Hukum Khitan
bagi Wanita
Oleh:
Khodijah
Mufidah dan Dzakiyyatun Niswah
A.
Pendahuluan
Betapa indah
syari’at Islam yang Allah tetapkan bagi umat nabi Muhammad. Dia mengaturnya
sesuai dengan kemashlahatan dan kebutuhan hamba-Nya. Untuk para wanita
khususnya, yang telah Allah muliakan dengan datangnya Islam. Islamlah yang
menjadikan mereka banyak memiliki keutamaan dan keistimewaan.
Dengan
mengikuti sunnah nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mereka akan
dipandang mulia dan istimewa, namun tidak sedikit orang yang tidak memahami hal
ini. Dalam masalah kebersihan, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
mengajarkan sunnah-sunnah fitrah salah satunya adalah berkhitan. Di kalangan
mayoritas masyarakat, mereka menganggap bahwa khitan itu wajib bagi kaum
laki-laki saja.
Bagaimana
dengan wanita? Apakah hukumnya sama atau
berbeda? Lewat makalah inilah kami akan mengulas tentang hukum berkhitan bagi
wanita dan hikmah di balik syari’at-Nya.
B.
Definisi
1. Secara bahasa
الختان
: tempat yang
dipotong dari laki-laki dan wanita. Dikatakan juga bersih khitannya.[1]
Bentuk mashdar dari fi’il ختن yang artinya
memotong.[2]
2. Secara
istilah
Khitan adalah
memotong kulit yang menutupi ujung dzakar laki-laki. Memotong bagian ujung
kulit dari farj wanita.[3]
Imam Nawawi berkata dalam kitab Syarhu Muslim: yang wajib bagi laki-laki adalah
memotong seluruh kulit yang menutupi hasyfah (ujung dzakar) sampai seluruh
ujung dzakar tersebut terbuka. Adapun bagi wanita, yang wajib dipotong adalah
bagian terdekat dari kulit yang ada di farj (kemaluan) wanita paling
atas.[4]
Dikatakan juga
khitan wanita adalah kulit seperti jengger ayam jantan yang berada di atas farj.
Jika dzakar masuk dalam farj, maka kedua khitan laki-laki dan wanita itu
berhadapan. Yang dimaksud khitan adalah nama tempat, itulah kulit yang
disisakan setelah dipotong.[5]
C.
Sejarah adanya
Khitan
Allah Ta’ala pertama kali
memerintahkan khitan itu kepada kekasih-Nya yaitu nabi Ibrahim ‘Alaihissalam
beliau dengan segera melaksanakan perintah-Nya. Dengan menggunakan kapak
beliau mengkhitan dirinya sendiri. Kemudian beliau menyeru kepada semua para
Nabi dan keturunan beliau hingga sampai kepada ‘Abdullah kemudian Rasulullah.
Kaum Nashrani pun mendiamkan hal itu, karena mereka mengetahui bahwa hal itu
juga bagian dari hukum-hukum kitab Injil, namun mereka mengikuti hawa nafsu
yang telah menyesatkan mereka.[6]
Ketika nabi Ibrahim melaksanakan khitan, ada perbedaan pada umur beliau, umur
berapa beliau berkhitan? Di sini ada dua hadits yang berbeda,
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam bersabda,
اخْتَتَنَ إِبْرَاهِيمُ بَعْدَ ثَمَانِينَ
سَنَةً وَاخْتَتَنَ بِالْقَدُومِ
“Nabi Ibrahim
berkhitan ketika sudah berumur delapan puluh tahun dengan menggunakan
kapak_ringan.” (HR. Al-Bukhari)[7]
Hanbal berkata: ‘Ashim menceritakan
kepada kami, Abu Uwais bercerita, dia berkata: Abu Az-Zanad menceritakan kepada
kami dari Al-A’raj dari Abu Hurairah dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
bersabda,
إبراهيم أول من اختتن وهو ابن مائة و
عشربن سنة- اختتن بالقدوم, ثم عاش بعده ثمانين سنة
“Ibrahim adalah orang yang
pertama kali berkhitan saat beliau berumur seratus dua puluh tahun dengan
menggunakan kapak, kemudian hidup setelah itu selama delapan puluh tahun.”
Namun hadits ini termasuk hadits yang memiliki cacat.[8]
Hadits pertama yang menyebutkan
bahwa Ibrahim berkhitan pada umur delapan puluh tahun adalah yang mendekati
kebenaran. Adapun Ismail berkhitan saat usia tiga belas tahun. Kemudian Ishaq
dikhitan saat usia beliau baru tujuh hari.[9]
D.
Anjuran untuk
berkhitan
Khitan
merupakan salah satu dari syi’ar-syi’ar Islam dan sunnah nabi. Dari Nabi
Ibrahim hingga Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam kemudian
sampai kepada kita umat Nabi Muhammad. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ
أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Kemudian kami wahyukan kepadamu
(Muhammad), “Ikutilah agama Ibrahim yang lurus, dan dia bukanlah termasuk orang
musyrik.” (QS. An-Nahl: 123)
Dari
Abu Hurairah ra berkata: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
خمس من الفطرة الختان و الاستحداد وتقليم الأظفار ونتف الإبط وقص الشارب
“Lima hal
termasuk fitrah (kesucian): khitan, mencukur bulu kemaluan, memotong kuku,
mencabut bulu ketiak, menipiskan kumis.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ibnu
Majah)[10]
Khitan menjadi
bagian utama dari fitrah dan ini termasuk kebiasaan terpuji yang berpegang pada
millah Ibrahim. Ada dua macam fitrah. Pertama, yang berkaitan
dengan hati, yaitu mengetahui Allah, mencintai-Nya dan mengutamakan-Nya atas
yang lain. Kedua, fitrah yang berkaitan dengan amal, yaitu
kebiasaan-kebiasaan terpuji. Adapun yang pertama, dengan menyucikan ruh
dan hati. Kedua, dengan menyucikan badan dan bagian utama dari fitrahnya
badan adalah khitan.[11]
Dari ‘Aisyah
beliau berkata: Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
إِذَا الْتَقَى الْخِتَانَانِ وَجَبَ
الْغُسْلُ
Dalam kitab ‘Al-Mufashshal’ karya
‘Abdul Karim Zaidan hadits di ataslah yang menjadi dalil atas disyari’atkannya
khitan bagi laki-laki dan wanita.[13]
Termasuk penjelasan di atas,
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda ketika ada seorang
laki-laki yang masuk Islam,
أَلْقِ عَنْكَ شَعْرَ
الْكُفْرِ وَاخْتَتِنْ
“Buanglah darimu rambut kekufuran
dan berkhitanlah.” (HR. Baihaqi)[14]
Khitan menjadi salah satu syi’ar
yang nampak juga menjadi pembeda antara seorang muslim dan nashrani.[15]
E.
Hukum Khitan
bagi Wanita
Untuk hukum
khitan bagi laki-laki, kita sudah mengetahui
secara pasti, karena dianjurkannya sangat memberi mashlahat bagi
kaum laki-laki itu sendiri baik kepada dirinya maupun orang lain (istrinya). Untuk
kaum wanita, di sana ada perbedaan di kalangan para ulama, baik ada yang
menyamakan hukumnya dengan kaum laki-laki ataupun tidak.
Salah satu
hadits yang menjadi dalil disyari’atkannya khitan baik bagi laki-laki maupun
wanita adalah “Jika bertemu dua khitan, maka wajib mandi.” (HR. Ahmad)[16]
sebagaimana yang telah disebutkan dalam kitab ‘Al-Mufashshal’.
Dalam kitab ‘Tamamul
Minnah’, Asy-Syafi’iyah berpendapat bahwa khitan wajib bagi laki-laki dan
wanita. Kemudian Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah berpendapat bahwa khitan bagi
laki-laki itu sunnah dan adapun bagi wanita itu sebagai kemuliaan. Dari Imam
Ahmad bahwa khitan itu wajib bagi laki-laki dan kemuliaan bagi wanita[17],
dan dalam riwayat beliau juga mengatakan wajib bagi laki-laki dan wanita.[18]
Ibnu Qudamah
berkata dalam kitabnya ‘Al-Mughni’: khitan itu wajib bagi laki-laki dan
sebuah kemuliaan bagi wanita dan bukan kewajiban atas mereka. Inilah pendapat
yang banyak dari para ahli ilmu.[19]
Dalam kitab ‘Fiqhul
Mar’ah Al-Muslimah’ dikatakan bahwa hukum khitan wanita itu sunnah dan
tujuannya adalah selain mengurangi syahwat juga untuk mencari kesempurnaan
bukan untuk menghilangkan suatu penyakit.[20]
Adapun dalil
yang menunjukkan disyari’atkannya khitan bagi wanita adalah sabda Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam, “Jika bertemu dua khitan, maka wajib mandi.” (HR.
Ahmad)[21]
Dalam madzhab Imam Ahmad bin Hanbal
di kitab ‘Manarus Sabil’ disebutkan bahwa hadits di atas merupakan dalil
bahwa wanita juga berkhitan.[22]
Dari Ummu ‘Athiyah Al-Anshariyah,
bahwa ada seorang wanita Madinah yang dikhitan, kemudian Nabi Shallallahu
‘Alaihi Wasallam mengatakan kepadanya,
لاَ تَنْهِكِي فَإِنَّ ذَلِكَ أَحْظَى لِلْمَرْأَةِ ، وَأَحَبُّ إِلَى الْبَعْلِ
“Janganlah
kamu berlebihan dalam khitan (memotongnya), sesungguhnya hal itu akan menambah
kelezatan bagi wanita dan akan disukai oleh suami.” Abu
Dawud mengatakan: Hadits ini dha’if.[23]
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu,
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
إذا
خفضت فأشمي ، ولا تنهكي
“Apabila kamu mengurangi, maka kamu
memberikan kehormatan dan jangan berlebihan.” (HR. Al-Baihaqi)[24]
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
‘anhu dan selainnya secara marfu’,
الختان سنة للرجال مكرمة وللنساء
“Khitan disunnahkan bagi kaum
laki-laki dan mulia bagi kaum wanita.” (HR. Al-Baihaqi), namun menurut
Muhammad Dhiyaur Rahman penulis kitab Al-Minnah AL-Kubra, hadits ini
dhaif.[25]
Telah dilihat bahwa sebagian hadits
yang menunjukkan atas syari’at khitan bagi wanita itu ada yang dha’if,
namun tidak berarti juga syari’at khitan bagi wanita ditiadakan. Bukanlah dari
adab-adab Islam siapa yang mengingkari khitan wanita secara keseluruhan,
mengharamkannya serta menghina pensyari’atannya dengan alasan menggunakan
hadits-hadits dha’if yang disebutkan dalam masalah ini dan dengan alasan
manusia meninggalkan ini di kebanyakan negara.
Ada syarat-syarat dimana hadits dha’if
ini boleh diamalkan yaitu dalam amalan-amalan yang mempunyai keutamaan, namun
dengan tiga syarat Ibnu Hajar menjelaskan:[26]
1.
Kedha’ifannya tidak terlalu.
2.
Hadits termasuk di bawah sumber
yang berlaku.
3.
Ketika mengamalkan tidak meyakini
bahwa hal itu menjadi suatu ketetapan, namun meyakininya dengan kehati-hatian.
F.
Tata Cara
1.
Waktunya
Untuk waktu
berkhitan memang luas dan ada perselisihan di kalangan para ulama. Boleh
melaksanakannya pada hari ke tujuh setelah kelahiran, sebagaimana yang
dikatakan Hanbal, bahwa Abu ‘Abdullah (Ahmad bin Hanbal) berkata: jika
berkhitan pada hari ketujuh, maka tidak mengapa.[27]
Adapun Hasan
Al-Bashri membenci khitan pada hari ke tujuh dari kelahiran karena menyerupai
orang Yahudi, namun dalam hal ini tidak menjadi masalah. Menurut pandapat
Asy-Syafi’iyah, disunnahkan berkhitan pada hari ke tujuh dari kelahiran.[28]
2.
Bagian yang
dipotong
Seorang wanita
mempunyai dua kulup. Pertama, keperawanan. Kedua, inilah bagian
yang dipotong yaitu yang seperti jengger ayam yang berada di ujung farj
diantara dua tepi kemaluan wanita dan jika dipotong maka tersisalah intinya.[29]
Al-Juwaini
berkata: Kadar yang berhak diambil dari seorang wanita adalah sebagaimana dalam
hadits yang menunjukkan atas perintah dengan sedikit. Rasulullah bersabda, “kamu
berikan kehormatan dan jangan berlebihan.”[30]
3.
Siapa yang
mengkhitan
Menurut
pertimbangan yang pasti, bahwa yang baik dalam pekerjaan mengkhitan adalah
laki-laki untuk laki-laki dan wanita untuk wanita, tetapi disebutkan di Fatawa
Al-Hindiyah dalam fiqih Al-Hanafiyah, bahwa seorang ayah hendaknya
mengkhitan anaknya sewaktu kecil, membekamnya atau mengobatinya karena jika si
anak meninggal, maka si ayah tidak mendapat tanggungan begitu juga dengan
seorang ibu.[31]
G.
Hikmah
Khitan
termasuk dari keistimewaan syari’at yang Allah syari’atkan kepada hamba-Nya. Khitan
merupakan ‘shibghatullah’ (celupan Allah). Mujahid berkata: ‘shibghatullah’
sama dengan ‘fithratullah’, yang lain mengatakan: ‘dinullah’.
Termasuk di dalamnya khitan yang menjadi bagian dari kesucian, kebersihan,
keindahan, baiknya naluri dan mengurangi (menyeimbangkan) syahwat yang jika
berlebihan manusia menjadi seperti hewan, namun jika tidak ada seluruhnya, maka
menjadi seperti benda mati (kaku/dingin). Dengan khitan inilah yang kemudian
menyeimbangkan, tidak berlebih dan tidak kurang, karena didapati mereka yang
tidak berkhitan dari kalangan laki-laki dan wanita tidak merasa puas terhadap
hubungan jima’ yang dilakukan.[32]
Mengingat
hadits yang menyebutkan tentang syari’at khitan bagi wanita mengandung
keutamaan di antaranya adalah menyeimbangkan syahwat supaya tidak berlebihan
dan lebih disukai oleh suami. Wanita muslimah berbeda dengan mereka para wanita
Tartar dan bangsa Eropa yang tidak berkhitan.[33]
H.
Penutup
Dari pemaparan di atas bisa diambil
kesimpulan bahwa hukum khitan bagi wanita itu tidak wajib. Khitan wanita
tidak seperti laki-laki yaitu yang tujuannya untuk menyucikan dari najis yang
tertahan di kulup yang menurut sebagian ulama’ dapat menyebabkan shalat dan
sebagian ibadah lainnya tidak diterima, namun kalau wanita untuk mencari
kesempurnaan dan bukan untuk menghilangkan suatu penyakit.
Tentunya untuk mencapai
kesempurnaan (syahwat yang tidak kurang, tidak lebih dan juga lebih disukai
suami) itu harus tepat yaitu, ketika
mengkhitan jika berlebihan, maka akan melemahkan syahwat. Berbeda jika tidak
berlebihan, maka tujuannya akan tercapai.
DAFTAR PUSTAKA
Ibrahim Unais
dkk, Al-Mu’jamul Wasith, (ttp.; tp., t.t.)
‘Abdul Karim
Zaidan, Al-Mufashshal fi Ahkamil Mar’ah wa Baitil Muslim, jilid:1, cet:
5, Beirut: Muassasatur Risalah, 1420 H/ 2000 M.
Sayyid Sabiq, Fiqhus
Sunnah, jilid: 1, cet: 1, Qahirah: Darul Fathi li I’lamil ‘Arabi, 1421 H
Mushthafa
Al-‘Adawi, Jami’ Ahkamin Nisa’, jilid: 1, cet: 1, Qahirah: Daar Ibnu
‘Affan, 1429 H/ 2008 M.
Ibnu Qayyim
Al-Jauziyah, Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud, cet-1, Arab Saudi: Dar
Ibnul Qayyim, 1421 H.
Syamsuddin
Muhammad bin Abu Bakar bin Qayyim Al-Jauziyah, Tuhfatul Maudud bi Ahkamil
Maulud, Qahirah: Maktabah Al-Qur’an.
Muhammad bin
Isma’il bin Ibrahim bin Al-Mughirah Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari,
jilid: 8, cet: 1, t.t.p: Daar Thauqun Najah, 1422 H.
Ahmad bin ‘Ali
bin Hajar Al-‘Asqalani, Fathul Bari bi Syarhi Shahihil Bukhari, jilid:
11, Qahirah: Darul Hadits, 1424 H/ 2004 M.
Abi Abdullah
Muhammad bin Yazid Al-Qazwaini, Sunan Ibnu Majah, jilid:1, Bab
Al-Fitrah, Beirut: Darul Fikr, 2010 M.
Ahmad bin
Hanbal, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, jilid: 43, cet-1, Muassasatur
Risalah, 1421 H/ 2001 M.
Abu Bakar
Ahmad bin Al-Husain, Sunan Al-Kubra, jilid: 1, cet: 1, India: t.p., 1344
H.
Abu
‘Abdurrahman ‘Adil bin Yusuf Al-‘Azzazi, Tamamul Minnah fi Fiqhil Kitab wa
Sunnah, jilid:1, Iskandariyah: Darul ‘Aqidah, 1430 H/ 2009 M.
Abu Muhammad
‘Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, Al-Mughni, jilid: 1,
(ttp.; tp., t.t.)
Muhammad bin
Shalih Al-Utsaimin, Fiqhul Mar’ah AL-Muslimah, Qahirah: Darul ‘Aqidah,
1428 H/ 2007 M.
Ibrahim bin
Muhammad bin Salim bin Dhauyan, Manarus Sabil fi Syarhi Ad-Dalil, jilid:
1, cet: 3, Iskandariyah: Darul ‘Aqidah, 1428 H/ 2007 M.
Ibnu Al-Atsir
Al-Jazari, Jami’ul Ushul fi Ahaditsir Rasul, jilid: 4, t. t. p, Maktabah
Darul Bayan, 1390 H/1970 M.
Muhammad
Dhiyaur Rahman Al-A’dhami, Al-Minnah Al-Kubra Syarhu wa Takhrij As-Sunan
Ash-Shugra, jilid: 7, cet-1, Riyadh: Maktabah Ar-Rusd, 1422 H/ 2001 M.
Ibnu Taimiyah,
Fatawa An-Nisa’, Beirut: Darul Arqam.
[1] Ibrahim Unais dkk, Al-Mu’jamul Wasith,
(ttp.; tp., t.t.) hal. 241
[2] ‘Abdul Karim Zaidan, Al-Mufashshal fi
Ahkamil Mar’ah wa Baitil Muslim, jilid:1, cet: 5, Beirut: Muassasatur
Risalah, 1420 H/ 2000 M. hal. 47
[3] Ibid. lihat Sayyid Sabiq, Fiqhus
Sunnah, jilid: 1, cet: 1, Qahirah: Darul Fathi li I’lamil ‘Arabi, 1421 H
[4] Mushthafa Al-‘Adawi, Jami’ Ahkamin Nisa’,
jilid: 1, cet: 1, Qahirah: Daar Ibnu ‘Affan, 1429 H/ 2008 M. hal. 18
[5] Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Tuhfatul Maudud
bi Ahkamil Maulud, cet-1, Arab Saudi: Dar Ibnul Qayyim, 1421 H. hal. 258
[6]
Syamsuddin Muhammad bin Abu Bakar bin Qayyim
Al-Jauziyah, Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud, Qahirah: Maktabah
Al-Qur’an. hal. 120
[7] Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin
Al-Mughirah Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, jilid: 8, cet: 1, t.t.p: Daar
Thauqun Najah, 1422 H. hal. 66
[8] Syamsuddin Muhammad bin Abu Bakar bin Qayyim
Al-Jauziyah, Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud, Qahirah: Maktabah
Al-Qur’an. hal. 109
[9] Ibid.
[10] Ahmad bin ‘Ali bin Hajar Al-‘Asqalani, Fathul
Bari bi Syarhi Shahihil Bukhari, jilid: 11, Qahirah: Darul Hadits, 1424 H/
2004 M. hal. 100. Lihat Abi Abdullah Muhammad bin Yazid Al-Qazwaini, Sunan
Ibnu Majah, jilid:1, Bab Al-Fitrah, Beirut: Darul Fikr, 2010 M. hal. 107
[11]
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Tuhfatul Maudud bi
Ahkamil Maulud, cet-1, Arab Saudi: Dar Ibnul Qayyim, 1421 H. hal. 269
[12] Ahmad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad bin
Hanbal, jilid: 43, cet-1, Muassasatur Risalah, 1421 H/ 2001 M. hal. 151
[13] ‘Abdul Karim Zaidan, Al-Mufashshal fi
Ahkamil Mar’ah wa Baitil Muslim, jilid: 1, cet:1, Beirut: Muassasatur
Risalah, 1420 H/ 2000 M. hal. 47-48
[14] Abu Bakar Ahmad bin Al-Husain, Sunan
Al-Kubra, jilid: 1, cet: 1, India: t.p., 1344 H. hal. 172
[15]
Syamsuddin Muhammad bin Abu Bakar bin Qayyim
Al-Jauziyah, Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud, Qahirah: Maktabah
Al-Qur’an. Hal. 115
[16] Ahmad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad bin
Hanbal, jilid: 43, cet-1, Muassasatur Risalah, 1421 H/ 2001 M. hal. 151
[17]
‘Abdul Karim Zaidan, Al-Mufashshal fi
Ahkamil Mar’ah wa Baitil Muslim, jilid: 1, cet:1, Beirut: Muassasatur
Risalah, 1420 H/ 2000 M. hal. 47
[18] Abu ‘Abdurrahman ‘Adil bin Yusuf Al-‘Azzazi, Tamamul
Minnah fi Fiqhil Kitab wa Sunnah, jilid:1, Iskandariyah: Darul ‘Aqidah,
1430 H/ 2009 M. hal. 65
[19] Abu Muhammad ‘Abdullah bin Ahmad bin Muhammad
bin Qudamah, Al-Mughni, jilid: 1, (ttp.; tp., t.t.) hal. 115
[20] Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Fiqhul
Mar’ah AL-Muslimah, Qahirah: Darul ‘Aqidah, 1428 H/ 2007 M. hal. 20
[21] Ahmad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad bin
Hanbal, jilid: 43, cet-1, Muassasatur Risalah, 1421 H/ 2001 M. hal. 151
[22] Ibrahim bin Muhammad bin Salim bin Dhauyan, Manarus
Sabil fi Syarhi Ad-Dalil, jilid: 1, cet: 3, Iskandariyah: Darul ‘Aqidah,
1428 H/ 2007 M. hal. 25-26
[23] Ibnu Al-Atsir Al-Jazari, Jami’ul Ushul fi
Ahaditsir Rasul, jilid: 4, t. t. p, Maktabah Darul Bayan, 1390 H/1970 M.
hal. 777
[24]
Muhammad Dhiyaur Rahman Al-A’dhami, Al-Minnah
Al-Kubra Syarhu wa Takhrij As-Sunan Ash-Shugra, jilid: 7, cet-1, Riyadh:
Maktabah Ar-Rusd, 1422 H/ 2001 M. hal. 397
[25] Ibid.
[26] Mahmud Ath-Thohan, Taisiru Mushtholah
Al-Hadits,
[27] ‘Abdul Karim Zaidan, Al-Mufashshal fi
Ahkamil Mar’ah wa Baitil Muslim, jilid: 1, cet:1, Beirut: Muassasatur
Risalah, 1420 H/ 2000 M. hal. 48
[28] Ibid.
[29]
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Tuhfatul Maudud bi
Ahkamil Maulud, cet-1, Arab Saudi: Dar Ibnul Qayyim, 1421 H. hal. 318
[30] Ibid.
[31]
‘Abdul Karim Zaidan, Al-Mufashshal fi
Ahkamil Mar’ah wa Baitil Muslim, jilid: 1, cet:1, Beirut: Muassasatur
Risalah, 1420 H/ 2000 M. hal. 48
[32]
Syamsuddin Muhammad bin Abu Bakar bin Qayyim
Al-Jauziyah, Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud, Qahirah: Maktabah
Al-Qur’an. hal. 129
[33]
Ibnu Taimiyah, Fatawa An-Nisa’, Beirut:
Darul Arqam. Hal. 14-15
0 komentar:
Posting Komentar