pewasiat belum mengulangi akadnya kecuali sebelumnya telah tertulis kesepekatan
tersebut dan masih terjaga ketika ia kembali Islam.
2. Wasiat karena suatu kemaksiatan, seperti seseorang mewasiatkan hartanya
untuk siapa saja yang bisa membunuh orang tertentu dengan alasan yang tidak
benar dan wasiat untuk siapa saja yang minum khamr dan berzina dengannya.
3. Menggantungkan wasiat dengan syarat yang tidak atau belum terjadi. Seperti
seseorang berkata, “Jika aku mati karena sakitku ini, atau dalam perjalananku
ini, aku berwasiat sekian harta untuk si A. Namun setelah itu dia tidak mati.
4. Jika si penerima wasiat meninggal sebelum meninggalnya orang yang berwasiat
atau si pewasiat.
5. Sesuatu yang diwasiatkan hilang, musnah atau mati sebelum si pewasiat
meninggal dunia. Misalnya seseorang diwasiatkan dengan sesuatu berupa hewan
tertentu, kemudian hewan tersebut mati maka si penerima wasiat batal
menerimanya. [12]
I.
Studi
kasus
1.
Wasiat bagi ahlu waris
Para ulama ahli fiqh berbeda pendapat dalam hal pemberian
wasiat bagi ahli waris, akan tetapi yang paling rajih ialah pendapat dari
kalangan madzhab Hanafiyyah, sebagian Syafi’iyyah, madzhab Ahmad bin Hanbal
dalam dhohir serta sebagian Malikiyah. Yaitu pemberian wasiat kepada ahli waris
tetap sah selama ahli waris yang lain
meridhoi dan mengizinkannya.
Adapun dalil yang digunakan bagi mereka yang melarangnya adalah hadits ...لا وصيّة لوارث “tidak ada wasiat bagi ahli
waris”, didalam riwayat lain ditambahkan إلا أن يجيز الورثة (kecuali jika ahli waris lainnya
mengizinkan) bentuk pengecualian disini untuk menafikan, sehingga hadits ini
bisa menjadi dalil sahnya wasiat jika ahli waris lainnya mengizinkan.
Kalaupun tambahan hadits tersebut tidak jelas keshahihannya,
maka makna dari hadits yang di akui ke shahihannya “tidak ada wasiat bagi ahli
waris” adalah tidak ada izin yang lazim atau harus dilaksanakan jika ia
ditujukan untuk ahli waris tanpa adanya persetujuan dari ahli waris yang lain.
Adapun ayat yang digunakan oleh orang-orang Syiah
Imamiyah yang berpendapat sahnya wasiat untuk ahli waris meskipun ahli waris
yang lain tidak mengizinkan (al-baqoroh : 180) adalah ayat yang sudah di naskh
dengan ayat (an-Nisa’ : 7) serta ayat-ayat tentang warisan. [13]
2.
Wasiat
yang melebihi 1/3 harta
Ijma’
ulama harta wasiat tidak boleh lebih dari 1/3 sebagaimana hadits Sa’ad bin Abi
Waqash dan hadits lainnya. Namun jika terjadi demikian, maka jumlah harta yang
lebih ditangguhkan dan bergantung pada izin dari ahli waris. Jika mereka
membolehkan, maka wasiat dapat dilaksanakan dan jika mereka menolak harta yang
lebih tadi maka batallah jumlah kelebihan dari sepertiga harta tersebut.
Jika
pemberi wasiat tidak memiliki ahli waris, maka wasiat yang lebih dari 1/3 harta
menurut Hanafiah sah dilaksanakan, meskipun musha bih adalah seluruh harta
waris mayit, sebab yang menjadi penghalang adalah ahli waris. Menurut ulama
Malikiyah dan Syafi’iyah wasiatnya batal, karena harta mayit menjadi warisan
bagi kaum muslimin.
3.
Penerima
wasiat membunuh pewasiat
Menurut pendapat mazhab Hanafi dan
Hanbali wasiat kepada pembunuh adalah terbatal, sama ada pembunuhan itu berlaku
sebelum berlaku wasiat seperti seseorang mencederakan seseorang lain dengan
tujuan membunuhnya, kemudian sebelum dia meninggal dunia, dia sempat
mewasiatkan hartanya kepada orang yang mencederakannya itu, atau selepas berlakunya
wasiat, walaupun diizinkan oleh warits-warits tetapi
wasiat tersebut tetap juga terbatal. Ini kerana mereka menyamakan halangan pewarisan
dengan wasiat. Oleh itu, bentuk pembunuhan yang menyebabkan terbatalnya wasiat
menurut kedua-dua mazhab ini adalah sama seperti halangan pewarisan. Walau
bagaimanapun, madzhab Syafi’i, Maliki dan Sy’iah Imamiyyah berpendapat bahawa wasiat
tersebut tidak terbatal walaupun pembunuhan itu secara sengaja atau bertujuan untuk
mempercepatkan kematian pewasiat supaya dia mendapat harta yang diwasiatkan itu
dengan segera. Ini kerana wasiat merupakan suatu akad pemilikan sama seperti
hibah dan ia berlainan dengan pewarisan. Di negeri-negeri yang telah ada
undang-undang wasiat seperti Selangor, Melaka dan Negeri Sembilan, memakai
pendapat mazhab Hanafi dan Hanbali dalam soal penerima wasiat membunuh
pewasiat.
PENUTUP
Dari penjelasan diatas dapat kita simpulkan bahwa wasiat tidak boleh
diberikan lebih dari 1/3 dari harta setelah biaya pengurusan jenazah dan
hutang-hutang si mayit dibayarkan.
Karena harta adalah sesuatu yang sangat diagungkan saat ini, ditengah era
globalisasi yang kian maju, seolah tanpa uang manusia tidak dapat hidup dan
seolah jika ada uang semua urusan bisa terselesaikan dengan mudah. Oleh karena
itu, harta dapat menjadikan seseorang melakukan sesuatu diluar kemanusiaan meskipun
itu harus dengan saling membunuh saudara sekandung atau bahkan orang tua
sendiri. Semoga kita terjaga dari sifat dan perilaku tersebut. Wallahu
‘a’lam bis-Shawab…
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Washil, Nashr Farid, Fiqhul Mawarits wal Washoya fie asy-Syari’atil Islamiyyah, (ttp: Maktabah at-Tauqifiyyah, t.t)
Abu Faris, Hamzah, Al-Mawarits wal Washoya fie asy-Syari’atil Islamiyyah Fiqhan wa ‘Amalan
Zuhaili, az-, Wahbah, Fiqh Islam Wa
Adillatuhu , cet ke-1, terj. Abdul Hayyi al-Kattani (Jakarta : Gema Insani,
2011 M)
Ibnu Muhammad, Abdullah, tafsir Ibnu Katsir, judul asli,
Lubaatul Tafsir Min Ibni Katsir, pernerjemah Muhammad ‘Abdul ghofar E.M.(Jakarta:
Pustaka Imam asy-Syafi’I, 2008)
Makluff, Louis, Al
Munjid, (Mesir: Maktabah Qatfaliqiyyah, 1964)
Tinjauan Umum Mengenai Wasiat Dan Kewarisan Dalam Hukum Islam (ttp.: t.p., t.t.)
Jazairi, al-, Abdurrahman, Fiqh al-Madzahib al-'Arba’ah, (Beirut:
Darul Fikr, t.t.)
Oleh:
Fahmi Nur
Hamidah
Hanina
asy-Syahadah
Khaulah
Syauqiyyah Syahidah
[1] Louis
Makluff, Al Munjid, Mesir: Maktabah Qatfaliqiyyah, 1964, hlm.904
[2] TINJAUAN
UMUM MENGENAI WASIAT DAN KEWARISAN DALAM HUKUM ISLAM (ttp.: t.p., t.t.)
[3]
Abdurrahman al-Jaziri, Fiqh al-Madzahib al-'Arba’ah. Juz III, Beirut:
Darul Fikr, t.t., hlm.136.
[4] DR. Abdullah
bin Muhammad, tafsir Ibnu Katsir, judul asli, Lubaatul Tafsir Min Ibni
Katsir, pernerjemah Muhammad ‘Abdul ghofar E.M.PUSTAKA Imam Asy-Syafi’I 2008
jilid 1 hal.339
[5] HR Bukhari dan
Muslim, juga pengarang kitab-kitab sunan, kecuali at-Tirmidzi, juga
diriwayatkan oleh Ahmad dalam musnadnya.
[6] Prof. DR.
Wahbah az-Zuhaili, fiqih Islam wa adilatuhu, ter. Abdul Hayyie
al-Kattani (Jakarta: Gema insani:2011) jil 10 hal 158-160
[7] Muslim
al-Yusuf, Al-Washiyyah asy-Syar’iyyah, hal. 9, (Halb: t.p, 2005)
[8] Ibid, hal. 9-15
[9] Wahbah Zuhaili , Fiqh Islam Wa Adillatuhu
, cet ke-1, terj. Abdul Hayyi al-Kattani (Jakarta : Gema Insani, 2011 M), jil.10 hal.157
[10] Dr.Hamzah Abu Faris, Al-Mawarits wal Washoya fie asy-Syari’atil
Islamiyyah Fiqhan wa ‘Amalan, Hal.158
[11]Dr. Nashr Farid Muhammad Washil, Fiqhul
Mawarits wal Washoya fie asy-Syari’atil Islamiyyah, (Maktabah
at-Tauqifiyyah) Hal.115
[12] Dr.Hamzah Abu Faris, Al-Mawarits wal Washoya fie asy-Syari’atil
Islamiyyah Fiqhan wa ‘Amalan, Hal.156
[13] Dr. Nashr Farid Muhammad Washil, Fiqhul
Mawarits wal Washoya fie asy-Syari’atil Islamiyyah, (Maktabah
at-Tauqifiyyah) Hal.121