Hukum Warisan bagi Seorang Khuntsa
A. PENDAHULUAN
Hukum Islam
bertalian erat dengan norma kehidupan yang diidealkan oleh Islam. Oleh sebab
itu kelahiran hukum-hukum Islam senantiasa berkenaan dengan moment-moment
tertentu. Saat Islam mengoreksi hukum jahiliyah yang memperlakukan golongan
wanita dan anak-anak sebagai golongan yang ditinggalkan oleh kaum jahiliyah
dalam waris mewaris, maka Islam merombak hukum tersebut bersamaan dengan
ideologi barunya mengenai wanita dan
anak.
Hukum waris yang ditata Islam merupakan hujjah di hadapan hukum-hukum lain
dari setiap penjuru dunia dan zaman. Ia didasarkan pada hikmah yang tinggi
karena ia adalah ciptaan Allah yang Maha Mengetahui tentang keadilan dan
rahasia hikmahnya. Oleh sebab itu mengaktualkan hukum waris merupakan keharusan
dan menyebarkan ilmunya kepada masyarakat adalah kewajiban bagi kita semua.
Pada pembahasan ini dipaparkan persoalan yang terkait pembagian ahli waris khuntsa,
maka untuk lebih lanjut akan dipaparkan sebagai berikut.
B.
PEMBAHASAN
a. Pengertian Khuntsa,
Khuntsa (banci) menurut bahasa diambil dari kata “al-Khanats” berarti lemah
dan pecah, dikatakan “khanatsa wa takhanatsa” apabila tutur katanya
lemah lembut mirip tutur kata perempuan.[1]
Secara istilah faroidh ialah orang yang mempunyai alat kelamin laki-laki dan
alat kelamin perempuan atau tidak mempunyai alat kelamin sama sekali,[2]
di dalam hai ini persoalannya menjadi kabur, karena masih meragukan apakah
mereka itu laki-laki atau perempuan dan inilah yang disebut dengan khuntsa
musykil (banci yang masih meragukan).[3]Disebut
musykil sebab menurut aslinya, manusia itu adalah laki-laki dan
perempuan, sangat mustahil seorang khuntsa musykil digambarkan sebagai
seorang suami istri karena tidak akan sah pernikahannya selama masih musykil.
Oleh karena itu, tidak bisa dibayangkan dia sebagai ayah, ibu, kakek atau nenek
karena Allah Ta’ala menciptakan keturunan Adam dengan jenis
laki-laki dan perempuan, sebagaimana firman-Nya
يَأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِى خَلَقَكُم مِّن
نَّفْسٍ وَحِدَةٍ وَ خَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَلاً كَثِيرًا
وَنِسآءً
“Wahai manusia! Bertakwalah kepada Allah yang telah meciptakan
kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa)
dari (diri)nya, dan dari kedunya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan
perempuan yang banyak.” QS. an-Nisa’:
1
للهِ مُلْكُ السَّمَوَاتِ
وَ الأَرْضِ يَخْلُقُ مَا يَشَآءُ يَهَبُ لِمَنْ يَشَآءُ إِنَثًــــا وَ يَهَبُ لِمَنْ
يَشَآءُ الذُّكُوْرَ
“Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan
apa yang Dia kehendaki, memberikan anak perempuan kepada siapa yang Dia
kehendaki, dan memberikan anak laki-laki kaepada siapa yang Dia kehendaki.” QS. asy-Syuura: 49
Ayat di atas
menjelaskan bahwa Allah Ta’ala telah menjadikan anak Adam itu dua jenis
yang berbeda yaitu laki-laki dan perempuan. Setiap anak Adam dilahirkan dengan
ciri-ciri laki-laki dan perempuan, serta menunjukkan tidak akan berkumpulnya
dua sifat pada tiap diri seseorang. Lantas bagaimana jika hal itu terjadi
kontradiksi yaitu bila seseorang mempunyai dua alat kelamin atau tidak ada sama
sekali? Allah Ta’ala telah menetapkan tanda-tanda yang bisa membedakan
antara keduanya dengan adanya alat kelamin laki-laki dan alat kelamin perempuan.
b. Cara Mengidentifikasikan
Jenis Kelamin Khuntsa,
Ulama telah
sepakat bahwa pewarisan khuntsa sesuai dengan ciri-ciri yang bisa
dilihat secara kasatmata dan cara mengidentifikasikan jenis kelamin khuntsa (banci)
sebagai berikut:[4]
1. Sebelum dia dewasa dapat
diketahui dengan cara bagaimana dia kencing, bila ia kencing dengan anggota
yang khusus bagi laki-laki maka dia adalah laki-laki dan mendapat warisan sebagai
orang laki-laki, dan bila ia kencing dengan anggota yang khusus bagi perempuan
maka dia adalah perempuan dan mendapat warisan sebagai ahli waris perempuan.
Inilah ciri yang paling jelas.
2. Apabila dia kencing
dengan kedua anggotanya, maka ditetapkan dengan anggota yangmana dia kencing
lebih dahulu, jika air kencing keluar bersama antara dua alat tersebut maka
tunggulah sampai ada tanda-tanda yang lain.
3. Setelah dia menginjak
usia baligh, apabila dia mimpi seperti mimpinya orang laki-laki (terhadap perempuan)
atau lebih menyukai perempuan atau tumbuh kumis dan jenggot atau keluarnya mani
dari dzakarnya, maka dia adalah laki-laki. Apabila muncul baginya buah
dada seperti halnya buah dada perempuan atau haidh atau hamil, maka dia
perempuan.
4. Apabila tidak muncul
tanda-tanda kelaki-lakian dan kewanitaannya, maka dia ditetapkan sebagi khuntsa
musykil (banci yang meragukan).
c.
Cara Membagi Warisan Menurut Pendapat Ulama,
Berkaitan dengan
warisan khuntsa musykil, ulama madzhab memaparkan pendapat sebagai
berikut:
1.
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa khuntsa musykil
mendapatkan warisan yang paling sedikit yaitu bagian di antara keadaanya
sebagai laki-laki atau perempuan, pendapat ini diutarakan pula oleh Imam
Syafi’i,[5]
dengan menentukan ia sebagai laki-laki serta disebutkan sihamnya dan menentukan
ia sebagai perempuan serta disebutkan sihamnya kemudian sisanya dibagikan
kepada ahli waris sesuai furudh mereka.
2.
Ulama Malikiyah berpendapat, khuntsa musykil diberikan
setengah bagian perempuan dan setengah bagian laki-laki, jika dia mewarisi
berdasarkan asumsi dan tidak berdasarkan asumsi yang lain, maka dia diberi
setengah dari bagiannya berdasarkan asumsi itu bagian warisannya.[6]
3.
Ulama Syafi’iyah berpendapat, masing-masing ahli waris
dan khuntsa musykil diberi bagian yang paling kecil, sebab bagian-bagian
ini merupakan yang telah diyakini bagi setiap ahli waris yang berkaitan dengan khuntsa
musykil. Sisanya ditunda sementara sampai persoalannya menjadi jelas
(laki-laki atau perempuan). Pendapat inilah yang digunakan pedoman madzhab
Syafi’i.[7]
4.
Ulama Hanabilah berpendapat sebagaimana pendapat madzhab
Imam Malik jika belum jelas persoalannya dan sependapat dengan madzhab Syafi’i
jika sudah jelas persoalannya (laki-laki atau perempuan).[8]
Semoga
pendapat madzhab Hanafiyah lebih mendekati kepada keadilan.[9]
d.
Cara Mengerjakan atau Membaginya,
Masalah khuntsa (orang banci) pertama ditahshis
dengan perkiraaan laki-laki dan masalah kedua diperkirakan perempuan. Di
antara kedua masalah tersebut diperbandingkan dengan empat masalah perbandingan
(mumatsalah, muwafaqah, mudakhalah dan mubayanah) hasilnya
perbandingan itu yang menjadi masalah “jami’ah” atau tashihul
masalah. Kemudian ahli waris yang bersangkutan diberi bagian yang kecil,
supaya masih ada kelebihan dan ditahan kelebihan tadi hingga jelas betul antara
laki-laki dan perempuan khuntsa tadi atau sampai ada perdamaian.
e. Contoh Pewarisan
Orang Khuntsa,
Contoh mumatsilah:
|
Diperkirakan laki2
|
|
Diperkirakan pr
|
Jami’ah
|
|||
|
|
3
|
|
|
|
3
|
3
|
A
|
Anak perempuan
|
1
|
2/3
|
Anak perempuan
|
1
|
1
|
|
Anak khuntsa
|
2
|
Anak khuntsa
|
1
|
1
|
|||
|
Bagian yg ditangguhkan
|
1
|
Contoh muwafaqah:
Diperkirakan
laki-laki
|
|
|
3
|
|
|
|
2
|
4
|
|
1/2
|
Suami
|
1
|
2 x 3
|
6
|
A
|
Sdr lk sekandung
|
1
|
1 x 3
|
3
|
Sdr sekandung banci
|
1 x 3
|
3
|
Diperkirakan
perempuan
|
|
|
2
|
|
|
|
|
2
|
6
|
|
Jami’ah
|
1/2
|
Suami
|
1
|
3 x 2
|
6
|
6
|
A
|
Sdr lk sekandung
|
1
|
2 x 2
|
4
|
3
|
Sdr sekandung banci
|
1 x 2
|
2
|
2
|
||
Bagian yg ditangguhkan
|
1
|
Contoh mudakhalah:
Diperkirakan
laki-laki[10]
|
|
6 x 3
|
18
|
|
2
|
Suami
|
3 x 3
|
9
|
9
|
6
|
Ibu
|
1 x 3
|
3
|
3
|
A
|
2 sdr laki-laki seibu
|
2x 3
|
6
|
4
|
Sdr sekandung banci
|
2
|
Diperkirakan
perempuan
|
|
6
|
9
|
Jami’ah
|
2
|
Suami
|
3 x 2
|
6
|
6
|
6
|
Ibu
|
1 x 2
|
2
|
2
|
3
|
2 sdr laki-laki seibu
|
2 x 2
|
4
|
4
|
2
|
Sdr sekandung banci
|
3 x 2
|
6
|
2
|
Bagian yg ditangguhkan
|
4
|
Contoh mubayanah:
|
|
Perkiraan laki2
|
|
|
|
|
Perkiraan pr
|
|
Jami’ah
|
|
|
2
|
|
|
|
3
|
|
6
|
|
A
|
Anak laki-laki
|
1 x 3
|
3
|
A
|
Anak laki-laki
|
2 x 2
|
4
|
3
|
|
Anak khuntsa
|
1 x 3
|
3
|
Anak khuntsa
|
1 x 2
|
2
|
2
|
|||
|
|
|
|
Bagian yang ditangguhkan
|
1
|
Oleh:
Dzakiyatun Niswah
Rasika Novema sari
Masyithoh Adh-Dhori’ah
Khodijah Al-Ghoziyah
DAFTAR PUSTAKA
Az-Zuhaili,
Wahbah, Fiqih Islam Wa Adilatuhu, (Jakarta: Gema Insani, 2012 cet.1)
Ad-Daghastaani,
Maryam Ahmad, al- Mawarits fi Syari’ah al-Islamiyyah ‘Ala al-Madzhab
al-Arba’ah Wal ‘Amalu ‘Alaihi fi al-Ahkam al-Mishriyyah, (Cairo: 2001)
Abu Zahra, Muhammad, Ahkamu
Tirkah Wal Mawarits.
Ash-Shabuni,
Muhammad bin Ali, Hukum Waris, (Solo: CV.
Pustaka Mantiq, 1994 cet. 1)
Al-Fauzan, Shalih
bin Fauzan bin Abdullah, al-Mulkhash al-Fiqhi, (tt: tp, tt)
Al-Mishry, Muhammad
bin Mukrim bin Manzhur al-Afriqy, Lisanul ‘Arab, (Beirut: Daar Shadir,
cet. 1)
[1]. Muhammad bin Mukrim bin
Manzhur al-Afriqy al-Mishry, Lisanul ‘Arab, jilid. 2, hal. 145 (Beirut:
Daar Shadir, cet. 1)
[2]. Shalih bin Fauzan bin
Abdullah al-Fauzan, al-Mulkhash al-Fiqhi, hal. 520
[3]. Syaikh Muhammad bin Ali
ash-Shabuni, Hukum Waris, hal. 164
[4]. Shalih bin Fauzan bin
Abdullah al-Fauzan, al-Mulkhash al-Fiqhi, hal. 521
[5]. Muhammad Abu Zahra, Ahkamu Tirkah Wal
Mawarits, hal. 227, Lihat al- Mawarits fi Syari’ah al-Islamiyyah ‘Ala
al-Madzhab al-Arba’ah Wal ‘Amalu ‘Alaihi fi al-Ahkam al-Mishriyyah, hal.108
(Cairo: 2001)
[6]. DR. Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adilatuhu,
jilid.10, hal. 486
[7]. DR. Maryam Ahmad
ad-Daghastaani, al- Mawarits fi Syari’ah al-Islamiyyah ‘Ala al-Madzhab
al-Arba’ah Wal ‘Amalu ‘Alaihi fi al-Ahkam al-Mishriyyah hal.108 (Cairo:
2001)
[8]. Ibid
[9]. Ibid
[10]. Dicari wifiq terlebih
dahulu, 6:3= 2, 9:3=3
0 komentar:
Posting Komentar