Minggu, 26 April 2015

Perbedaan Darah Haidh, Istihadhah dan Nifas


Perbedaan Darah Haidh, Istihadhah  dan Nifas
Oleh: Fathimah Zhafirah dan Lilis Handayani
A.    Pembukaan
Wanita adalah makhluk yang istimewa karena setiap wanita dibekali Allah Ta’ala kecantikan dan kecanggihan sistem reproduksi. Allah Ta’ala ciptakan kaum hawa berbeda dengan kaum adam, di antara salah satu yang membedakannya adalah dari sisi darah. Wanita diciptakan untuk mengalami haidh, nifas dan terkadang isthihadhah. Dari bentuk pembeda inilah secara otomatis wanita harus memahami secara mendalam “Fiqhud Dima’ karena permasalahan tentang darah wanita sangatlah luas.
Sementara ini meninjau dari realita yang ada, banyak wanita muslimah yang kurang memahami dalam permasalahan fiqh dima’ ini. Sedangkan di dalam Islam permasalahan yang berkaitan dengan darah wanita telah diatur secara rapi. Berangkat dari kurangnya pemahaman para wanita muslimah, maka penulis mencoba untuk mengulas tentang perbedaan 3 jenis darah (darah haidh, darah isthihadhah dan darah nifas) secara terperinci.

B.     Perbedaan antara darah haidh nifas dan istihadhah
No

Haidh
Nifas
Istihadhah
1.
Definisi
Etimologi
Terminologi
Etimologi
Terminologi
Etimologi
Terminologi
Haidh berasal dari bahasa arab حاض- يحيض - حيضا. Maka bisa dikatakan air mengalir ketika banjir, pohon yang mengalir getahnya (pohon samurah) dan jika dikatakan حاضت المرأة   berarti seorang wanita yang mengalir darahnya. Oleh sebab itu, apabila terjadi banjir pada suatu lembah, maka orang Arab menyebutkan sebagai haadha al-waadi.[1]
Madzhab Hanabilah: Darah tabiat yang keluar pada saat kondisi sehat (bukan karena persalinan), yang keluar dari bagian dalam rahim setelah mencapai usia baligh pada masa tertentu.[2]


Nifas berasal dari bahasa arab yaitu dari fi’il  نفس -نفاسا ينفس- yang artinya: ولدت yaitu: seorang wanita yang melahirkan. Apabila dikatakan نفست المرأة maka artinya seorang perempuan telah melahirkan. Sedangkan wanita yang nifas adalah nafasah atau nufasa’, adapun masdarnya adalah  النفاس yang artinya masa setelah melahirkan, keadaan ini untuk mengembali-
kan rahim dan anggota reproduksi-
nya kembali sebagaimana sebelum hamil.[3]
Menurut ulama’ Hanafi dan Syafi’i
Nifas adalah darah yang keluar setelah bersalin. Adapun darah yang keluar bersama dengan bayi saat lahir atau sebelumnya, adalah darah istihadhah.
Menurut ulama’ Maliki[4] Nifas adalah darah yang keluar dari kemaluan wanita sewaktu melahirkan bayi ataupun setelahnya, walaupun darah itu keluar diantara lahirnya anak kembar. Darah yang keluar sebelum kelahiran, menurut pendapat yang paling rajih menurut ulama’ Maliki dihukumi sebagai darah haid.[5]
Menurut ulama’
Hambali[6] Nifas ialah darah yang keluar sebab lahirnya bayi. Darah yang keluar dua atau tiga hari sebelum kelahiran bayi yang disertai tanda kelahiran, dan darah yang keluar bersama-sama lahirnya bayi, juga dianggap sebagai darah nifas, sama seperti darah yang keluar setelah kelahiran.[7]
Berasal dari bahasa Arab dari fi’il استحض- يستحض استحاضة yaitu fi’il khumasi dari حاض-يحيض حيضا yang artinya mengalir. Apabila ada kalimat yang berbunyi استحضت المرأة artinya wanita itu sedang mengalir darahnya. استحضت  merupakan darah yang mengalir dari rahim seorang perempuan setelah hari-hari haidh yang biasa.[8]
Abu Ubaidah Usamah bin Muhammad al-Jamal dalam Shahih Fiqh Wanita menyebutkan darah yang tidak biasa keluar dan bukan bersifat alamiah dari fisik perempuan, melainkan karena adanya pembuluh darah yang terputus.[9]
Dr. Wahbah az-Zuhaili didalam kitabnya Fiqh Islam wa Adillatuhu menyebutkan bahwasannya darah istihadhah adalah darah yang mengalir bukan pada waktu biasa (selain haidh dan nifas) disebabkan sakit dipangkal (dekat) rahim. Pendarahan itu disebut dengan al-‘aadzil.[10]
Al Imam Ibnu Hajar al-Atsqalani dalam kitabnya Fathul Baari menjelaskan bahwa Istihadhah adalah darah yang mengalir dari kemaluan wanita bukan pada waktunya dan keluarnya dari urat.”[11]
2.
Dalil
وَيَسْاَلُوْنَكَ عَنِ المحِيْضِ قُلْ هُوَ اَذَىْ...
“ Dan mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang haidh. Katakanlah,”Itu adalah sesuatu yang kotor.” (QS. Al-Baqarah: 222)[12]
عن أم سلمة قالت :كَانَتْ النُفَسَاءُ تَجلِسُ عَلَى عَهْدِ  الرَّسُوْلِ صَلَى الله وَسَلَّمْ  عَلَى  أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا...
Adapun wanita nifas menjalani masa nifasnya selama empat puluh hari.” (HR. Al-Bukhari, Muslim,Ibnu Majah, Abu Daud)[13]
إِنَّمَا ذَلِكَ عِرْقٌ وَلَيْسَتْ بِالْحَيْضَة فَإِذَا أَقْبَلَتِ الْحَيْضَةُ فَدَعِي الصَّلَاةَ، وَإِذَا أَدْبَرَتِ الْحَيْضَةُ فَاغْسِلِي عَنْكَ الدَّمَ، ثُمَّ صَلِّي
Itu berasal dari urat dan bukan darah haidh. Apabila kamu mendapati hari-hari haidhmu maka tinggalkanlah shalat, apabila darah itu mengalir terus-menerus maka mandi dan lantas shalatlah.” (HR. Dawud, Ibnu Majah, at-Tirmidzi)[14]
3.
Ciri-ciri
Warna darah hitam[15]
Cairan kental[16]
Baunya busuk
Cairan tidak membeku ketika keluar.[17]
Sama sebagaimana darah haidh[18]
Warna darah merah segar
Cairannya encer
Tidak berbau busuk
Cairan membeku setelah keluar.[19]
4.
Status Darah
Najis[20]


Najis[21]
Ada 2 pendapat:
1. Tidak najis (karena darah itu termasuk urat yang terputus)
2. Najis (karena keluar dari jalurnya).[22]
5.
Masa
Minimal
Maksimal
Minimal
Maksimal

Ulama’ Hanafi: 3 hari tiga malam. Jika kurang dari itu disebut darah istihadhah.
Ulama’Madzhab Maliki : Bahwa tidak ada batasan minimal haidh.[23]
Ulama Hanafi:  10 hari
Ulama Maliki, Syafi’i dan Hambali:  15 hari[24]
Jumhur: 15 hari[25]
Abu Hanifah:
25 hari.
Muhammad bin Hasan: 20 hari
Abu Yusuf: 11 hari
Malik dan Syafi’i:
Tidak terbatas[26]
Hanabilah: 1 atau 2 hari[27]
Hanafi, Maliki, Syafi’i:
60 hari[28]
Hanabilah: 40 hari.[29] Ibnu Hazm[30] Saad bin al-Laits[31]: 70 hari
Ahlul ‘Ilmi,[32] sahabat Rasulullah: Sepakat  40 hari.[33] (Kecuali dia mendapatkan masa sucinya sebelum 40 hari).[34]
Pendapat yang Rajih:
40 hari[35]
Ulama Hanafi dan Hambali berpendapat yang termasuk darah istihadhah adalah biasanya darah itu keluar sebelum masa minimal haidh (sebelum umur 9 tahun), lebih dari masa maksimal haidh/nifas dan darah yang keluar dalam masa mengandung.[36]
Madzhab Syafi’i berpendapat  istihadhah adalah darah yang keluar setelah lewat 15 hari.[37]

6
Thalaq
1.      Haram
2.      Ada beberapa keadaan seorang wanita haidh itu diperbolehkan untuk dithalaq diantaranya adalah,
a)      Seorang istri yang haidh tapi belum pernah digauli.
b)      Seorang wanita hamil, namun ia mengalami haidh
c)       Seorang wanita yang meminta khulu’ terhadap suami.[38]  
Boleh [39]
 Boleh[40]
7.
Cara bersuci
Haidh
1.      Niat untuk melakukan mandi janabat.
2.      Membasuh kedua tangan tiga kali.
3.       Membasuh kemaluan dengan tangan kiri tanpa harus memasukkan tangan ke dalam bejana.[41]
4.      Berwudhu seperti wudhu untuk shalat.[42]Tapi boleh mengakhirkan basuhan pada kedua kaki hingga selesai mandi, jika menggunakan air dari bak atau semisalnya.[43]
5.      Membasuh kepala tiga kali hingga mencapai pangkal rambut. Jika rambutnya dikepang atau disanggul, maka tidak perlu menguraikannya. Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah ra, saat dia bertanya, Wahai Rasululullah, aku adalah seorang wanita yang suka mengepang rambut. Apakah aku harus menguraikannya ketika mandi junub?” Rosulullah r menjawab,“Tidak perlu. Engkau cukup menuangkan air ke kepala tiga kali lalu membasahi seluruh tubuh dan bersuci.” (HR. Al Muslim, Abu Daud, an-Nasa’i, at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
6.      Membasahi seluruh badan dengan memulai bagian kanan dan dilanjutkan dengan  bagian kiri.[44]
Nifas
Sama sebagaimana ketentuan mandi untuk wanita haidh.[45]
Istihadhah
Mandi
Wudhu
1.      Setiap kali akan shalat
Sebagian jama’ah shahabat dan tabi’in berpendapat bahwa wanita istihadhah wajib mandi setiap akan shalat.[46] Sebagaimana hadits Aisyah dari Ummu Habibah binti Jahsyi.[47] 
فَاغْسِلِي عَنْكَ الدَّمَ، ثُمَّ صَلِّي[48]
Ketika Rasulullah bersabda,  Mandilah lalu laksanakan shalat.’’ Rasulullah tidak menyebutkan untuk melakukan mandi setiap kali melaksanakan shalat.[49] Tetapi itu hanya pilihan dari Ummu Habibah sendiri.[50]
2.      Tidak wajib mandi setiap kali akan shalat, akan tetapi mandhub.
Jumhur berpendapat bahwa tidak wajib bagi wanita mustahadhah untuk mandi setiap kali shalat.[51] Imam Syafi’i,[52] Ulama’ Syafi’i, Hambali, Hanafi dan Maliki berpendapat mandi bagi wanita mustahadhah disunnahkan setiap kali hendak shalat.[53] Hal ini berdalil dengan Nabi menyuruh Ummu Habibah mandi,[54] lalu dia mandi setiap kali akan shalat. Bahkan mandi itu hukumnya mandhub dengan adanya qarinah bahwa Rasulullah tidak memerintahkan mandi pada Fathimah binti Abi Hubais setiap akan shalat.[55]
3.      Wajib mandi sehari semalam 3 kali mandi
Sebagian ulama’ berpendapat wajib mandi semalam 3 kali mandi.[56] Yaitu dengan mengakhirkan shalat Zhuhur dan mengawalkan shalat Ashar, shalat Maghrib dan Isya’, dan  sebelum shalat Subuh.[57] Mandi 3 kali ini hukumnya sunah saja.[58] Adapun sebagian ulama’ ini beristidlal dengan hadits Hamnah.[59]
4.      Satu kali mandi.
 Ini pendapat Madzhab Maliki, Malik, Syafi’i, Abu Hanifah dan pengikut mereka, ulama’ Anshar[60], dan Mayoritas Ahlul ‘Ilmi berpendapat bahwa mandi dilakukan saat berhenti haidh.[61] Adapun Baihaqi mengatakan bahwa yang benar menurut Jumhur bahwa dalam hadits Ummu Habibah itu tidak mengandung perintah untuk mandi kecuali hanya satu kali saja. Namun Ummu Habibah mandi setiap kali akan sholat itu pilihannya sendiri.[62]  
Dr. Wahbah Zuhaili didalam kitabnya Mausu’ah Fiqhi Islam menerangkan bahwasanya disepakati oleh empat madzhab fiqh bahwa wanita istihadhah wajib mandi hanya sekali saja. Ketetapan ini berdalil dengan hadits Hamnah.[63]
5.      Wajib mandi satu kali dalam sehari semalam yang waktunya tidak ditentukan.
Sekelompok ulama’ lain berpendapat bahwa wanita istihadhah wajib mandi satu kali dalam sehari semalam yang waktunya tidak ditentukan.[64] Pendapat ini diriwayatkan oleh Ali.[65] Akan tetapi hal ini tidak ada dasar pijakan yang digunakan.
Ulama’ Maliki berpendapat  wanita mustahadhah disunnahkan wudhu setiap kali hendak shalat.[66]
Jumhur (Ulama’ Hanafi, Syafi’i, Hambali) berpendapat wanita mustahadhah diwajibkan wudhu setiap hendak shalat[67]. Sebelumnya ia membasuh kemaluannya, mengikat dan memasukkan kapas didalamnya. Kecuali jika penahanan dan pengikatan dengan kapas itu menyakitkan ataupun dia sedang berpuasa.[68]
Ulama’ Hanafi dan Hambali berpendapat  wanita mustahadhah dan semacamnya boleh shalat beberapa fardhu dan sunnah dengan menggunakan satu kali wudhu. Namun wudhunya batal dengan keluarnya waktu sebagaimana dalam pembahasan wudhunya orang yang berudzur. Dalilnya adalah Nabi menyuruh Hamnah binti Jahsy, Sahlah bin Suhail menggabungkan dua shalat dalam satu wudhu.
Pendapat yang ashah bahwa sebaiknya wanita mustahadhah memperbaiki ikatannya setiap kali hendak melakukan shalat fardhu. Hal ini diqiyaskan dengan melakukan wudhu setiap kali hendak shalat.[69]















NB. Keterangan:
8. Kondisi Wanita Mustahadhah
Adapun mengenai wanita mustahadhah dalam hal ini ada 3 kondisi:[70]
1.      Sebelum mengalami isthihadhah, ia mengetahui secara pasti masa-masa haidh (ketentuan berapa hari haidhnya/kapan jadwal haidhnya).
Maka ia harus menunggu sampai masa haidhnya selesai, kemudian ia menghukumi sebagai darah isthihadhah.[71] Hal ini berdasarkan hadits Aisyah,
Tetapi tinggalkanlah shalat mengikuti kadar hari-hari yang (biasanya) engkau haidh. Kemudian mandilah dan shalatlah.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)[72]
2.      Sebelum mengalami isthihadhah, ia tidak mengetahui secara jelas masa-masa haidh. Maka hendaknya ia melakukan tamyiz (membedakan) ciri-ciri antara keduanya. Hal ini berhujjah dengan hadits Fathimah bintu Abi Hubaisy, Rasulullah r berkata kepadanya,
إِذَا كَانَ دَمُ الْحَيْضِ فَإِنَّه دَمٌ أَسْوَدُ يُعْرَفُ، فَأَمْسِكِي عَنِ الصَّلَاةِ، فَإِذَا كَانَ الْاَخَرُ فَتَوَضَّئِي  فَإِنَّمَا هُوَ عِرْقٌ
Bila darah itu darah haidh, maka darahnya hitam yang sudah dikenal.[73] Sehingga tinggalkanlah shalat, jika selain itu maka berwudhulah karena itu darah penyakit.”[74]
3.      Sebelum haidh ia tidak memiliki waktu/masa-masa haidh yang tidak pasti tapi ia tidak dapat membedakan antara darah haidh ataupun darah isthihadhah dan darahnya hanya memiliki satu sifat saja.
 Maka hendaknya ia mengambil keumuman masa haidh para wanita.[75] Sebagaimana hadits Hamnah binti Jahsy,
Sesungguhnya  itu adalah darah rakhdah (godaan )[76] setan. Oleh karena itu, anggaplah masa haidhmu adalah selama 6 hari atau 7 hari (Allah Yang Mengetahui yang sebenarnya). Kemudian mandilah, sehingga apabila engkau dapati bahwa engkau telah suci dan engkau yakin bahwa darah berhenti, maka shalatlah 24 hari atau 23 hari. ………………”[77] (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)



C.      PENUTUP
Dari uraian diatas maka darah haidh memiliki ciri-ciri yang sama dengan darah nifas dan yang menjadi perbedaan di antara kedua darah adalah sebab terjadinya darah tersebut. Darah haidh hanya bersifat alamiyah pada diri wanita, adapun darah nifas terjadi disebabkan lahirnya janin. Sedangkan darah istihadhah adalah darah yang rusak ataupun darah penyakit.
Wallahu’alam bish-Shawab..................................

 REFERENSI:
Alu, asy-Syaikh, Syaikh Muhammad bin Ibrahim, Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Jakarta: Darul Haq. 2001 M.
Atsqalani, al-, Ibnu Hajar, Fathul Baari, Kairo: Darul Hadits, 1998 M.
‘Azazi, al- Abu Abdurrahman Adil bin Yusuf, Tamamul Minah fi fiqhil Kitab wa Shahih asy-Sunnah, Iskandariyah: Darul Aqidah. 2009 M.
Buhuqi, al-, Manshur bin Yusuf bin Idris, Kasyaful Qina’ ‘An Matnil ‘Iqna’. ‘Alimul Kutub.
Ibnu Salim, Ibrahim bin Muhammad, Manarus Sabil fi Syarhid Dalil, Kairo: Darul Aqidah 2007 M.
Ibnu Qudamah, al-Mughni, cet. 1, Jakarta: Pustaka Azzam, 2007 M.
Jaziri, al-, ‘Abdurrahman. Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzhab Al-Arba’ah. Mesir: Darut Taqwa. 2003 M.
Malik, Malik bin Anas bin, al-Muwatho’, “Kitab fil Mustahadhah”, Beirut-Libanon: Darull Fikri. 2011 M.
Rusyd, Ibnu, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtasid, cet. 1, Kairo: Darul Aqidah. 2004 M.
Shan’ani, ash, Muhammad bin Ismail al-Amir, Subulus Salam, cet.ke-1, Kairo: Darul Aqidah. 2002 M.
Syarbini, asy-, Muhammad al-Khatib. Mughni Al-Muhtaj. Bairut-Lebanon: Darul Fikri. 1429 1430 H/ 2009 M, cet. Pertama.
Syaikh, asy-, Muhammad bin Ibrahim dkk. Fatwa-Fatwa Tentang Wanita. Jakarta: Darul Haq. 2001 M.
Syuyuthi, asy-,  Jalaluddin. Sunan An-Nasa’i. Bairut-Lebanon: Darul Fikri. 1433-1434 H/ 2012 M, cet. Pertama.
Syaukani, asy-, Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad. Nailul Authar. Al-Qahirah: Darul Hadits. 1426 H/ 2005 M.
Tirmidzi, at-, Kitab Sunan Tirmidzi, Bairut Lebanon: Darul Fiker. 1429-1430 H/ 2009 M.
Utsaimin, al-, Muhammad bin Shalih, Fathu Dzul Jalali wal Ikram bi Syarhi Bulughul Maram, cet. 1, Kairo: Maktabah Islamiyah. 2006 M.
Rusyd, Ibnu, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtasid, cet. 1, Kairo: Darul Aqidah. 2004 M.
Zaidan, Abdul Karim, al-Mufasol fi Ahkamil Mar’ah wa Baitil Muslim, cet. 3, (Bairut-Lebanon: Muasasah ar-Risalah 2000 M.
Zuhaili, al-, Wahbah, Fiqih Islam wa Adilatuhu,, cet. ke-4 Jakarta: Gema Insani, 2010 M.
Zuhaili, al-, Wahbah, Mausu’atul Fiqhil Islam, Damaskus: Darul Fikr, 2010 M.


[1] Wahbah az-Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu (Jakarta: Gema Insani. 2010), jil. 1 hal. 508.
[2] Manshur bin Yusuf bin Idris al-Buhuqi, Kasyaful Qina’ ‘An-Matnil ‘Iqna, (Alimul Kutub), jil. 1, hal. 181.
[3] Dr. Ibrahim A’yas, al-Mu’jam al-Wasith, (Kairo: t.p., 1972), hal. 980.
[4] Abdurrahman al-Jaziri, Al-Fqhu ‘Ala Madzahibil Arba’ah, (Mesir: Darut Taqwa), jil. 1, hal. 107.
[5] Ibid.
[6] Manshur bin Yusuf bin Idris al-Buhuqi, Kasyaful Qina’ ‘An-Matnil ‘Iqna, (Alimul Kutub) jil. 1, hal. 226.
[7] Wahbah az-Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani. 2010), jil 1, hal 516-517.
[8] Dr. Ibrahim A’yas, al-Mu’jam al-Wasith, (Kairo: t.p., 1972), hal. 233
[9] Abu Ubaidah Usamah bin Muhammad al-Jamal, Shahih Fiqh Wanita, cet. ke-1, (Solo: Insan Kamil. 2010), hal. 57.
[10] Wahbah az-Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu (Jakarta: Gema Insani. 2010), jil. 1 hal. 527.
[11] Ibnu Hajar ‘al-Atsqalani, Fathul Baari, (Kairo: Darul Hadits, 1998), jil. 1, hal. 483.
[12] Al-Qur’anul Karim dan Terjemahan
[13] At-Tirmidzi, Sunan Tirmidzi, (Beirut-Lebanon: Darul Fikr. 2009), jil 1, hal 189.
[14] Imam Malik, al-Muwatho’, “Kitab fil Mustahadhah”, jil. 1, (Beirut-Libanon: Darul Fikri. 2011), hal. 43. Hadits no. 137.
[15] Kebiasaan warna darah haidh adalah hitam, tidak ada perselisihan dalam hal ini. Adapun selain warna hitam ada perselisihan dikalangan ulama’. Sebagaimana hadits Rasulullah r,
إِذَا كَانَ دَمُ الْحَيْضِ فَإِنَّه دَمٌ أَسْوَدُ يُعْرَفُ، فَأَمْسِكِي عَنِ الصَّلَاةِ، فَإِذَا كَانَ الْاَخَرُ فَتَوَضَّئِي  فَإِنَّمَا هُوَ عِرْقٌ
Bila darah itu darah haidh, maka darahnya hitam yang sudah dikenal. Sehingga tinggalkanlah shalat, jika selain itu maka berwudhulah karena itu darah penyakit.”( HR. An-Nasa’i, no. 359)
[16] Dr. Wahbah Zuhaili didalam kitabnya Fiqh Islam wa Adillatuhu menerangkan bahwa menurut pendapat ulama’ Syafi’i mengatakan, daftar urutan, mulai yang terkuat adalah kental dan busuk, kemudian busuk, kemudian kental, kemudian tidak kental dan tidak busuk.
[17] Abu Abdurrahman Adil bin Yusuf al-‘Azazi, Tamamul Minah, (Iskandariyah: Darul Aqidah. 2009), jil.1, hal. 142.
[18] Ibnu Qudamah, al-Mughni, cet. 1, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), jil. 1, hal. 576.
[19] Ibid.
[20] Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Fathu Dzul Jalali wal Ikram bi Syarhi Bulughul Maram cet. 1, (Kairo: Maktabah Islamiyah 2006), jil 1 hal 158.
[21]Ibid.
[22]Ibid,  hal. 15
[23] Muhammad bin Ibrahim Alu asy-Syaikh, Fatawa Wa Rasail Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh, jil. 2,  hal, 218.
[24] pendapat yang paling kuat adalah tidak ada batasan masa haidh yang tercepat atau pun terlama, karena tidak ada dalil yang menunjukkan pada kedua masalah ini, demikian pendapat yang dipilih oleh Syaikh Taqiyuddin rahimahullah
[25] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtasid, cet. 1, (Kairo: Darul Aqidah. 2004), jil. 1, hal. 68.     
[26] Ibid.   
[27] Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Fathu Dzul Jalali wal Ikram bi Syarhi Bulughul Maram, cet. 1,(Kairo: Maktabah Islamiyah. 2006), jil.1, hal. 408
[28] Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Fathu Dzul Jalali wal Ikram bi Syarhi Bulughul Maram, cet. 1,(Kairo: Maktabah Islamiyah. 2006), jil.1, hal. 408
[29]Ibid.
[30] At-Tirmidzi, Sunan Tirmidzi, (Beirut-Lebanon: Darul fikr. 2009), jil 1, hal 189
[31] Abi Abdillah Shadruddin Muhammad bin Abdurrahman bin Husain ad-Dimisqi al-Utsmani asy-Syafi’i, Rahmatul Ummah fi Ikhtilafil Aimah, cet. 1, (Beirut-Libanon: Darul Kutub al-Ilmiyah. 2007), hal. 23
[32] At-Tirmidzi, Sunan Tirmidzi, (Beirut-Libanon: Darul Fikr), jil 1, hal 189
 [33] وعن أم سلمة قالت :كانت النفساء تجلس على عهد  الرسول صلى الله وسلم  علي  أربعين يوما....
Adapun wanita nifas menjalani masa nifasnya selama empat hari.” (HR. Al-Bukhari, Muslim,Ibnu Majah, Abu Daud)
[34] Ibrahim bin Muhammad bin Salim, Manarus Sabil fi Syarhid Dalil, (Kairo: Darul Aqidah 2007), jil 1, hal. 58.
[35] Abdul Karim Zaidan, al-Mufasol fi Ahkamil Mar’ah wa Baitil Muslim, cet. 3, (Bairut-Lebanon: Muasasah ar-Risalah 2000). Jil. 1, hal. 109.
[36] Wahbah Zuhaili, Fiqh Sunnah wa Adillatuhu, cet. ke-4, (Jakarta: Gema Insani. 2010), jil. 1, hal. 527.
[37] Ibid, hal. 532.
[38] Al-Abu Abdurrahman Adil bin Yusuf al-Azazi, Tamamul Minah fi fikhil Kitab wa Shahih asy-Sunnah, (Iskandariyah: Darul Aqidah. 2009), jil. 1, hal. 149
[39] Ibid.
[40] Wahbah  az-Zuhaili, Mausu’atul Fiqhil Islam, (Damaskus: Darul Fikr, 2010 M), jil. 1, hal. 543.
[41] DR. Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan Al-Mulakhosh Al-Fiqhi, (Kairo: Darul Aqidah, 1424 H/2003 M, cet. 1), jil. 1. hal. 53-54.
[42]Ibid, hal. 54.
[43]Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim Fiqih Sunnah Untuk Wanita, (Jakarta: Al-I’tishom Cahaya Umat, Maret 2012, cet. 6), hal. 63.
[44]Ibid, hal. 63-64.
[45] Wahbah Zuhaili, Fiqh Sunnah wa Adillatuhu, cet. ke-4, (Jakarta: Gema Insani. 2010), jil. 1, hal. 518
[46] Muhammad bin Ismail al-Amir ash-Shan’ani, Subulus Salam, cet.ke-1, (Kairo: Darul Aqidah.2002),  jil. 1, hal. 194
[47] Ummu Habibah binti Jahsyin ini istri dari Abdurrahman bin Auf, Ummu Habibah ini wanita yang beristihadhah selama tujuh tahun.
[48] (HR. Dawud, Ibnu Majah, at-Tirmidzi)
[49] Ibnu Qudamah, Al Mugni, cet. ke-1, (Jakarta :Pustaka Azzam. 2007), jil. 1, hal. 598
[50]Muhammad Syamsyuddin Huri al-Adhim Abadi, Aunul Ma’bud, (Kairo: Darul Hadits. 2001), jil. 1, hal. 321
[51]Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtasid, cet. 1, (Kairo: Darul Aqidah. 2004), jil. 1, hal. 68        
[52]Muhammad Samsyul Huri Al Adhim Abadi, Aunul Ma’bud, (Kairo: Darul Hadits. 2001), jil. 1, hal. 320
[53] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtasid, cet. 1, (Kairo: Darul Aqidah. 2004), jil. 1, hal. 68.
[54] Shahabiyah Ummu Habibah ini mengalami istihadhah selama tujuh tahun. Salah satu riwayat menerangkan bahwa pada zaman Rasulullah ada 9 wanita yang mengalami isthihadhah. Tiga diantaranya adalah keluarga Jahsy yaitu Hamnah binti Jahsy (Istri dari Thalhah bin Abdullah), Zainab Binti Jahsy (Salah satu dari umahatul Mu’minin), Ummu Habibah binti Jahsy(Istri Abdurrahman bin Auf), Fathimah binti Abu Hubaisy. Selain itu ada wanita yang lain, seperti Sahlah binti Suhail, Asma’ binti Murtsid, Badiyah binti Ghallan akan tetap meraka tidak terlalu terkenal dalam periwayatan hadits, juga pengambilan hukum yang berkaitan dengan istihadhah.
[55] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtasid, cet. ke 1, (Kairo: Darul Aqidah. 2004), jil. 1, hal. 68.
[56] Ibid.
[57]Sebagaimana Hadits Asma’ binti Umais, Asma’ berkata,” Wahai Rasulullah, sesungguhnya Fathimah binti Hubaisy terkena penyakit istihadhah, maka Rasulullah bersabda, hendaknya ia masuk satu kali untuk shalat Dhuhur dan Ashar, dan satu kali mandi untuk shalat Maghrib dan Isya dan mandi untuk shalat subuh, dan diantara mandi dan shalat itu, hendaknya ia berwudhu. (HR Abu Dawud dan Darimi)
[58] Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Fathu Dzul Jalali wal Ikram bi Syarhi Bulughul Maram, cet. 1, (Kairo: Maktabah Islamiyah. 2006), jil. 1, hal, 384.
[59] Muhammad bin Ismail al-Amir ash-Shan’ani, Subulus Salam, cet.ke-1, (Kairo: Darul Aqidah. 2002),  jil. 1, hal. 193.
[60] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtasid, cet. 1, (Kairo: Darul Aqidah. 2004), jil. 1, hal. 68.  
[61] Ibnu Qudamah, Al-Mugni, cet. ke-1, (Jakarta: Pustaka Azam. 2007), jil. 1, hal. 598.
[62] Muhammad Syamsyuddin Huri al-Adhim Abadi, Aunul Ma’bud, (Kairo: Darul Hadits. 2001), jil.1,  hal. 32.
[63] Wahbah Zuhaili, Fiqh Sunnah wa Adillatuhu, cet. ke-4,(Jakarta: Gema Insani, 2001), jil. 1, hal. 529.
[64]Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtasid, cet. 1, (Kairo: Darul Aqidah. 2004), jil. 1, hal. 68.
[65] Ibid.
[66] Wahbah Zuhaili, Fiqh Sunnah wa Adzilatuhu, cet. ke-4,(Jakarta: Gema Insani, 2010), jil. 1, hal. 530.
[67] Ibid.
[68] Wahbah Zuhaili, Fiqh Sunnah wa Adillatuhu, cet. ke-4,(Jakarta: Gema Insani, 2010), jil. 1, hal. 530.
[69] Wahbah Zuhaili, Mausu’atul Fiqhil Islam, (Damaskus: Darul Fikr, 2010), jil. 1, hal. 544.
[70]  Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu asy-Syaikh, Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, (Jakarta: Darul Haq, 2001), hal, 98.
[71] Abu Ubaidah Usamah bin Muhammad al-Jamal, Shahih Fiqh Wanita, cet. ke-1, (Solo: Insan Kamil, 2010), hal. 57.
[72] At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, (Beirut-Lebanon: Darul Fikr. 1429-1430 H/ 2009 M), hal. 175, no. hadist. 126
[73] Yang dimaksud dengan darah yang sudah dikenal adalah darah yang berbau busuk.
[74] HR. An-Nasa’i, no. 359         
[75] Wahbah Zuhaili, Fiqh Sunnah wa Adillatuhu, cet. ke-4, (Jakarta: Gema Insani, 2001), jil. 1, hal. 530
[76] Karena setan mencari jalan untuk merusak urusan agama seseorang, bersuci dan shalatnya, hingga dia lupa bahwa itu adalah kebiasaannya.
[77] At-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, (Beirut-Lebanon: Darul Fikr, 1429-1430 H/ 2009 M), hal. 172 no. hadits 128

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Fairplay Casino Review - xn--o80b910a26eepc81il5g.online
Fairplay casino is one of the most well-known 메리트카지노총판 online casinos that 1xbet korean focuses on providing high quality gambling and entertainment. Find out more 바카라 사이트 and learn more

Posting Komentar

 
;