Selasa, 26 Mei 2015

Hukum Warisan bagi Seorang Khuntsa


Hukum Warisan bagi Seorang Khuntsa

A.       PENDAHULUAN
Hukum Islam bertalian erat dengan norma kehidupan yang diidealkan oleh Islam. Oleh sebab itu kelahiran hukum-hukum Islam senantiasa berkenaan dengan moment-moment tertentu. Saat Islam mengoreksi hukum jahiliyah yang memperlakukan golongan wanita dan anak-anak sebagai golongan yang ditinggalkan oleh kaum jahiliyah dalam waris mewaris, maka Islam merombak hukum tersebut bersamaan dengan ideologi  barunya mengenai wanita dan anak.
Hukum waris yang ditata Islam merupakan hujjah di hadapan hukum-hukum lain dari setiap penjuru dunia dan zaman. Ia didasarkan pada hikmah yang tinggi karena ia adalah ciptaan Allah yang Maha Mengetahui tentang keadilan dan rahasia hikmahnya. Oleh sebab itu mengaktualkan hukum waris merupakan keharusan dan menyebarkan ilmunya kepada masyarakat adalah kewajiban bagi kita semua. Pada pembahasan ini dipaparkan persoalan yang terkait pembagian ahli waris khuntsa, maka untuk lebih lanjut akan dipaparkan sebagai berikut.
B.       PEMBAHASAN
a.      Pengertian Khuntsa,
Khuntsa (banci) menurut bahasa diambil dari kata “al-Khanats” berarti lemah dan pecah, dikatakan “khanatsa wa takhanatsa” apabila tutur katanya lemah lembut mirip tutur kata perempuan.[1] Secara istilah faroidh ialah orang yang mempunyai alat kelamin laki-laki dan alat kelamin perempuan atau tidak mempunyai alat kelamin sama sekali,[2] di dalam hai ini persoalannya menjadi kabur, karena masih meragukan apakah mereka itu laki-laki atau perempuan dan inilah yang disebut dengan khuntsa musykil (banci yang masih meragukan).[3]Disebut musykil sebab menurut aslinya, manusia itu adalah laki-laki dan perempuan, sangat mustahil seorang khuntsa musykil digambarkan sebagai seorang suami istri karena tidak akan sah pernikahannya selama masih musykil. Oleh karena itu, tidak bisa dibayangkan dia sebagai ayah, ibu, kakek atau nenek karena Allah Ta’ala menciptakan keturunan Adam dengan jenis laki-laki dan perempuan, sebagaimana firman-Nya
يَأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِى خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَحِدَةٍ وَ خَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَلاً كَثِيرًا وَنِسآءً
“Wahai manusia! Bertakwalah kepada Allah yang telah meciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)nya, dan dari kedunya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.” QS. an-Nisa’: 1
للهِ مُلْكُ السَّمَوَاتِ وَ الأَرْضِ يَخْلُقُ مَا يَشَآءُ يَهَبُ لِمَنْ يَشَآءُ إِنَثًــــا وَ يَهَبُ لِمَنْ يَشَآءُ الذُّكُوْرَ
“Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki, memberikan anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki, dan memberikan anak laki-laki kaepada siapa yang Dia kehendaki.” QS. asy-Syuura: 49
Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah Ta’ala telah menjadikan anak Adam itu dua jenis yang berbeda yaitu laki-laki dan perempuan. Setiap anak Adam dilahirkan dengan ciri-ciri laki-laki dan perempuan, serta menunjukkan tidak akan berkumpulnya dua sifat pada tiap diri seseorang. Lantas bagaimana jika hal itu terjadi kontradiksi yaitu bila seseorang mempunyai dua alat kelamin atau tidak ada sama sekali? Allah Ta’ala telah menetapkan tanda-tanda yang bisa membedakan antara keduanya dengan adanya alat kelamin laki-laki dan alat kelamin perempuan.
b.      Cara Mengidentifikasikan Jenis Kelamin Khuntsa,
Ulama telah sepakat bahwa pewarisan khuntsa sesuai dengan ciri-ciri yang bisa dilihat secara kasatmata dan cara mengidentifikasikan jenis kelamin khuntsa (banci) sebagai berikut:[4]
1.      Sebelum dia dewasa dapat diketahui dengan cara bagaimana dia kencing, bila ia kencing dengan anggota yang khusus bagi laki-laki maka dia adalah laki-laki dan mendapat warisan sebagai orang laki-laki, dan bila ia kencing dengan anggota yang khusus bagi perempuan maka dia adalah perempuan dan mendapat warisan sebagai ahli waris perempuan. Inilah ciri yang paling jelas.
2.      Apabila dia kencing dengan kedua anggotanya, maka ditetapkan dengan anggota yangmana dia kencing lebih dahulu, jika air kencing keluar bersama antara dua alat tersebut maka tunggulah sampai ada tanda-tanda yang lain.
3.      Setelah dia menginjak usia baligh, apabila dia mimpi seperti mimpinya orang laki-laki (terhadap perempuan) atau lebih menyukai perempuan atau tumbuh kumis dan jenggot atau keluarnya mani dari dzakarnya, maka dia adalah laki-laki. Apabila muncul baginya buah dada seperti halnya buah dada perempuan atau haidh atau hamil, maka dia perempuan.
4.      Apabila tidak muncul tanda-tanda kelaki-lakian dan kewanitaannya, maka dia ditetapkan sebagi khuntsa musykil (banci yang meragukan).
c.       Cara Membagi Warisan Menurut Pendapat Ulama,
Berkaitan dengan warisan khuntsa musykil, ulama madzhab memaparkan pendapat sebagai berikut:
1.      Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa khuntsa musykil mendapatkan warisan yang paling sedikit yaitu bagian di antara keadaanya sebagai laki-laki atau perempuan, pendapat ini diutarakan pula oleh Imam Syafi’i,[5] dengan menentukan ia sebagai laki-laki serta disebutkan sihamnya dan menentukan ia sebagai perempuan serta disebutkan sihamnya kemudian sisanya dibagikan kepada ahli waris sesuai furudh mereka.
2.      Ulama Malikiyah berpendapat, khuntsa musykil diberikan setengah bagian perempuan dan setengah bagian laki-laki, jika dia mewarisi berdasarkan asumsi dan tidak berdasarkan asumsi yang lain, maka dia diberi setengah dari bagiannya berdasarkan asumsi itu bagian warisannya.[6]
3.      Ulama Syafi’iyah berpendapat, masing-masing ahli waris dan khuntsa musykil diberi bagian yang paling kecil, sebab bagian-bagian ini merupakan yang telah diyakini bagi setiap ahli waris yang berkaitan dengan khuntsa musykil. Sisanya ditunda sementara sampai persoalannya menjadi jelas (laki-laki atau perempuan). Pendapat inilah yang digunakan pedoman madzhab Syafi’i.[7]
4.      Ulama Hanabilah berpendapat sebagaimana pendapat madzhab Imam Malik jika belum jelas persoalannya dan sependapat dengan madzhab Syafi’i jika sudah jelas persoalannya (laki-laki atau perempuan).[8]
Semoga pendapat madzhab Hanafiyah lebih mendekati kepada keadilan.[9]
d.      Cara Mengerjakan atau Membaginya,
Masalah khuntsa (orang banci) pertama ditahshis dengan perkiraaan laki-laki dan masalah kedua diperkirakan perempuan. Di antara kedua masalah tersebut diperbandingkan dengan empat masalah perbandingan (mumatsalah, muwafaqah, mudakhalah dan mubayanah) hasilnya perbandingan itu yang menjadi masalah “jami’ah” atau tashihul masalah. Kemudian ahli waris yang bersangkutan diberi bagian yang kecil, supaya masih ada kelebihan dan ditahan kelebihan tadi hingga jelas betul antara laki-laki dan perempuan khuntsa tadi atau sampai ada perdamaian.
e.      Contoh Pewarisan Orang  Khuntsa,
Contoh mumatsilah:

Diperkirakan laki2

Diperkirakan pr
Jami’ah


3



3
3
A
Anak perempuan
1
2/3
Anak perempuan
1
1
Anak khuntsa
2
Anak khuntsa
1
1

Bagian yg ditangguhkan
1

Contoh muwafaqah:                                                                             
Diperkirakan laki-laki



3



2
4

1/2
Suami
1
2 x 3
6
A
Sdr lk sekandung
1
1 x 3
3
Sdr sekandung banci
1 x 3
3

Diperkirakan perempuan



2




2
6

Jami’ah
1/2
Suami
1
3 x 2
6
6
A
Sdr lk sekandung
1
2 x 2
4
3
Sdr sekandung banci
1 x 2
2
2
Bagian yg ditangguhkan
1

Contoh mudakhalah:
Diperkirakan laki-laki[10]


6 x 3
18

2
Suami
3 x 3
9
9
6
Ibu
1 x 3
3
3
A
2 sdr laki-laki seibu
2x 3
6
4
Sdr sekandung banci
2




Diperkirakan perempuan


6
9
Jami’ah
2
Suami
3 x 2
6
6
6
Ibu
1 x 2
2
2
3
2 sdr laki-laki seibu
2 x 2
4
4
2
Sdr sekandung banci
3 x 2
6
2
Bagian yg ditangguhkan
4

Contoh mubayanah:


Perkiraan laki2




Perkiraan pr

Jami’ah


2



3

6
A
Anak laki-laki
1 x 3
3
A
Anak laki-laki
2 x 2
4
3
Anak khuntsa
1 x 3
3
Anak khuntsa
1 x 2
2
2




Bagian yang ditangguhkan
1

Oleh:
Dzakiyatun Niswah
Rasika Novema sari
Masyithoh Adh-Dhori’ah
Khodijah Al-Ghoziyah


DAFTAR PUSTAKA
Az-Zuhaili, Wahbah, Fiqih Islam Wa Adilatuhu, (Jakarta: Gema Insani, 2012 cet.1)
Ad-Daghastaani, Maryam Ahmad, al- Mawarits fi Syari’ah al-Islamiyyah ‘Ala al-Madzhab al-Arba’ah Wal ‘Amalu ‘Alaihi fi al-Ahkam al-Mishriyyah, (Cairo: 2001)
Abu Zahra, Muhammad, Ahkamu Tirkah Wal Mawarits.
Ash-Shabuni, Muhammad bin Ali, Hukum Waris, (Solo: CV. Pustaka Mantiq, 1994 cet. 1)
Al-Fauzan, Shalih bin Fauzan bin Abdullah, al-Mulkhash al-Fiqhi, (tt: tp, tt)
Al-Mishry, Muhammad bin Mukrim bin Manzhur al-Afriqy, Lisanul ‘Arab, (Beirut: Daar Shadir, cet. 1)





[1]. Muhammad bin Mukrim bin Manzhur al-Afriqy al-Mishry, Lisanul ‘Arab, jilid. 2, hal. 145 (Beirut: Daar Shadir, cet. 1)
[2]. Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan, al-Mulkhash al-Fiqhi, hal. 520
[3]. Syaikh Muhammad bin Ali ash-Shabuni, Hukum Waris, hal. 164
[4]. Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan, al-Mulkhash al-Fiqhi, hal. 521
[5]. Muhammad Abu Zahra, Ahkamu Tirkah Wal Mawarits, hal. 227, Lihat al- Mawarits fi Syari’ah al-Islamiyyah ‘Ala al-Madzhab al-Arba’ah Wal ‘Amalu ‘Alaihi fi al-Ahkam al-Mishriyyah, hal.108 (Cairo: 2001)
[6].  DR. Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adilatuhu, jilid.10, hal. 486
[7]. DR. Maryam Ahmad ad-Daghastaani, al- Mawarits fi Syari’ah al-Islamiyyah ‘Ala al-Madzhab al-Arba’ah Wal ‘Amalu ‘Alaihi fi al-Ahkam al-Mishriyyah hal.108 (Cairo: 2001)
[8]. Ibid
[9]. Ibid
[10]. Dicari wifiq terlebih dahulu, 6:3= 2, 9:3=3

0 komentar:

Posting Komentar

 
;