Minggu, 26 April 2015

Hukum Khitan bagi Wanita


Hukum Khitan bagi Wanita
Oleh:
Khodijah Mufidah dan Dzakiyyatun Niswah
A.    Pendahuluan
Betapa indah syari’at Islam yang Allah tetapkan bagi umat nabi Muhammad. Dia mengaturnya sesuai dengan kemashlahatan dan kebutuhan hamba-Nya. Untuk para wanita khususnya, yang telah Allah muliakan dengan datangnya Islam. Islamlah yang menjadikan mereka banyak memiliki keutamaan dan keistimewaan.
Dengan mengikuti sunnah nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mereka akan dipandang mulia dan istimewa, namun tidak sedikit orang yang tidak memahami hal ini. Dalam masalah kebersihan, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengajarkan sunnah-sunnah fitrah salah satunya adalah berkhitan. Di kalangan mayoritas masyarakat, mereka menganggap bahwa khitan itu wajib bagi kaum laki-laki saja.
Bagaimana dengan wanita? Apakah hukumnya sama  atau berbeda? Lewat makalah inilah kami akan mengulas tentang hukum berkhitan bagi wanita dan hikmah di balik syari’at-Nya.
B.   Definisi
1. Secara bahasa
الختان : tempat yang dipotong dari laki-laki dan wanita. Dikatakan juga bersih khitannya.[1] Bentuk mashdar dari fi’il ختن yang artinya memotong.[2]
2. Secara istilah
Khitan adalah memotong kulit yang menutupi ujung dzakar laki-laki. Memotong bagian ujung kulit dari farj wanita.[3] Imam Nawawi berkata dalam kitab Syarhu Muslim: yang wajib bagi laki-laki adalah memotong seluruh kulit yang menutupi hasyfah (ujung dzakar) sampai seluruh ujung dzakar tersebut terbuka. Adapun bagi wanita, yang wajib dipotong adalah bagian terdekat dari kulit yang ada di farj (kemaluan) wanita paling atas.[4]
Dikatakan juga khitan wanita adalah kulit seperti jengger ayam jantan yang berada di atas farj. Jika dzakar masuk dalam farj, maka kedua khitan laki-laki dan wanita itu berhadapan. Yang dimaksud khitan adalah nama tempat, itulah kulit yang disisakan setelah dipotong.[5]
C.    Sejarah adanya Khitan
Allah Ta’ala pertama kali memerintahkan khitan itu kepada kekasih-Nya yaitu nabi Ibrahim ‘Alaihissalam beliau dengan segera melaksanakan perintah-Nya. Dengan menggunakan kapak beliau mengkhitan dirinya sendiri. Kemudian beliau menyeru kepada semua para Nabi dan keturunan beliau hingga sampai kepada ‘Abdullah kemudian Rasulullah. Kaum Nashrani pun mendiamkan hal itu, karena mereka mengetahui bahwa hal itu juga bagian dari hukum-hukum kitab Injil, namun mereka mengikuti hawa nafsu yang telah menyesatkan mereka.[6] Ketika nabi Ibrahim melaksanakan khitan, ada perbedaan pada umur beliau, umur berapa beliau berkhitan? Di sini ada dua hadits yang berbeda,
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
اخْتَتَنَ إِبْرَاهِيمُ بَعْدَ ثَمَانِينَ سَنَةً وَاخْتَتَنَ بِالْقَدُومِ
            “Nabi Ibrahim berkhitan ketika sudah berumur delapan puluh tahun dengan menggunakan kapak_ringan.” (HR. Al-Bukhari)[7]
            Hanbal berkata: ‘Ashim menceritakan kepada kami, Abu Uwais bercerita, dia berkata: Abu Az-Zanad menceritakan kepada kami dari Al-A’raj dari Abu Hurairah dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
إبراهيم أول من اختتن وهو ابن مائة و عشربن سنة- اختتن بالقدوم, ثم عاش بعده ثمانين سنة  
            “Ibrahim adalah orang yang pertama kali berkhitan saat beliau berumur seratus dua puluh tahun dengan menggunakan kapak, kemudian hidup setelah itu selama delapan puluh tahun.” Namun hadits ini termasuk hadits yang memiliki cacat.[8]
            Hadits pertama yang menyebutkan bahwa Ibrahim berkhitan pada umur delapan puluh tahun adalah yang mendekati kebenaran. Adapun Ismail berkhitan saat usia tiga belas tahun. Kemudian Ishaq dikhitan saat usia beliau baru tujuh hari.[9]
D.    Anjuran untuk berkhitan
Khitan merupakan salah satu dari syi’ar-syi’ar Islam dan sunnah nabi. Dari Nabi Ibrahim hingga Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam kemudian sampai kepada kita umat Nabi Muhammad. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
            “Kemudian kami wahyukan kepadamu (Muhammad), “Ikutilah agama Ibrahim yang lurus, dan dia bukanlah termasuk orang musyrik.” (QS. An-Nahl: 123)
Dari Abu Hurairah ra berkata: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
خمس من الفطرة الختان و الاستحداد وتقليم الأظفار ونتف الإبط وقص الشارب
“Lima hal termasuk fitrah (kesucian): khitan, mencukur bulu kemaluan, memotong kuku, mencabut bulu ketiak, menipiskan kumis.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ibnu Majah)[10]
Khitan menjadi bagian utama dari fitrah dan ini termasuk kebiasaan terpuji yang berpegang pada millah Ibrahim. Ada dua macam fitrah. Pertama, yang berkaitan dengan hati, yaitu mengetahui Allah, mencintai-Nya dan mengutamakan-Nya atas yang lain. Kedua, fitrah yang berkaitan dengan amal, yaitu kebiasaan-kebiasaan terpuji. Adapun yang pertama, dengan menyucikan ruh dan hati. Kedua, dengan menyucikan badan dan bagian utama dari fitrahnya badan adalah khitan.[11]
Dari ‘Aisyah beliau berkata: Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
إِذَا الْتَقَى الْخِتَانَانِ وَجَبَ الْغُسْلُ
            “Jika bertemu dua khitan, maka wajib mandi.” (HR. Ahmad)[12]
            Dalam kitab ‘Al-Mufashshal’ karya ‘Abdul Karim Zaidan hadits di ataslah yang menjadi dalil atas disyari’atkannya khitan bagi laki-laki dan wanita.[13]
            Termasuk penjelasan di atas, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda ketika ada seorang laki-laki yang masuk Islam,
أَلْقِ عَنْكَ شَعْرَ الْكُفْرِ وَاخْتَتِنْ
            “Buanglah darimu rambut kekufuran dan berkhitanlah.” (HR. Baihaqi)[14]
            Khitan menjadi salah satu syi’ar yang nampak juga menjadi pembeda antara seorang muslim dan nashrani.[15]
           
E.     Hukum Khitan bagi Wanita
Untuk hukum khitan bagi laki-laki, kita sudah mengetahui  secara pasti, karena dianjurkannya sangat memberi mashlahat bagi kaum laki-laki itu sendiri baik kepada dirinya maupun orang lain (istrinya). Untuk kaum wanita, di sana ada perbedaan di kalangan para ulama, baik ada yang menyamakan hukumnya dengan kaum laki-laki ataupun tidak.
Salah satu hadits yang menjadi dalil disyari’atkannya khitan baik bagi laki-laki maupun wanita adalah “Jika bertemu dua khitan, maka wajib mandi.” (HR. Ahmad)[16] sebagaimana yang telah disebutkan dalam kitab ‘Al-Mufashshal’.
Dalam kitab ‘Tamamul Minnah’, Asy-Syafi’iyah berpendapat bahwa khitan wajib bagi laki-laki dan wanita. Kemudian Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah berpendapat bahwa khitan bagi laki-laki itu sunnah dan adapun bagi wanita itu sebagai kemuliaan. Dari Imam Ahmad bahwa khitan itu wajib bagi laki-laki dan kemuliaan bagi wanita[17], dan dalam riwayat beliau juga mengatakan wajib bagi laki-laki dan wanita.[18]
Ibnu Qudamah berkata dalam kitabnya ‘Al-Mughni’: khitan itu wajib bagi laki-laki dan sebuah kemuliaan bagi wanita dan bukan kewajiban atas mereka. Inilah pendapat yang banyak dari para ahli ilmu.[19]
Dalam kitab ‘Fiqhul Mar’ah Al-Muslimah’ dikatakan bahwa hukum khitan wanita itu sunnah dan tujuannya adalah selain mengurangi syahwat juga untuk mencari kesempurnaan bukan untuk menghilangkan suatu penyakit.[20]
Adapun dalil yang menunjukkan disyari’atkannya khitan bagi wanita adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, “Jika bertemu dua khitan, maka wajib mandi.” (HR. Ahmad)[21]
            Dalam madzhab Imam Ahmad bin Hanbal di kitab ‘Manarus Sabil’ disebutkan bahwa hadits di atas merupakan dalil bahwa wanita juga berkhitan.[22]
            Dari Ummu ‘Athiyah Al-Anshariyah, bahwa ada seorang wanita Madinah yang dikhitan, kemudian Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengatakan kepadanya,
لاَ تَنْهِكِي فَإِنَّ ذَلِكَ أَحْظَى لِلْمَرْأَةِ ، وَأَحَبُّ إِلَى الْبَعْلِ
            “Janganlah kamu berlebihan dalam khitan (memotongnya), sesungguhnya hal itu akan menambah kelezatan bagi wanita dan akan disukai oleh suami.” Abu Dawud mengatakan: Hadits ini dha’if.[23]
            Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
إذا  خفضت فأشمي ، ولا تنهكي
            “Apabila kamu mengurangi, maka kamu memberikan kehormatan dan jangan berlebihan.” (HR. Al-Baihaqi)[24]
            Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu dan selainnya secara marfu’,
الختان  سنة للرجال مكرمة وللنساء
            “Khitan disunnahkan bagi kaum laki-laki dan mulia bagi kaum wanita.” (HR. Al-Baihaqi), namun menurut Muhammad Dhiyaur Rahman penulis kitab Al-Minnah AL-Kubra, hadits ini dhaif.[25]
            Telah dilihat bahwa sebagian hadits yang menunjukkan atas syari’at khitan bagi wanita itu ada yang dha’if, namun tidak berarti juga syari’at khitan bagi wanita ditiadakan. Bukanlah dari adab-adab Islam siapa yang mengingkari khitan wanita secara keseluruhan, mengharamkannya serta menghina pensyari’atannya dengan alasan menggunakan hadits-hadits dha’if yang disebutkan dalam masalah ini dan dengan alasan manusia meninggalkan ini di kebanyakan negara.
            Ada syarat-syarat dimana hadits dha’if ini boleh diamalkan yaitu dalam amalan-amalan yang mempunyai keutamaan, namun dengan tiga syarat Ibnu Hajar menjelaskan:[26]
1.      Kedha’ifannya tidak terlalu.
2.      Hadits termasuk di bawah sumber yang berlaku.
3.      Ketika mengamalkan tidak meyakini bahwa hal itu menjadi suatu ketetapan, namun meyakininya dengan kehati-hatian.
F.     Tata Cara
1.      Waktunya
Untuk waktu berkhitan memang luas dan ada perselisihan di kalangan para ulama. Boleh melaksanakannya pada hari ke tujuh setelah kelahiran, sebagaimana yang dikatakan Hanbal, bahwa Abu ‘Abdullah (Ahmad bin Hanbal) berkata: jika berkhitan pada hari ketujuh, maka tidak mengapa.[27]
Adapun Hasan Al-Bashri membenci khitan pada hari ke tujuh dari kelahiran karena menyerupai orang Yahudi, namun dalam hal ini tidak menjadi masalah. Menurut pandapat Asy-Syafi’iyah, disunnahkan berkhitan pada hari ke tujuh dari kelahiran.[28]

2.      Bagian yang dipotong
Seorang wanita mempunyai dua kulup. Pertama, keperawanan. Kedua, inilah bagian yang dipotong yaitu yang seperti jengger ayam yang berada di ujung farj diantara dua tepi kemaluan wanita dan jika dipotong maka tersisalah intinya.[29]
Al-Juwaini berkata: Kadar yang berhak diambil dari seorang wanita adalah sebagaimana dalam hadits yang menunjukkan atas perintah dengan sedikit. Rasulullah bersabda, “kamu berikan kehormatan dan jangan berlebihan.”[30]
3.      Siapa yang mengkhitan
Menurut pertimbangan yang pasti, bahwa yang baik dalam pekerjaan mengkhitan adalah laki-laki untuk laki-laki dan wanita untuk wanita, tetapi disebutkan di Fatawa Al-Hindiyah dalam fiqih Al-Hanafiyah, bahwa seorang ayah hendaknya mengkhitan anaknya sewaktu kecil, membekamnya atau mengobatinya karena jika si anak meninggal, maka si ayah tidak mendapat tanggungan begitu juga dengan seorang ibu.[31]
G.    Hikmah
Khitan termasuk dari keistimewaan syari’at yang Allah syari’atkan kepada hamba-Nya. Khitan merupakan ‘shibghatullah’ (celupan Allah). Mujahid berkata: ‘shibghatullah’ sama dengan ‘fithratullah’, yang lain mengatakan: ‘dinullah’. Termasuk di dalamnya khitan yang menjadi bagian dari kesucian, kebersihan, keindahan, baiknya naluri dan mengurangi (menyeimbangkan) syahwat yang jika berlebihan manusia menjadi seperti hewan, namun jika tidak ada seluruhnya, maka menjadi seperti benda mati (kaku/dingin). Dengan khitan inilah yang kemudian menyeimbangkan, tidak berlebih dan tidak kurang, karena didapati mereka yang tidak berkhitan dari kalangan laki-laki dan wanita tidak merasa puas terhadap hubungan jima’ yang dilakukan.[32]
Mengingat hadits yang menyebutkan tentang syari’at khitan bagi wanita mengandung keutamaan di antaranya adalah menyeimbangkan syahwat supaya tidak berlebihan dan lebih disukai oleh suami. Wanita muslimah berbeda dengan mereka para wanita Tartar dan bangsa Eropa yang tidak berkhitan.[33]
H.    Penutup
Dari pemaparan di atas bisa diambil kesimpulan bahwa hukum khitan bagi wanita itu tidak wajib. Khitan wanita tidak seperti laki-laki yaitu yang tujuannya untuk menyucikan dari najis yang tertahan di kulup yang menurut sebagian ulama’ dapat menyebabkan shalat dan sebagian ibadah lainnya tidak diterima, namun kalau wanita untuk mencari kesempurnaan dan bukan untuk menghilangkan suatu penyakit.
Tentunya untuk mencapai kesempurnaan (syahwat yang tidak kurang, tidak lebih dan juga lebih disukai suami)  itu harus tepat yaitu, ketika mengkhitan jika berlebihan, maka akan melemahkan syahwat. Berbeda jika tidak berlebihan, maka tujuannya akan tercapai.





DAFTAR PUSTAKA
Ibrahim Unais dkk, Al-Mu’jamul Wasith, (ttp.; tp., t.t.)
‘Abdul Karim Zaidan, Al-Mufashshal fi Ahkamil Mar’ah wa Baitil Muslim, jilid:1, cet: 5, Beirut: Muassasatur Risalah, 1420 H/ 2000 M.
Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, jilid: 1, cet: 1, Qahirah: Darul Fathi li I’lamil ‘Arabi, 1421 H
Mushthafa Al-‘Adawi, Jami’ Ahkamin Nisa’, jilid: 1, cet: 1, Qahirah: Daar Ibnu ‘Affan, 1429 H/ 2008 M.
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud, cet-1, Arab Saudi: Dar Ibnul Qayyim, 1421 H.
Syamsuddin Muhammad bin Abu Bakar bin Qayyim Al-Jauziyah, Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud, Qahirah: Maktabah Al-Qur’an.
Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Al-Mughirah Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, jilid: 8, cet: 1, t.t.p: Daar Thauqun Najah, 1422 H.
Ahmad bin ‘Ali bin Hajar Al-‘Asqalani, Fathul Bari bi Syarhi Shahihil Bukhari, jilid: 11, Qahirah: Darul Hadits, 1424 H/ 2004 M.
Abi Abdullah Muhammad bin Yazid Al-Qazwaini, Sunan Ibnu Majah, jilid:1, Bab Al-Fitrah, Beirut: Darul Fikr, 2010 M.
Ahmad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, jilid: 43, cet-1, Muassasatur Risalah, 1421 H/ 2001 M.
Abu Bakar Ahmad bin Al-Husain, Sunan Al-Kubra, jilid: 1, cet: 1, India: t.p., 1344 H.
Abu ‘Abdurrahman ‘Adil bin Yusuf Al-‘Azzazi, Tamamul Minnah fi Fiqhil Kitab wa Sunnah, jilid:1, Iskandariyah: Darul ‘Aqidah, 1430 H/ 2009 M.
Abu Muhammad ‘Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, Al-Mughni, jilid: 1, (ttp.; tp., t.t.)
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Fiqhul Mar’ah AL-Muslimah, Qahirah: Darul ‘Aqidah, 1428 H/ 2007 M.
Ibrahim bin Muhammad bin Salim bin Dhauyan, Manarus Sabil fi Syarhi Ad-Dalil, jilid: 1, cet: 3, Iskandariyah: Darul ‘Aqidah, 1428 H/ 2007 M.
Ibnu Al-Atsir Al-Jazari, Jami’ul Ushul fi Ahaditsir Rasul, jilid: 4, t. t. p, Maktabah Darul Bayan, 1390 H/1970 M.
Muhammad Dhiyaur Rahman Al-A’dhami, Al-Minnah Al-Kubra Syarhu wa Takhrij As-Sunan Ash-Shugra, jilid: 7, cet-1, Riyadh: Maktabah Ar-Rusd, 1422 H/ 2001 M.
Ibnu Taimiyah, Fatawa An-Nisa’, Beirut: Darul Arqam.




[1] Ibrahim Unais dkk, Al-Mu’jamul Wasith, (ttp.; tp., t.t.) hal. 241
[2] ‘Abdul Karim Zaidan, Al-Mufashshal fi Ahkamil Mar’ah wa Baitil Muslim, jilid:1, cet: 5, Beirut: Muassasatur Risalah, 1420 H/ 2000 M. hal. 47
[3] Ibid. lihat Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, jilid: 1, cet: 1, Qahirah: Darul Fathi li I’lamil ‘Arabi, 1421 H
[4] Mushthafa Al-‘Adawi, Jami’ Ahkamin Nisa’, jilid: 1, cet: 1, Qahirah: Daar Ibnu ‘Affan, 1429 H/ 2008 M. hal. 18
[5] Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud, cet-1, Arab Saudi: Dar Ibnul Qayyim, 1421 H. hal. 258
[6] Syamsuddin Muhammad bin Abu Bakar bin Qayyim Al-Jauziyah, Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud, Qahirah: Maktabah Al-Qur’an. hal. 120
[7] Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Al-Mughirah Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, jilid: 8, cet: 1, t.t.p: Daar Thauqun Najah, 1422 H. hal. 66
[8] Syamsuddin Muhammad bin Abu Bakar bin Qayyim Al-Jauziyah, Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud, Qahirah: Maktabah Al-Qur’an. hal. 109
[9] Ibid.
[10] Ahmad bin ‘Ali bin Hajar Al-‘Asqalani, Fathul Bari bi Syarhi Shahihil Bukhari, jilid: 11, Qahirah: Darul Hadits, 1424 H/ 2004 M. hal. 100. Lihat Abi Abdullah Muhammad bin Yazid Al-Qazwaini, Sunan Ibnu Majah, jilid:1, Bab Al-Fitrah, Beirut: Darul Fikr, 2010 M. hal. 107
[11] Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud, cet-1, Arab Saudi: Dar Ibnul Qayyim, 1421 H. hal. 269
[12] Ahmad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, jilid: 43, cet-1, Muassasatur Risalah, 1421 H/ 2001 M. hal. 151
[13] ‘Abdul Karim Zaidan, Al-Mufashshal fi Ahkamil Mar’ah wa Baitil Muslim, jilid: 1, cet:1, Beirut: Muassasatur Risalah, 1420 H/ 2000 M. hal. 47-48
[14] Abu Bakar Ahmad bin Al-Husain, Sunan Al-Kubra, jilid: 1, cet: 1, India: t.p., 1344 H. hal. 172
[15] Syamsuddin Muhammad bin Abu Bakar bin Qayyim Al-Jauziyah, Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud, Qahirah: Maktabah Al-Qur’an. Hal. 115
[16] Ahmad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, jilid: 43, cet-1, Muassasatur Risalah, 1421 H/ 2001 M. hal. 151
[17] ‘Abdul Karim Zaidan, Al-Mufashshal fi Ahkamil Mar’ah wa Baitil Muslim, jilid: 1, cet:1, Beirut: Muassasatur Risalah, 1420 H/ 2000 M. hal. 47
[18] Abu ‘Abdurrahman ‘Adil bin Yusuf Al-‘Azzazi, Tamamul Minnah fi Fiqhil Kitab wa Sunnah, jilid:1, Iskandariyah: Darul ‘Aqidah, 1430 H/ 2009 M. hal. 65
[19] Abu Muhammad ‘Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, Al-Mughni, jilid: 1, (ttp.; tp., t.t.) hal. 115
[20] Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Fiqhul Mar’ah AL-Muslimah, Qahirah: Darul ‘Aqidah, 1428 H/ 2007 M. hal. 20
[21] Ahmad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, jilid: 43, cet-1, Muassasatur Risalah, 1421 H/ 2001 M. hal. 151
[22] Ibrahim bin Muhammad bin Salim bin Dhauyan, Manarus Sabil fi Syarhi Ad-Dalil, jilid: 1, cet: 3, Iskandariyah: Darul ‘Aqidah, 1428 H/ 2007 M. hal. 25-26
[23] Ibnu Al-Atsir Al-Jazari, Jami’ul Ushul fi Ahaditsir Rasul, jilid: 4, t. t. p, Maktabah Darul Bayan, 1390 H/1970 M. hal. 777
[24] Muhammad Dhiyaur Rahman Al-A’dhami, Al-Minnah Al-Kubra Syarhu wa Takhrij As-Sunan Ash-Shugra, jilid: 7, cet-1, Riyadh: Maktabah Ar-Rusd, 1422 H/ 2001 M. hal. 397
[25] Ibid.
[26] Mahmud Ath-Thohan, Taisiru Mushtholah Al-Hadits,
[27] ‘Abdul Karim Zaidan, Al-Mufashshal fi Ahkamil Mar’ah wa Baitil Muslim, jilid: 1, cet:1, Beirut: Muassasatur Risalah, 1420 H/ 2000 M. hal. 48
[28] Ibid.
[29] Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud, cet-1, Arab Saudi: Dar Ibnul Qayyim, 1421 H. hal. 318
[30] Ibid.
[31] ‘Abdul Karim Zaidan, Al-Mufashshal fi Ahkamil Mar’ah wa Baitil Muslim, jilid: 1, cet:1, Beirut: Muassasatur Risalah, 1420 H/ 2000 M. hal. 48
[32] Syamsuddin Muhammad bin Abu Bakar bin Qayyim Al-Jauziyah, Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud, Qahirah: Maktabah Al-Qur’an. hal. 129
[33] Ibnu Taimiyah, Fatawa An-Nisa’, Beirut: Darul Arqam. Hal. 14-15

0 komentar:

Posting Komentar

 
;