Senin, 15 Desember 2014

POSISI SHAF WANITA DALAM SHALAT

POSISI SHAF WANITA DALAM SHALAT
Oleh :
Fahmi Nur Hamidah dan Faizah Ulfatun Hasanah

       I.            PENDAHULUAN
Rukun Islam yang paling utama setelah persaksian dengan dua kalimat syahadat adalah mendirikan shalat. Bahkan, shalat merupakan amalan yang pertama kali akan dihisab dihari kiamat nanti. Apabila baik shalatnya, niscaya akan baik pula seluruh amalan yang lainnya. Begitu juga sebaliknya, bila rusak shalatnya, niscaya akan rusak pula amalan lainnya.
Diantara hal yang berkaitan dengan shalat yang harus diperhatikan dengan serius  adalah penataan shaf shalat, terkhusus bagi wanita. Bagaimana posisi shaf wanita ketika berjamaah dengan laki-laki atau sesama wanita, apakah sama? Dan bagaimana shaf wanita yang terbaik? Dalam makalah ini insya Allah akan kami paparkan ketentuan posisi shaf wanita dalam shalat, baik ketika berjamaah dengan laki-laki maupun perempuan.
    II.            PEMBAHASAN
A.    Pengertian shaf
a.       Secara etimilogi
Shaf merupakan bentuk mashdar dari kata kerja صَفَّ – يَصُفُّ – صَفاًّ yang berarti barisan atau deretan yang lurus dari segala sesuatu yang telah diketahui.[1] Shaf merupakan tempat berbaris.[2]
b.      Secara terminologi
Shaf  adalah barisan kaum muslimin dalam shalat.[3] Seseorang dikatakan berbaris ketika ia berdiri di samping temannya.[4]
B.     Keutamaan shaf pertama
Yang dimaksud dengan shaf awal atau shaf pertama adalah shaf yang berada tepat dibelakang imam, sama saja apakah itu untuk masjid besar maupun kecil. Pendapat lain mengatakan:  satu shaf penuh yang berada di belakang imam. Menurut Ibnu Abdil Barr: siapa saja yang lebih dulu berada di masjid meskipun ia berada di akhir shaf.
An Nawawi rahimahullah berkata: “Pendapat pertamalah yang shahih dan kami pilih, sedangkan dua pendapat yang terakhir telah jelas tidak tepat.[5]
Menempati shaf pertama dalam shalat berjama’ah bagi muslim laki-laki memiliki keutamaan yang luar biasa. Dibawah ini lima keutamaan shaf pertama yang disebutkan dalam hadits-hadits shahih:
1.  Mendapatkan shalawat dari Allah U dan para malaikat
إِنَّ اللَّهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الصُّفُوفِ الأُوَلِ     
Sesungguhnya Allah dan Malaikat bersalawat untuk shaf-shaf pertama” (HR. Abu Dawud; hasan)[6]
2.      Mendapatkan pahala yang sangat besar
لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِى النِّدَاءِ وَالصَّفِّ الأَوَّلِ ، ثُمَّ لَمْ يَجِدُوا إِلاَّ أَنْ يَسْتَهِمُوا عَلَيْهِ لاَسْتَهَمُوا
Seandainya orang-orang mengetahui besarnya pahala adzan dan shaf pertama, kemudian untuk mendapatkannya harus diundi, niscaya mereka akan mengadakan undian.” (Muttafaq ‘alaih)
Hadits tersebut menjelaskan betapa agungnya pahala adzan dan shaf pertama.[7]
3.      Seperti shaf malaikat
عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ قَالَ خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَال أَلاَ تَصُفُّونَ كَمَا تَصُفُّ الْمَلاَئِكَةُ عِنْدَ رَبِّهَا. فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ تَصُفُّ الْمَلاَئِكَةُ عِنْدَ رَبِّهَا قَالَ يُتِمُّونَ الصُّفُوفَ الأُوَلَ وَيَتَرَاصُّونَ فِى الصَّفِّ
Jabir bin Samurah t berkata, “Rasulullah r keluar kepada kami dan bersabda, ‘Tidakkah kalian ingin bershaf seperti shaf Malaikat di hadapan Tuhannya?’ Kami (para sahabat) bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana Malaikat bershaf di hadapan Tuhannya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Mereka menyempurnakan shaf-shaf awal dan merapatkan shaf.” (HR. Muslim)
Hadits tersebut menggambarkan bahwa para malaikat berbaris dihadapan Allah U dan mereka merapatkan shaf (barisan), sehingga tidak celah antara mereka. Anjuran agar kita mencontoh seperti barisan para malaikat tersebut, karena hakekatnya mereka terjaga dari kesalahan, maka hendaknya kita selalu berusaha untuk menyempurnakan amalan.[8]
4.      Shaf terbaik bagi laki-laki
خَيْرُ صُفُوفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا
Shaf kaum lelaki yang paling baik adalah shaf pertama dan shaf yang paling jelek adalah shaf terakhir. Sedangkan shaf kaum wanita yang paling baik adalah shaf terakhir dan yang paling jelek adalah shaf pertama.” (HR. Muslim)
‘Sebaik-baik shaf laki laki adalah shaf yang pertama’, karena mereka yang bisa berada di shaf pertama bersegera untuk mendapatkan keutamaan dan pahala yang besar.[9]
5.      Rasulullah r memintakan ampunan sebanyak tiga kali
قد روى عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه كان يستغفر للصف الأول ثلاثا و للثاني مرة
Telah diriwayatkan dari Irbadh bin Sariyah bahwa Nabi r memintakan ampun sebanyak tiga kali bagi orang yang berada di shaf pertama, dan sekali bagi orang yang berada di shaf kedua.” (HR. An Nasa’i dan Ibnu Majah)[10]
C.     Shaf wanita dalam shalat
a.       Posisi shaf wanita dalam shalat
Pada prinsipnya, hukum-hukum syari’at termasuk shalat berlaku sama bagi lelaki dan wanita. Hukum yang berlaku bagi lelaki juga berlaku bagi wanita, kecuali ada dalil yang mengecualikan.
Terkait hukum-hukum shalat, ada sejumlah hukum yang berlaku secara khusus bagi wanita, karena adanya dalil-dalil yang menunjukkan seperti itu. Diantara yang paling utama adalah sebagai berikut :
1.      Posisi shaf satu wanita di belakang satu laki-laki.
Tidak ada perbedaan pendapat dikalangan ulama’, menurut Sunah wanita berdiri dibelakang lelaki. Jika ada lelaki shalat bersama wanita, wanita berbaris dibelakang.[11]
Jika wanita berjama’ah bersama laki-laki, maka ia berdiri tepat dibelakangnya, dengan syarat keduanya mahrom. Maka makruh hukumnya seorang laki-laki berjama’ah dengan wanita ajnabi (bukan mahrom) karena disana terjadi khalwat. Imam nawawi menghukumi kasus seperti ini dengan makruh tahrim. [12]
            Hal ini seperti ditunjukkan oleh hadits anas ra, ia berkata, bahwa beliau shalat di belakang Rasulullah r bersama seorang yatim sedangkan Ummu Sulaim berada di belakang mereka (HR Bukhari dan Muslim).
Hadits di atas menunjukkan seorang wanita bila shalat bersama kaum pria maka posisinya di belakang shaf mereka. Apabila tidak ada bersamanya wanita lain, dalam arti hanya satu wanita yang ikut dalam jamaah tersebut, maka dia berdiri sendiri di shaf paling akhir dari shaf yang ada. Demikian dikatakan al-Imam an-Nawawi  dalam Syarah Shahih Muslim.[13]

2.      Dua Orang Laki-laki dan Satu Wanita atau lebih
jika seorang wanita berjamaah dengan dua orang laki-laki, maka si makmum laki-laki berdiri di sebelah kanan imam, sedang makmum wanita berdiri dibelakang makmum laki-laki.[14]
Posisi shaf tersebut berdasarkan perpaduan hadits antara hadits Ibnu Abbas dan Anas bin Malik.
Ibnu Abbas berkata, “Aku shalat bersama Nabi r di suatu malam, aku berdiri di samping kirinya, lalu Nabi memegang bagian belakang kepalaku dan menempatkan aku di sebelah kanannya.” (HR. Bukhari)
Dari anas ra, ia berkata, bahwa beliau shalat di belakang Rasulullah SAW bersama seorang yatim sedangkan Ummu Sulaim berada di belakang mereka (HR Bukhari dan Muslim).


         

3.      Posisi shaf dua orang wanita
Jika seorang wanita shalat dibelakang imam wanita, maka ia berdiri di samping kanannya. Hal tersebut berdasarkan keumuman hadits Ibnu Abbas.
Ibnu Abbas berkata, “Aku shalat bersama Nabi r di suatu malam, aku berdiri di samping kirinya, lalu Nabi memegang bagian belakang kepalaku dan menempatkan aku di sebelah kanannya.” (HR. Bukhari)

4.      Tiga orang wanita atau lebih
Jika jama’ah wanita lebih dari satu, maka wanita yang menjadi imam berada di tengah mereka, sebagaimana yang dilakukan oleh Aisyah t ketika mengimami kaum wanita.[15]
Hadits Aisyah t, “bahwa Aisyah shalat menjadi imam bagi kaum wanita dan beliau berdiri di tengah shaf.” (HR. Bukhari, Hakim, Daaruquthni dan Ibnu Abi Syaibah)

5.      Beberapa laki-laki dan wanita
Jika makmum laki-laki lebih dari satu, maka mereka berdiri dibelakang imam, sedangkan wanita berdiri dibelakang makmum laki-laki.”[16] Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah t:
 “Sebaik-baiknya shaf laki-laki adalah yang paling pertama, dan seburuk-buruknya adalah yang terakhir. Dan sebaik-baiknya shaf wanita adalah yang paling terakhir, dan seburuk-buruknya adalah yang paling pertama. (HR Muslim)

6.      Posisi shaf wanita bila terdapat anak-anak
Hadits Abu Malik al Asy’ari: “Bahwa Nabi r menjadikan (shaf) laki-laki di depan anak-anak, anak-anak di belakang mereka sedangkan kaum wanita di belakang anak-anak.” (HR. Ahmad)

b.      Sebaik- baik shaf wanita
Rasulullah  r bersabda:
خَيْرُ صُفُوْفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا، وَخَيْرُ صُفُوْفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا
Sebaik-baik shaf pria adalah shaf yang awal dan sejelek-jelek shaf pria adalah yang akhirnya. Sebaik-baik shaf wanita adalah shaf yang terakhir dan sejelek-jelek shaf wanita adalah yang paling awal.” (Sahih, HR. Muslim no. 440)
Al-Imam an-Nawawi  berkata, “Adapun shaf-shaf pria maka secara umum selama-lamanya yang terbaik adalah shaf awal, dan selama-lamanya yang paling jelek adalah shaf akhir.
 Berbeda halnya dengan shaf wanita. Yang dimaksud dalam hadits ini adalah shaf wanita yang shalat bersama kaum pria. Adapun bila mereka (kaum wanita) shalat terpisah dari jamaah pria, tidak bersama dengan pria, maka shaf mereka sama dengan pria. Yang terbaik adalah shaf yang awal, sementara yang paling jelek adalah shaf yang paling akhir. Yang dimaksud shaf yang jelek bagi pria dan wanita adalah yang paling sedikit pahalanya dan keutamaannya, serta paling jauh dari tuntunan syar’i. Sedangkan maksud shaf yang terbaik adalah sebaliknya.[17]
Shaf yang paling akhir bagi wanita yang hadir shalat berjamaah bersama pria memiliki keutamaan, karena wanita yang berdiri dalam shaf tersebut akan jauh dari bercampur baur dengan pria dan melihat mereka. Di samping jauhnya mereka dari interaksi dengan kaum pria ketika melihat gerakan mereka, mendengar ucapannya, dan semisalnya. Shaf yang awal dianggap jelek bagi wanita karena alasan yang sebaliknya dari apa yang telah disebutkan.”[18]
Al-Imam ash-Shan’ani menyatakan, “Dalam hadits ini ada petunjuk bolehnya wanita berbaris dalam shaf-shaf. Zhahir hadits ini menunjukkan sama saja baik shalat mereka itu bersama kaum pria maupun bersama wanita lainnya. Alasan baiknya shaf akhir bagi wanita karena dalam keadaan demikian mereka jauh dari kaum pria, dari melihat dan mendengar ucapan mereka. Namun alasan ini tidaklah terwujud kecuali bila mereka shalat bersama pria. Adapun bila mereka shalat dengan diimami seorang wanita maka shaf mereka sama dengan shaf pria, yang paling utama adalah shaf yang awal.”[19]
 III.            PENUTUP
Dari penjelasan diatas dapat kami ambil kesimpulan sebagai berikut:
a.       Jika wanita berjama’ah bersama laki-laki, maka ia berdiri tepat dibelakangnya.
b.      jika seorang wanita berjamaah dengan dua orang laki-laki, maka si makmum laki-laki berdiri di sebelah kanan imam, sedang makmum wanita berdiri dibelakang makmum laki-laki.
c.       Jika seorang wanita shalat dibelakang imam wanita, maka ia berdiri di samping kanannya, sedangkan bila jama’ah wanita lebih dari satu maka, wanita yang menjadi imam berada di tengah mereka.
d.      Jika makmum laki-laki lebih dari satu, maka mereka berdiri dibelakang imam, sedangkan wanita berdiri dibelakang makmum laki-laki, sedangkan bila terdapat anak-anak, maka shaf wanita berada di belakang anak-anak.
e.       Bila wanita itu shalat berjamaah dengan kaum pria, maka shaf yang terbaik baginya adalah yang paling akhir.
f.       Sementara bila ia shalat dengan diimami wanita lain (berjamaah dengan sesama kaum wanita) atau bersama jamaah pria namun ada pemisah antara keduanya, maka shaf yang terbaik baginya adalah yang paling awal sama dengan shaf yang terbaik bagi pria, karena tidak adanya kekhawatiran terjadinya fitnah antara wanita dan pria.
Demikian yang dapat kami simpulkan. Tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahan karena terbatasnya pengetahuan kami. Semoga makalah ini dapat memberi manfaat bagi kami khususnya dan bagi seluruh kaum muslimin. Amin.
Wallahua’lam Bishawab.
 IV.            DAFTAR PUSTAKA
Adil bin Sa’ad, Abu Abdirrahman. Ensklopedi Shalat.
Al Abadiy, Muhammad Syamsuddin al Haq. A’unul Ma’bud. Jilid 2. Kairo: Daarul Hadits.
Al ‘Adawi, Musthafa. 2008 M. Jami’ Ahkam an Nisa. Jilid . Cet. 1. Riyadh: Daar Ibnu Qayyim.
Al ‘Azazi, Abu Abdurrahman adil bin Yusuf. 2009 M. Tamamul minnahJilid 1. Cet. 2. Iskandar: Daarul ‘Aqidah.
Al-Hilali, Salim bin ‘Id. 1425 H. Bahjatun Nadhirin Syarh Riyadus Shalihin. Jilid 2. Cet. 8. Riyadh: Darul ibnu Jauzi.
Al Mubaarakfuri, Ibnu abdurrahim. 2001 M. Tuhfatul Ahwadzi. Jilid 1. Cet. 1. Kairo: Daarul Hadits.
Az Zuhaili, Wahbah. 2013 M.  Fiqih Islam Wa Adillatuhu. Jilid 2. Cet. 4. Kuala Lumpur: Darul Fikir.
Ibnu Faris. Mu’jam Maqaabis al Lughah. jilid 3. Damaskus: Daarul Fikri.
Ibnu Mandhur. Lisanul ‘Arab.  jilid 9. Cet. 1. Beirut: Daar as Shadir.
Imam an Nawawi. 2001 M. Shahih Muslim Syarhun Nawawi. Jilid 4. Cet. 1. Kairo: Al Maktab as Staqafi.
Imam an Nawawi. Riyadhus Shalihin. Beirut: al Maktab al Islami.
Imam an Nawawi.  Al Majmu’ Syarhul Muhadzab. Jilid 4. Damaskus: Daarul Fikri.
Imam As- Shan’ani. 2002 M. Subulus Salam. Jilid 2. Cet. 1. Kairo: Darul Aaqidah.



[1] Ibnu Faris, Mu’jam Maqaabis al Lughah, jilid 3, (Damaskus: Daarul Fikri), hal. 275.
[2] Ibnu Mandhur, Lisanul ‘Arab,  jilid 9, cetakan pertama (Beirut: Daar as Shadir), hal. 194.
[3] Ibnu Mandhur, Lisanul ‘Arab,  jilid 9, cetakan pertama, (Beirut: Daar as Shadir), hal. 194.
[4] Ibnu Faris, Mu’jam Maqaabis al Lughah, jilid 3, (Damaskus: Daarul Fikri), hal. 275.
[5] Imam an Nawawi, Shahih Muslim Syarhun Nawawi, jilid 4, cetakan pertama 2001 M, (Kairo: Al Maktab as Staqafi), hal. 162.
[6] Imam an Nawawi, Riyadhus Shalihin, (Beirut: al Maktab al Islami), hal. 410.
[7] Salim bin ‘Id Al-Hilali, Bahjatun Nadhirin Syarh Riyadus Shalihin, jilid 2, cetekan kedelapan 1425 H, (Riyadh: Darul ibnu Jauzi), hal. 250.
[8] Ibid, hal.281-282.
[9] Muhammad Syamsuddin al Haq al Abadiy, A’unul Ma’bud, jilid 2, (Kairo: Daarul Hadits), hal. 80.
[10] Ibnu abdurrahim al Mubaarakfuri, Tuhfatul Ahwadzi, jilid 1, cetakan pertama 1421 H/ 2001 M, (Kairo: Daarul Hadits),  hal. 482.
[11] Abu Abdirrahman Adil bin Sa’ad, Ensklopedi Shalat, hal 332-334.
[12] Imam an Nawawi, Al Majmu’ Syarhul Muhadzab, (Damaskus: Daarul Fikri), jilid 4, hal.277
[13] Imam an Nawawi, Shahih Muslim Syarhun Nawawi, jilid 4, cetakan pertama 2001 M, (Kairo: Al Maktab as Staqafi), hal. 163.
[14] Wahbah az Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, jilid 2, cetakan keempat 1434 H/ 2013 M, (Kuala Lumpur: Darul Fikir), hal. 363.
[15] Imam an Nawawi, al Majmu’ Syarhul Muhadzab, jilid 4, (Damaskus: Daarul Fikri), hal. 295.
[16] Abu Abdurrahman adil bin Yusuf al ‘Azazi, Tamamul minnah,  jilid 1, cetakan kedua 1430 H/ 2009 M, (Iskandar: Daarul ‘Aqidah), hal 319-320.
[17] Musthafa al ‘Adawi, Jami’ Ahkam an Nisa, jilid 1, cetakan pertama 1429 H/ 2008 M, (Riyadh: Daar Ibnu Qayyim), hal. 288-289.
[18] Imam an Nawawi, Shahih Muslim Syarhun Nawawi, jilid 4, cetakan pertama 2001 M, (Kairo: Al Maktab as Staqafi), hal. 162.
[19] Imam As- Shan’ani, Subulus Salam, jilid 2, cetakan pertama 1423 H / 2002 M, (Kairo: Darul Aaqidah), Hal. 63.

0 komentar:

Posting Komentar

 
;