Perbedaan Darah
Haidh, Istihadhah dan Nifas
Oleh: Fathimah
Zhafirah dan Lilis Handayani
A.
Pembukaan
Wanita adalah makhluk yang istimewa karena setiap wanita dibekali
Allah Ta’ala kecantikan dan kecanggihan sistem reproduksi. Allah Ta’ala
ciptakan kaum hawa berbeda dengan kaum adam, di antara salah satu yang
membedakannya adalah dari sisi darah. Wanita diciptakan untuk mengalami haidh,
nifas dan terkadang isthihadhah. Dari bentuk pembeda inilah secara otomatis
wanita harus memahami secara mendalam “Fiqhud Dima’’ karena permasalahan tentang darah wanita sangatlah luas.
Sementara ini meninjau dari realita yang ada, banyak wanita
muslimah yang kurang memahami dalam permasalahan fiqh dima’ ini.
Sedangkan di dalam Islam permasalahan yang berkaitan dengan darah wanita telah
diatur secara rapi. Berangkat dari kurangnya pemahaman para wanita muslimah,
maka penulis mencoba untuk mengulas tentang perbedaan 3 jenis darah (darah
haidh, darah isthihadhah dan darah nifas) secara terperinci.
B.
Perbedaan antara darah haidh nifas dan
istihadhah
No
|
|
Haidh
|
Nifas
|
Istihadhah
|
||||||||
1.
|
Definisi
|
Etimologi
|
Terminologi
|
Etimologi
|
Terminologi
|
Etimologi
|
Terminologi
|
|||||
Haidh berasal dari bahasa arab حاض- يحيض - حيضا. Maka bisa dikatakan air
mengalir ketika banjir, pohon yang mengalir getahnya (pohon samurah) dan jika
dikatakan حاضت المرأة berarti seorang wanita yang mengalir darahnya. Oleh sebab
itu, apabila terjadi banjir pada suatu lembah, maka orang Arab menyebutkan
sebagai haadha al-waadi.[1]
|
Madzhab Hanabilah: Darah tabiat yang keluar pada
saat kondisi sehat (bukan karena persalinan), yang keluar dari bagian dalam
rahim setelah mencapai usia baligh pada masa tertentu.[2]
|
Nifas berasal dari bahasa arab yaitu dari
fi’il نفس -نفاسا ينفس- yang artinya: ولدت yaitu: seorang wanita yang melahirkan.
Apabila dikatakan نفست المرأة maka artinya seorang perempuan telah melahirkan. Sedangkan wanita
yang nifas adalah nafasah atau nufasa’, adapun masdarnya adalah
النفاس
yang artinya masa setelah melahirkan, keadaan ini untuk mengembali-
kan rahim dan anggota reproduksi-
nya kembali sebagaimana sebelum hamil.[3]
|
Menurut ulama’ Hanafi
dan Syafi’i
Nifas adalah darah yang keluar setelah
bersalin. Adapun darah yang keluar bersama dengan bayi saat lahir atau
sebelumnya, adalah darah istihadhah.
Menurut ulama’ Maliki[4] Nifas adalah
darah yang keluar dari kemaluan wanita sewaktu melahirkan bayi ataupun
setelahnya, walaupun darah itu keluar diantara lahirnya anak kembar. Darah yang
keluar sebelum kelahiran, menurut pendapat yang paling rajih menurut ulama’
Maliki dihukumi sebagai darah haid.[5]
Menurut ulama’
|
Berasal dari bahasa
Arab dari fi’il استحض- يستحض
استحاضة yaitu fi’il khumasi
dari حاض-يحيض حيضا yang artinya mengalir. Apabila
ada kalimat yang berbunyi استحضت المرأة artinya wanita itu sedang
mengalir darahnya. استحضت merupakan darah yang mengalir dari rahim
seorang perempuan setelah hari-hari haidh yang biasa.[8]
|
Abu Ubaidah
Usamah bin Muhammad al-Jamal dalam Shahih Fiqh Wanita menyebutkan
darah yang tidak biasa keluar dan bukan bersifat alamiah dari fisik
perempuan, melainkan karena adanya pembuluh darah yang terputus.[9]
Dr. Wahbah az-Zuhaili didalam kitabnya Fiqh Islam wa Adillatuhu
menyebutkan bahwasannya darah istihadhah adalah darah yang mengalir bukan
pada waktu biasa (selain haidh dan nifas) disebabkan sakit dipangkal (dekat)
rahim. Pendarahan itu disebut dengan al-‘aadzil.[10]
Al Imam Ibnu Hajar al-Atsqalani dalam kitabnya Fathul Baari menjelaskan
bahwa Istihadhah adalah darah yang mengalir dari kemaluan wanita bukan pada
waktunya dan keluarnya dari urat.”[11]
|
|||||||
2.
|
Dalil
|
وَيَسْاَلُوْنَكَ عَنِ المحِيْضِ قُلْ هُوَ اَذَىْ...
“ Dan mereka menanyakan kepadamu
(Muhammad) tentang haidh. Katakanlah,”Itu adalah sesuatu yang kotor.” (QS. Al-Baqarah:
222)[12]
|
عن أم سلمة قالت :كَانَتْ
النُفَسَاءُ تَجلِسُ عَلَى عَهْدِ الرَّسُوْلِ
صَلَى الله وَسَلَّمْ عَلَى أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا...
“Adapun wanita nifas menjalani
masa nifasnya selama empat puluh hari.” (HR. Al-Bukhari, Muslim,Ibnu Majah, Abu Daud)[13]
|
إِنَّمَا ذَلِكَ عِرْقٌ وَلَيْسَتْ بِالْحَيْضَة فَإِذَا أَقْبَلَتِ
الْحَيْضَةُ فَدَعِي الصَّلَاةَ، وَإِذَا أَدْبَرَتِ الْحَيْضَةُ فَاغْسِلِي عَنْكَ
الدَّمَ، ثُمَّ صَلِّي
“Itu berasal
dari urat dan bukan darah haidh. Apabila kamu
mendapati hari-hari haidhmu maka tinggalkanlah shalat, apabila darah itu
mengalir terus-menerus maka mandi dan lantas shalatlah.” (HR.
Dawud, Ibnu Majah, at-Tirmidzi)[14]
|
||||||||
3.
|
Ciri-ciri
|
Cairan
kental[16]
Baunya busuk
Cairan tidak
membeku ketika keluar.[17]
|
Sama
sebagaimana darah haidh[18]
|
Warna darah merah
segar
Cairannya
encer
Tidak berbau
busuk
|
||||||||
4.
|
Status Darah
|
Najis[20]
|
Ada 2
pendapat:
1. Tidak najis (karena
darah itu termasuk urat yang terputus)
|
|||||||||
5.
|
Masa
|
Minimal
|
Maksimal
|
Minimal
|
Maksimal
|
|
||||||
Ulama’ Hanafi: 3 hari tiga malam. Jika kurang dari itu disebut darah istihadhah.
|
Ulama’ Hanafi: 10 hari
|
Abu Hanifah:
25 hari.
Muhammad bin Hasan: 20 hari
Abu Yusuf: 11 hari
Malik dan Syafi’i:
Tidak terbatas[26]
|
Hanafi,
Maliki, Syafi’i:
60 hari[28]
Ahlul ‘Ilmi,[32] sahabat
Rasulullah: Sepakat 40 hari.[33] (Kecuali
dia mendapatkan masa sucinya sebelum 40 hari).[34]
Pendapat yang Rajih:
40 hari[35]
|
Ulama Hanafi dan Hambali berpendapat yang termasuk darah istihadhah adalah biasanya darah itu
keluar sebelum masa minimal haidh (sebelum umur 9 tahun), lebih dari masa
maksimal haidh/nifas dan darah yang keluar dalam masa mengandung.[36]
|
||||||||
6
|
Thalaq
|
1.
Haram
2.
Ada beberapa keadaan seorang wanita haidh
itu diperbolehkan untuk dithalaq diantaranya adalah,
a)
Seorang istri yang haidh tapi belum pernah
digauli.
b)
Seorang wanita hamil, namun ia mengalami
haidh
|
||||||||||
7.
|
Cara bersuci
|
|||||||||||
Haidh
|
1.
Niat untuk melakukan mandi
janabat.
2.
Membasuh kedua tangan tiga kali.
4.
Berwudhu seperti wudhu untuk
shalat.[42]Tapi boleh
mengakhirkan basuhan pada kedua kaki hingga selesai mandi, jika menggunakan
air dari bak atau semisalnya.[43]
5.
Membasuh kepala tiga
kali hingga mencapai pangkal rambut. Jika rambutnya dikepang atau disanggul,
maka tidak perlu menguraikannya. Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan
oleh Ummu Salamah ra, saat dia bertanya, “Wahai Rasululullah, aku
adalah seorang wanita yang suka mengepang rambut. Apakah aku harus
menguraikannya ketika mandi junub?” Rosulullah r menjawab,“Tidak perlu. Engkau
cukup menuangkan air ke kepala tiga kali lalu membasahi seluruh tubuh dan
bersuci.” (HR. Al Muslim, Abu Daud, an-Nasa’i, at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
|
|||||||||||
Nifas
|
||||||||||||
Istihadhah
|
Mandi
|
Wudhu
|
||||||||||
1.
Setiap kali akan shalat
Sebagian jama’ah shahabat dan
tabi’in berpendapat bahwa wanita istihadhah wajib mandi setiap akan
shalat.[46] Sebagaimana
hadits Aisyah dari Ummu Habibah binti Jahsyi.[47]
فَاغْسِلِي عَنْكَ الدَّمَ، ثُمَّ صَلِّي[48]
Ketika
Rasulullah bersabda, “Mandilah lalu
laksanakan shalat.’’ Rasulullah tidak menyebutkan untuk melakukan mandi
setiap kali melaksanakan shalat.[49] Tetapi itu
hanya pilihan dari Ummu Habibah sendiri.[50]
2.
Tidak wajib
mandi setiap kali akan shalat, akan tetapi mandhub.
Jumhur berpendapat
bahwa tidak wajib bagi wanita mustahadhah untuk mandi setiap kali shalat.[51] Imam
Syafi’i,[52] Ulama’
Syafi’i, Hambali, Hanafi dan Maliki berpendapat mandi bagi wanita
mustahadhah disunnahkan setiap kali hendak shalat.[53] Hal ini
berdalil dengan Nabi
menyuruh Ummu Habibah mandi,[54] lalu dia
mandi setiap kali akan shalat. Bahkan mandi
itu hukumnya mandhub dengan adanya qarinah bahwa Rasulullah tidak
memerintahkan mandi pada Fathimah binti Abi Hubais setiap akan shalat.[55]
3.
Wajib mandi
sehari semalam 3 kali mandi
Sebagian ulama’ berpendapat
wajib mandi semalam 3 kali mandi.[56] Yaitu dengan
mengakhirkan shalat Zhuhur dan mengawalkan shalat Ashar, shalat Maghrib
dan Isya’, dan sebelum shalat Subuh.[57] Mandi 3
kali ini hukumnya sunah saja.[58] Adapun
sebagian ulama’ ini beristidlal dengan hadits Hamnah.[59]
4.
Satu kali
mandi.
Ini pendapat Madzhab Maliki, Malik, Syafi’i,
Abu Hanifah dan pengikut mereka, ulama’ Anshar[60], dan Mayoritas
Ahlul ‘Ilmi berpendapat bahwa mandi dilakukan saat
berhenti haidh.[61] Adapun
Baihaqi mengatakan bahwa yang benar menurut Jumhur bahwa dalam hadits Ummu
Habibah itu tidak mengandung perintah untuk mandi kecuali hanya satu kali
saja. Namun Ummu Habibah mandi setiap kali akan
sholat itu pilihannya sendiri.[62]
Dr. Wahbah Zuhaili didalam
kitabnya Mausu’ah Fiqhi Islam menerangkan bahwasanya disepakati oleh
empat madzhab fiqh bahwa wanita istihadhah wajib mandi hanya sekali saja.
Ketetapan ini berdalil dengan
hadits Hamnah.[63]
5.
Wajib mandi satu kali dalam sehari semalam yang waktunya tidak ditentukan.
|
Jumhur (Ulama’
Hanafi, Syafi’i, Hambali)
berpendapat wanita mustahadhah diwajibkan wudhu setiap hendak shalat[67]. Sebelumnya ia membasuh kemaluannya, mengikat dan memasukkan kapas
didalamnya. Kecuali jika penahanan dan pengikatan dengan kapas itu
menyakitkan ataupun dia sedang berpuasa.[68]
Ulama’
Hanafi dan Hambali berpendapat wanita mustahadhah dan semacamnya boleh shalat
beberapa fardhu dan sunnah dengan menggunakan
satu kali wudhu. Namun wudhunya batal dengan keluarnya waktu sebagaimana
dalam pembahasan wudhunya orang yang berudzur. Dalilnya adalah Nabi menyuruh
Hamnah binti Jahsy, Sahlah bin Suhail menggabungkan
dua shalat dalam satu wudhu.
Pendapat yang ashah bahwa
sebaiknya wanita mustahadhah memperbaiki ikatannya setiap kali hendak
melakukan shalat fardhu. Hal ini diqiyaskan dengan melakukan wudhu setiap
kali hendak shalat.[69]
|
|||||||||||
NB. Keterangan:
8. Kondisi Wanita
Mustahadhah
1.
Sebelum mengalami isthihadhah, ia
mengetahui secara pasti masa-masa haidh (ketentuan berapa hari haidhnya/kapan
jadwal haidhnya).
Maka ia harus menunggu sampai masa haidhnya selesai, kemudian ia
menghukumi sebagai darah isthihadhah.[71] Hal ini
berdasarkan hadits Aisyah,
“Tetapi tinggalkanlah shalat mengikuti kadar hari-hari yang
(biasanya) engkau haidh. Kemudian mandilah dan shalatlah.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)[72]
2.
Sebelum mengalami isthihadhah, ia
tidak mengetahui secara jelas masa-masa haidh. Maka hendaknya ia melakukan tamyiz
(membedakan) ciri-ciri antara keduanya. Hal ini berhujjah dengan hadits Fathimah bintu Abi Hubaisy, Rasulullah r berkata kepadanya,
إِذَا كَانَ دَمُ الْحَيْضِ
فَإِنَّه دَمٌ أَسْوَدُ يُعْرَفُ، فَأَمْسِكِي عَنِ الصَّلَاةِ، فَإِذَا كَانَ الْاَخَرُ
فَتَوَضَّئِي فَإِنَّمَا هُوَ عِرْقٌ
“Bila darah itu darah haidh,
maka darahnya hitam yang sudah dikenal.[73]
Sehingga tinggalkanlah shalat, jika selain itu maka berwudhulah karena itu
darah penyakit.”[74]
3. Sebelum haidh ia tidak
memiliki waktu/masa-masa haidh yang tidak pasti tapi ia tidak dapat membedakan
antara darah haidh ataupun darah isthihadhah dan darahnya hanya memiliki satu
sifat saja.
Maka hendaknya ia mengambil
keumuman masa haidh para wanita.[75] Sebagaimana
hadits Hamnah binti Jahsy,
“Sesungguhnya itu adalah
darah rakhdah (godaan )[76] setan. Oleh
karena itu, anggaplah masa haidhmu adalah selama 6 hari atau 7 hari (Allah Yang
Mengetahui yang sebenarnya).
Kemudian mandilah, sehingga apabila engkau dapati bahwa engkau telah suci dan
engkau yakin bahwa darah berhenti, maka shalatlah 24 hari atau 23 hari. ………………”[77] (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)
C.
PENUTUP
Dari uraian diatas maka darah haidh memiliki ciri-ciri yang sama dengan darah nifas dan yang menjadi perbedaan di antara kedua darah adalah sebab terjadinya darah tersebut. Darah haidh hanya bersifat alamiyah pada
diri wanita, adapun darah nifas terjadi disebabkan lahirnya janin. Sedangkan darah istihadhah adalah darah yang rusak ataupun darah penyakit.
Wallahu’alam bish-Shawab..................................
REFERENSI:
Alu,
asy-Syaikh, Syaikh Muhammad bin Ibrahim, Fatwa-Fatwa Tentang Wanita,
Jakarta: Darul Haq. 2001 M.
Atsqalani, al-, Ibnu
Hajar, Fathul Baari, Kairo: Darul Hadits, 1998 M.
‘Azazi, al- Abu
Abdurrahman Adil bin Yusuf, Tamamul Minah fi fiqhil Kitab wa Shahih
asy-Sunnah, Iskandariyah: Darul Aqidah. 2009 M.
Buhuqi, al-, Manshur bin Yusuf bin Idris, Kasyaful Qina’ ‘An Matnil ‘Iqna’. ‘Alimul
Kutub.
Ibnu Salim,
Ibrahim bin Muhammad, Manarus Sabil fi Syarhid Dalil, Kairo: Darul
Aqidah 2007 M.
Ibnu Qudamah, al-Mughni,
cet. 1, Jakarta: Pustaka Azzam, 2007 M.
Jaziri, al-, ‘Abdurrahman. Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzhab
Al-Arba’ah. Mesir: Darut Taqwa. 2003 M.
Malik, Malik bin Anas bin, al-Muwatho’, “Kitab fil Mustahadhah”, Beirut-Libanon:
Darull Fikri. 2011 M.
Rusyd, Ibnu, Bidayatul
Mujtahid Wa Nihayatul Muqtasid, cet. 1, Kairo: Darul Aqidah. 2004 M.
Shan’ani, ash, Muhammad bin Ismail al-Amir, Subulus
Salam, cet.ke-1, Kairo: Darul Aqidah. 2002 M.
Syarbini, asy-, Muhammad al-Khatib. Mughni Al-Muhtaj.
Bairut-Lebanon: Darul Fikri. 1429 1430 H/ 2009 M, cet. Pertama.
Syaikh, asy-, Muhammad bin Ibrahim dkk. Fatwa-Fatwa
Tentang Wanita. Jakarta: Darul Haq. 2001 M.
Syuyuthi, asy-, Jalaluddin. Sunan An-Nasa’i.
Bairut-Lebanon: Darul Fikri. 1433-1434 H/ 2012 M, cet. Pertama.
Syaukani, asy-, Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad. Nailul
Authar. Al-Qahirah: Darul Hadits. 1426 H/ 2005 M.
Tirmidzi, at-, Kitab Sunan Tirmidzi, Bairut
Lebanon: Darul Fiker. 1429-1430 H/ 2009 M.
Utsaimin, al-, Muhammad bin Shalih, Fathu Dzul Jalali wal Ikram bi Syarhi Bulughul
Maram, cet. 1, Kairo: Maktabah Islamiyah. 2006 M.
Rusyd, Ibnu, Bidayatul
Mujtahid Wa Nihayatul Muqtasid, cet. 1, Kairo: Darul Aqidah. 2004 M.
Zaidan, Abdul Karim, al-Mufasol
fi Ahkamil Mar’ah wa Baitil Muslim, cet. 3, (Bairut-Lebanon: Muasasah
ar-Risalah 2000 M.
Zuhaili, al-,
Wahbah, Fiqih Islam wa Adilatuhu,, cet. ke-4 Jakarta: Gema Insani, 2010
M.
Zuhaili, al-,
Wahbah, Mausu’atul Fiqhil Islam, Damaskus: Darul Fikr, 2010 M.
[2]
Manshur bin Yusuf bin Idris al-Buhuqi, Kasyaful Qina’ ‘An-Matnil ‘Iqna, (Alimul Kutub), jil. 1, hal. 181.
[6] Manshur bin Yusuf bin Idris al-Buhuqi, Kasyaful Qina’ ‘An-Matnil ‘Iqna, (Alimul Kutub) jil. 1, hal. 226.
[9] Abu Ubaidah Usamah bin Muhammad al-Jamal, Shahih
Fiqh Wanita, cet. ke-1, (Solo: Insan Kamil. 2010), hal. 57.
[12]
Al-Qur’anul
Karim dan Terjemahan
[14]
Imam Malik, al-Muwatho’, “Kitab fil Mustahadhah”, jil. 1, (Beirut-Libanon: Darul Fikri.
2011), hal. 43. Hadits no. 137.
[15] Kebiasaan warna darah haidh
adalah hitam, tidak ada perselisihan dalam hal ini. Adapun selain warna hitam ada
perselisihan dikalangan ulama’. Sebagaimana hadits Rasulullah r,
إِذَا كَانَ دَمُ الْحَيْضِ
فَإِنَّه دَمٌ أَسْوَدُ يُعْرَفُ، فَأَمْسِكِي عَنِ الصَّلَاةِ، فَإِذَا كَانَ الْاَخَرُ
فَتَوَضَّئِي
فَإِنَّمَا هُوَ عِرْقٌ
“Bila darah itu darah haidh, maka
darahnya hitam yang sudah dikenal. Sehingga tinggalkanlah shalat, jika selain
itu maka berwudhulah karena itu darah penyakit.”( HR. An-Nasa’i, no. 359)
[16] Dr. Wahbah Zuhaili didalam kitabnya Fiqh
Islam wa Adillatuhu menerangkan bahwa menurut pendapat ulama’ Syafi’i
mengatakan, daftar urutan, mulai yang terkuat adalah kental dan busuk, kemudian
busuk, kemudian kental, kemudian tidak kental dan tidak busuk.
[17] Abu Abdurrahman Adil bin Yusuf al-‘Azazi, Tamamul
Minah, (Iskandariyah: Darul Aqidah. 2009),
jil.1, hal. 142.
[19] Ibid.
[20] Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Fathu Dzul
Jalali wal Ikram bi Syarhi Bulughul Maram cet. 1, (Kairo:
Maktabah Islamiyah 2006), jil 1 hal 158.
[23]
Muhammad bin Ibrahim Alu asy-Syaikh, Fatawa Wa Rasail
Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh, jil. 2, hal, 218.
[24]
pendapat yang paling kuat adalah tidak ada batasan masa
haidh yang tercepat atau pun terlama, karena tidak ada dalil yang menunjukkan
pada kedua masalah ini, demikian pendapat yang dipilih oleh Syaikh Taqiyuddin
rahimahullah
[25]
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtasid, cet. 1,
(Kairo: Darul Aqidah. 2004), jil. 1, hal. 68.
[26] Ibid.
[27]
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Fathu Dzul
Jalali wal Ikram bi Syarhi Bulughul Maram, cet. 1,(Kairo:
Maktabah Islamiyah. 2006), jil.1, hal. 408
[28] Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Fathu
Dzul Jalali wal Ikram bi Syarhi Bulughul Maram, cet. 1,(Kairo:
Maktabah Islamiyah. 2006), jil.1, hal. 408
[31] Abi Abdillah Shadruddin Muhammad bin Abdurrahman bin Husain ad-Dimisqi
al-Utsmani asy-Syafi’i, Rahmatul Ummah fi Ikhtilafil Aimah, cet. 1,
(Beirut-Libanon: Darul Kutub al-Ilmiyah. 2007), hal. 23
“Adapun wanita nifas menjalani masa nifasnya
selama empat hari.” (HR.
Al-Bukhari, Muslim,Ibnu
Majah, Abu Daud)
[34] Ibrahim bin Muhammad bin Salim, Manarus Sabil fi Syarhid Dalil, (Kairo: Darul Aqidah 2007), jil 1, hal. 58.
[35] Abdul Karim Zaidan, al-Mufasol fi Ahkamil Mar’ah wa Baitil Muslim, cet.
3, (Bairut-Lebanon: Muasasah ar-Risalah 2000). Jil. 1, hal. 109.
[36] Wahbah Zuhaili, Fiqh
Sunnah wa Adillatuhu, cet. ke-4, (Jakarta:
Gema Insani. 2010), jil. 1, hal. 527.
[38] Al-Abu Abdurrahman Adil
bin Yusuf al-Azazi, Tamamul Minah fi fikhil Kitab wa Shahih asy-Sunnah, (Iskandariyah:
Darul Aqidah. 2009), jil. 1, hal. 149
[41] DR. Shalih bin Fauzan bin
Abdullah al-Fauzan Al-Mulakhosh Al-Fiqhi, (Kairo: Darul Aqidah, 1424
H/2003 M, cet. 1), jil. 1. hal. 53-54.
[43]Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim Fiqih Sunnah Untuk Wanita, (Jakarta: Al-I’tishom Cahaya Umat, Maret 2012,
cet. 6), hal. 63.
[45]
Wahbah
Zuhaili, Fiqh Sunnah wa Adillatuhu, cet. ke-4, (Jakarta:
Gema Insani. 2010), jil. 1, hal. 518
[46] Muhammad bin Ismail al-Amir ash-Shan’ani, Subulus
Salam, cet.ke-1, (Kairo: Darul Aqidah.2002), jil. 1, hal. 194
[47] Ummu Habibah binti Jahsyin ini istri dari
Abdurrahman bin Auf, Ummu Habibah ini wanita yang beristihadhah selama tujuh tahun.
[48]
(HR. Dawud, Ibnu Majah, at-Tirmidzi)
[50]Muhammad Syamsyuddin Huri al-Adhim Abadi, Aunul
Ma’bud, (Kairo: Darul Hadits. 2001), jil. 1, hal. 321
[51]Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtasid, cet. 1,
(Kairo: Darul Aqidah. 2004), jil. 1, hal. 68
[52]Muhammad Samsyul Huri Al Adhim Abadi, Aunul
Ma’bud, (Kairo: Darul Hadits. 2001), jil. 1, hal. 320
[53] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtasid, cet. 1,
(Kairo: Darul Aqidah. 2004), jil. 1, hal. 68.
[54] Shahabiyah Ummu Habibah ini mengalami
istihadhah selama tujuh tahun. Salah satu riwayat menerangkan bahwa pada zaman
Rasulullah ada 9 wanita yang mengalami isthihadhah. Tiga diantaranya adalah
keluarga Jahsy yaitu Hamnah binti Jahsy (Istri dari Thalhah bin Abdullah), Zainab
Binti Jahsy (Salah satu dari umahatul Mu’minin), Ummu Habibah binti Jahsy(Istri
Abdurrahman bin Auf), Fathimah binti Abu Hubaisy. Selain itu ada wanita yang
lain, seperti Sahlah binti Suhail, Asma’ binti Murtsid, Badiyah binti Ghallan
akan tetap meraka tidak terlalu terkenal dalam periwayatan hadits, juga
pengambilan hukum yang berkaitan dengan istihadhah.
[55] Ibnu Rusyd, Bidayatul
Mujtahid Wa Nihayatul Muqtasid, cet. ke 1, (Kairo: Darul Aqidah. 2004), jil.
1, hal. 68.
[57]Sebagaimana Hadits Asma’
binti Umais, Asma’ berkata,” Wahai Rasulullah, sesungguhnya Fathimah binti
Hubaisy terkena penyakit istihadhah, maka Rasulullah bersabda, hendaknya ia
masuk satu kali untuk shalat Dhuhur dan Ashar, dan satu kali mandi untuk shalat
Maghrib dan Isya dan mandi untuk shalat subuh, dan diantara mandi dan shalat
itu, hendaknya ia berwudhu. (HR Abu Dawud dan Darimi)
[58] Muhammad bin Shalih
al-Utsaimin, Fathu Dzul Jalali wal Ikram bi Syarhi Bulughul Maram, cet.
1, (Kairo: Maktabah Islamiyah. 2006), jil. 1,
hal, 384.
[59] Muhammad bin Ismail al-Amir ash-Shan’ani, Subulus
Salam, cet.ke-1, (Kairo: Darul Aqidah. 2002), jil. 1, hal.
193.
[60] Ibnu Rusyd, Bidayatul
Mujtahid Wa Nihayatul Muqtasid, cet. 1, (Kairo: Darul Aqidah. 2004), jil. 1, hal. 68.
[62] Muhammad Syamsyuddin Huri al-Adhim Abadi, Aunul
Ma’bud, (Kairo: Darul Hadits. 2001), jil.1, hal. 32.
[63] Wahbah Zuhaili, Fiqh Sunnah wa Adillatuhu, cet. ke-4,(Jakarta: Gema Insani, 2001), jil. 1, hal. 529.
[64]Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Wa
Nihayatul Muqtasid, cet. 1, (Kairo: Darul Aqidah. 2004), jil. 1, hal. 68.
[66] Wahbah Zuhaili, Fiqh Sunnah wa Adzilatuhu,
cet. ke-4,(Jakarta: Gema Insani, 2010), jil. 1,
hal. 530.
[68]
Wahbah Zuhaili, Fiqh Sunnah wa Adillatuhu, cet. ke-4,(Jakarta: Gema Insani, 2010), jil. 1, hal. 530.
[69] Wahbah Zuhaili, Mausu’atul
Fiqhil Islam, (Damaskus: Darul Fikr, 2010), jil. 1, hal. 544.
[70] Syaikh
Muhammad bin Ibrahim Alu asy-Syaikh, Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, (Jakarta:
Darul Haq, 2001), hal, 98.
[71] Abu Ubaidah Usamah bin Muhammad al-Jamal,
Shahih Fiqh Wanita, cet. ke-1, (Solo: Insan Kamil, 2010), hal. 57.
[72] At-Tirmidzi, Sunan
At-Tirmidzi, (Beirut-Lebanon: Darul Fikr. 1429-1430 H/ 2009 M), hal. 175,
no. hadist. 126
[73] Yang dimaksud dengan darah yang sudah dikenal
adalah darah yang berbau busuk.
[74] HR. An-Nasa’i, no. 359
[75] Wahbah Zuhaili, Fiqh Sunnah wa Adillatuhu, cet. ke-4, (Jakarta: Gema Insani, 2001), jil.
1, hal. 530
[76] Karena setan mencari jalan untuk merusak
urusan agama seseorang, bersuci dan shalatnya, hingga dia lupa bahwa itu adalah
kebiasaannya.
[77] At-Tirmidzi, Sunan
at-Tirmidzi, (Beirut-Lebanon: Darul Fikr, 1429-1430 H/ 2009 M), hal. 172
no. hadits 128
1 komentar:
Fairplay Casino Review - xn--o80b910a26eepc81il5g.online
Fairplay casino is one of the most well-known 메리트카지노총판 online casinos that 1xbet korean focuses on providing high quality gambling and entertainment. Find out more 바카라 사이트 and learn more
Posting Komentar