Selasa, 26 Mei 2015

Pewarisan bagi Dzawil Arham


  Pewarisan Dzawil Arham
A.     Pendahuluan
Syari’at Islam meletakkan aturan kewarisan dan hukum mengenai harta benda dengan sebaik-baik dan seadil-adilnya. Agama Islam meletakkan hak milik seseorang atas harta baik laki-laki atau perempuan melalui jalan syara’. Seperti perpindahan hak milik laki-laki dan perempuan di waktu masih hidup ataupun perpindahan harta para ahli warisnya setelah ia meninggal dunia.
Al-Qur’an menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Bagian yang harus diterima semuanya dijelaskan sesuai kedudukan nasab terhadap pewaris.
Seiring berkembangnya zaman, masalah pewarisan dikembangkan secara kompleks oleh para fuqaha’. Dalam pewarisan tersebut mereka mengelompokkan pihak-pihak yang mendapat harta warisan, ada yang disebut dengan ashhabul furudh, ashabah, dzawil arham atau bahkan ahli waris yang terhalang dan lain sebagainya. Dalam makalah ini kami akan membahas tentang pewarisan dzawil arham.
B.       Definisi
Dzawil arham memiliki makna dalam berbagai segi, di antaranya yaitu:[1]
a.       Secara bahasa arham berarti rahim yaitu tempat penciptaan janin.
b.      Menurut syar’i arham berarti kerabat secara muthlak, sama saja mereka ahli waris atau tidak.
c.       Dalam istilah para ulama mawarits yaitu setiap kerabat yang tidak mewarisi dengan bagian furudh yang sudah ditentukan maupun ashabah.[2]
C.       Para Dzawil Arham
1.      Saudara ibu laki2 dan perempuan (paman/bibi),
2.      Saudara ayah yang perempuan (bibi),
3.      Anak perempuan saudara ayah yang laki2 (putrinya paman/ sepupu)
4.      Anak laki2 dan anak perempuannya saudara perempuan (Ponakan)
5.      Cucu laki2 dari anak perempuan.
6.      dan semua kerabat yang tidak mendapat harta waris.

D.       Perbedaan Pendapat pewarisan Dzawil Arham
Untuk dzawil arham dalam hal pewarisan, di kalangan para ulama ada kontradiksi di antara pendapat mereka yaitu:[3]
a.    Ini pendapat madzhab Zaid bin Tsabit, ‘Atha’, al-Auza’i, Malik, asy-Syafi’i dan azh-Zhahiriyah. Mereka mengatakan bahwa dzawil arham itu tidak mewarisi secara muthlak.
Salah satu alasan mereka adalah, harta warisan apabila diserahkan kebaitul mal, maka lebih jelas manfaat dan kegunaannya bagi seluruh umat muslimin. Berbeda jika kita berikan kepada dzawil arham, manfaatnya sangat kecil. Lagi pula faidahnya khusus bagi mereka (dzawil arham) saja orang lain tidak bisa mengambil manfaat. Padahal di dalam kaidah fiqhiyah harus memprioritaskan kemaslahatan umum daripada kemaslahatan khusus. Maka menurut kaidah ini harus mementingkan baitul mal daripada dzawil arham.
b.    Jumhur (di antaranya Madzhab Hanafi dan Hambali) berpendapat bahwa dzawil arham mendapat warisan, jika tidak ada ahli waris/ashobah si mayit. Mereka berpen       dapat bahwa dzawil arham lebih berhak terhadap harta si mayit dibanding orang lain. Sebab, masih ada hubungan kekerabatan. Bahkan, mereka di prioritaskan memperoleh warisan daripada Baitul mal milik kaum muslimin.
Dalil mereka adalah, Mereka mengambil dalil dari al-Qur’an dan hadits serta menurut teori ‘aqal. Allah berfirman,
“Dan orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat, mereka itu setengahnya lebih utama dari yang lain di dalam kitab Allah.”(QS. Al-Ahzab: 6)
Mereka juga mengambil dalil dari ayat,
“Bagi orang-orang lakilaki ada bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan bagi orang-orang perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabtnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditentukan.” (QS. An-Nisa’: 7)
Tidak diragukan lagi bahwa dzawil arham termasuk di dalamnya, walaupun bukan mereka yang di sebut secara khusus di dalam ayat tersebut. Tetapi eksistensi daria ayat itu sudah memberi persepsi bahwa semua kerabat lebih berhak dari pada orang lain di dalam menerima warisan. Oleh sebab itulah, dzawil arham lebih diutamakan dari pada baitul mal.
E.       Pendapat yang Rajih
Dengan membandingkan dalil-dalil di atas, dapat kita temukan bahwa yang ditempuh oleh Abu Hanifah dan Hambali adalah lebih kuat dalilnya, dan lebih jelas argumentasinya. Terutama pendapat ini merupakan pendapat sejumlah besar para Shahabat dan Tabi’in. Dengan dalil yang lain kuat, pendapat ini lebih adil dan lebih selamat serta lebih mendekati kebenaran.
F.        Kisah Salaf Terdahulu
Ketika Tsabit bin Addahdah meninggal, Nabi bertanya kepada Qais bin Ashim: “Apakah kamu tahu hubungan kekerabatannya denganmu?” Qais menjawab: “Dia di sini bersama kami adalah sebagai perantau, dan kami tidak tahu dia punya kerabat siapa-siapa, hanya kami tahu bahwa dia mempunyai seorang kerabat laki-laki, anak saudara perempuannya bernama Abu Lubanah bin Abdul Mundzir.” Nabi lalu memberikan harta warisan Tsabit bin Addahdah kepada keponakannya (anak laki-laki saudara perempuannya).
Kita ketahui bahwa anak laki-laki saudara perempuan tiada lain adalah dzawil arham, sebab ia tidak mempunyai bagian tetap dan tidak mendapat ashobah. Namun ia bisa memperoleh harta warisan. Ini menunjukkan bahwa dzawil arham dapat memperoleh harta warisan bila memang tidak ada seorang pun yang mempunyai bagian tetap dan yang mendapat ashobah.seperti halnya mereka mengambil dalil bahwa seorang lelaki bernama (Sahal bin Hunaif) memanah seseorang hingga tewas. Orang yang tewas itu tidak punya ahli waris seorang pun kecuali paman dari ibu (saudara laki-laki ibu). Lalu Abu Ubaidah bin Jarrah mengirim surat kepada Umar bin Khattab menanyakan masalah tersebut. Umar menjawab, bahwa nabi pernah bersabda: “Saudara ibu adalah salah satu pewaris bagi orang yang tidak mempunyai waris sama sekali.”
Dari kisah di atas dan sabda Nabimenunjukkan atas kewarisannya dzawil arham. Sebab paman (dari ibu), bukan orang yang mempunyai bagian tertentu dan bukan ashobah dengan kesepakattan para ulama. Nabi juga tidak memberi tahu bahwa khal (paman dari ibu) adalah ahli waris seseorang yang tidak punya ahli waris sama sekali.
G.      Syarat Pewarisan Dzawil Arham
Bagi dzawil arham bisa mendapat harta warisan dengan terpenuhinya dua syarat di bawah yaitu: [4]
a.       Tidak ada ashabah seluruhnya.
b.      Tidak ada ashhabul furudh kecuali kedua suami atau istri ketika ada sisa dari mereka dan tidak dikembalikan kepada mereka, maka sisanya diberikan kepada dzawil arham. Sebab radd urutannya sesudah dzawil arham.
H.      Cara Memberi Warisan Kepada Dzawil Arham
Orang-orang yang menempuh jalan memberi warisan kepada dzawil arham berbeda pendapat di dalam cara memberi warisan. Mereka ada tiga golongan:
a.    Cara ahli rahm: Kelompok ini mengatakan bahwa tirkah dibagikan kepada dzawil arham secara merata, tidak membedakan antara kerabat yang dekat dengan yang jauh, antara laki-laki dan perempuan, mereka memiliki hak yang sama, ini pendapat Nuh bin Daraj dan Jumhur.[5] Mengapa mereka dinamai ahli rahm? Karena mereka tidak membedakan antara yang satu dengan yang lain di dalam memperoleh bagian, tidak memandang kuat dan lemahnya jalur kekerabatan mereka, tetapi memandang bahwa mereka semua itu adalah kerabat (rahim).[6]
b.  Cara Tanzil (pemosisian), Madzhab ini menyebutkan bahwa dzawil arham dapat menduduki posisi ahli waris asal (induknya) yaitu yang mempunyai bagian tetap atau ashabah. Kemudian dzawil arham yang ada diberi bagian sesuai dengan orang tuanya.[7] Yang berpendapat dengan cara ini adalah Alqamah, Masyruq, asy-Sya’bi dari kalangan tabi’in dan juga selain Hanafiyah.[8]
Dalam madzhab ahli tanzil ada tiga arah dzawil arham yaitu:
·        Dari arah keturunan, mereka adalah keturunan mayit yang tidak mewarisi sebab ashhabul furudh dan tidak juga mendapat ashabah. Seperti putra anak perempuan dan juga putra (cicit) cucu perempuan dari anak laki-laki dll.
·        Dari arah bapak, mereka yang tidak mendapat bagian karena ashhabul furudh atau ashabah seperti paman dan bibi seibu, sepupu perempuan dari a’mam beserta anak-anak mereka dll.
·        Dari arah ibu, mereka juga yang tidak mendapat bagian karena ashhabul furudh atau ashabah seperti anak laki-laki saudara laki-laki seibu, paman dan bibi (dari ibu), paman dan bibi (baik dari ibu maupun ayah tapi yang seibu) dll.
Pembagian seperti ini dengan perbandingan laki-laki memperoleh dua bagian dari perempuan. Misalnya, anak dari anak perempuan dijadikan seperti anak perempuan, anak dari saudara laki-laki dijadikan seperti saudara laki-laki, anak paman seperti paman.[9]
c.   Cara ahlil qarabah (terdekat), mereka memberikan hak waris kepada dzawil arham sebagaimana ashabah, yaitu urutan terdekat dengan si mayit. Cara ini menurut madzhab Hanafiyah. Diambil dari undang-undang Mesir (M 32-38), Syria (M 291-297).[10]
Dalam madzhab ahli qarabah ada tiga arah dzawil arham yaitu:
·        Dari arah keturunan, seperti putra anak perempuan, putra (cicit) cucu perempuan dari anak laki-laki.
·        Dari arah bapak, seperti kakek dan nenek atau kakek baik dari arah bapak atau ibu.
·        Dari arah saudara, seperti putri saudara laki-laki, putra saudara laki-laki seibu dan juga putra saudara perempuan.
·        Dari arah paman atau bibi yang mereka bernisbat pada kakek/nenek mayit, seperti paman dan bibi dari arah ibu, paman seibu, bibi dari arah ayah, anak paman dan anak-anak mereka.
Hukum mereka dalam menggunakan cara ini adalah tidak ada perselisihan dikalangan mereka bahwa yang lebih dekat itu menghalangi yang kerabat yang jauh. Meskipun kerabat yang jauh itu lebih dekat dengan mayit, misal kerabat dari arah bapak tidak akan mewarisi ketika ada salah satu kerabat dari arah keturunan.[11]
Madzhab yang rajih di antara pendapat di atas adalah madzhab ahli tanzil karena lebih adil.[12]
I.         Perbedaan antara Madzhab Ahli Tanzil dan Ahli Qarabah
Antara ahli tanzil dan ahli qarabah memang seperti ada kesamaan, namun di sini ternyata ada sesuatu yang membedakan antara keduanya yaitu:[13]
a.    Madzhab ahli tanzil tidak memberi urutan kepada masing-masing kelompok dan tidak mendahulukan sebagian kelompok daripada yang lain. Lain lagi ahli qarabah, mereka mengutamakan salah satu kelompok daripada kelompok yang lain karena dikiaskan dengan ashabah.
b.    Yang perlu diutamakan menurut ahli tanzil adalah dekatnya hubungan kerabat dengan pewaris yang mempunyai bagian tetap atau ashabah. Tetapi menurut madzhab ahli qarabah yang perlu diutamakan adalah tingkat kekerabatan lalu kuatnya kekerabatan  dan bagi seorang laki-laki mendapat dua kali bagian seorang perempuan.
J.        Studi Kasus
1.      Seorang laki-laki meninggal dunia dengan meninggalkan: bibi dari jalur ibu dan bibi dari jalur ayah. Maka bibi dari jalur ibu mendapatkan bagian sepertiga, karena bagian itu adalah bagian harta waris ibu yang dekat dengannya dan posisinya turun kepadanya. Sedangkan bibi dari jalur ayah mendapat sisanya karena dia menempati kedudukan ayah yang mendapat ashabah[14]
3
Bibi dari jalur ibu
1/3
1
Bibi dari jalur ayah
ashabah
2

2.      Ada seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan anak perempuan dari anak perempuan dan anak perempuan dari saudara perempuan (keponakan). Mereka berdua sama-sama mendapat setengah, karena menduduki tempatnya ashhabul furudh yang mendapat setengah.[15]
2
Anak perempuan dari anak perempuan
1/2
1
Anak perempuan dari saudara perempuan
1/2
1

3.      Jika dzawil arham bersam dengan salah satu dari suami atau istri. Misal ada seorang istri meninggal dunia dengan meninggalkan suami dan anak laki-laki dari anak perempuan. Maka hitungannya seperti di bawah ini:[16]


2
Suami
1/2
1
Anak laki-laki dari anak perempuan (cucu)
1/2
1
                                                                                                   
                                                                                    Kelompok 6: 
Khodijah Mufidah, Naqibah al-Mukarramah,
                                                                               Rahmi Nurul ‘Arifah, Melyana,
                                                                              BQ Mustika Karoma


DAFTAR PUSTAKA
Abu Faris, Hamzah, al-Mawarits wa al-Washaya fi asy-Syari’ah al-Islamiyah Fiqhan wa ‘Amalan, disepakati: 21 November 2002 M
Jaza’iri, al-, Abu Bakar Jabir, Minhajul Muslim Pedoman Hidup Seorang Muslim, cet-5, Surakarta: Insan Kamil, November 2012 M
Karim, ‘Abdul bin Muhammad al-Lahim, Al-Faraidh, cet-1, Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 1986 M/ 1406 H
Shabuni, ash-, Muhammad Ali, Hukum Waris, Solo: CV. Pustaka Mantiq, Agustus 1994
Zuhaili, az-, Wahbah, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, terj. Abdul Hayyie al-Kattani dkk, jilid: 10, cet-1, Depok: Gema Insani, 1432 H/ 2011 M





[1] ‘Abdul Karim bin Muhammad al-Lahim, Al-Faraidh, cet-1, (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 1986 M/ 1406 H), hal. 185
[2] ‘Abdul Karim bin Muhammad al-Lahim, Al-Faraidh, cet-1, (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 1986 M/ 1406 H), hal. 185. Lihat Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Terjemah, jilid: 10, cet-1, (Depok: Gema Insani), 1432 H/ 2011 M, hal. 451
[3] ‘Abdul Karim bin Muhammad al-Lahim, Al-Faraidh, cet-1, (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 1986 M/ 1406 H), hal. 185. Lihat Lihat Muhammad Ali Ash-Shabuni, Hukum Waris, Solo: CV. Pustaka Mantiq, Agustus 1994 M, hal.
[4]  Ibid. hal. 189. Lihat Muhammad Ali Ash-Shabuni, Hukum Waris, Solo: CV. Pustaka Mantiq, Agustus 1994 M, hal. 162
[5] Ibid, hal. 190
[6] Muhammad Ali Ash-Shabuni, Hukum Waris, (Solo: CV. Pustaka Mantiq, Agustus 1994 M), hal. 156
[7] Ibid. hal. 156-157
[8] Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Terjemah, jilid: 10, cet-1, (Depok: Gema Insani, 1432 H/ 2011 M), hal. 457
[9] Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Terjemah, jilid: 10, cet-1, (Depok: Gema Insani, 1432 H/ 2011 M), hal. 456
[10] Ibid. hal. 457. Lihat Muhammad Ali Ash-Shabuni, Hukum Waris, (Solo: CV. Pustaka Mantiq, Agustus 1994 M), hal. 159
[11] ‘Abdul Karim bin Muhammad al-Lahim, Al-Faraidh, cet-1, (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 1986 M/ 1406 H), hal. 194
[12] Ibid, hal. 192
[13] Lihat Muhammad Ali Ash-Shabuni, Hukum Waris, (Solo: CV. Pustaka Mantiq, Agustus 1994 M), hal.
[14] Abu Bakar Jabir Al-Jaza’iri, Minhajul Muslim Pedoman Hidup Seorang Muslim, cet-5, (Surakarta: Insan Kamil, November 2012 M), hal. 828
[15] Hamzah Abu Faris, al-Mawarits wa al-Washaya fi asy-Syari’ah al-Islamiyah Fiqhan wa ‘Amalan, disepakati: 21 November 2002 M, hal. 124
[16] ‘Abdul Karim bin Muhammad al-Lahim, Al-Faraidh, cet-1, (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 1986 M/ 1406 H), hal. 208

0 komentar:

Posting Komentar

 
;