HAL-HAL YANG DILARANG
KETIKA HAIDH DAN MANDI JANABAH
Oleh:
Az-Zahro Husnul Hasanah dan Meliyana
A. Pendahuluan
Wanita haidh mempunyai aturan
tersendiri dalam menjalani kewajibannya sebagai seorang mukallaf. Ada hal-hal yang
diperbolehkan untuk dilakukan dan ada juga hal-hal yang dilarang atasnya. Serta
dianjurkan atasnya ketika selesai haidh untuk mandi janabah.
Ada sebagian wanita yang belum
mengetahui akan hal-hal yang dilarang baginya ketika haidh dan tata cara mandi janabah
yang dilakukan setelah masa haidh selesai, bahkan ada yang masih ragu-ragu, hal
ini menunjukan kurangnya pengetahuan muslimah tentang ilmu syar’i.
Lalu, perkara apa saja yang
dilarang bagi wanita haidh dan bagaimana hukum dari perkara tersebut serta
bagaimana tata cara mandi janabah yang sesuai dengan tuntunan Rosulullah SAW ?
B. Hal-Hal yang Diharamkan Ketika Haidh
Perincian tentang larangan-larangan dalam masa haidh serta dalilnya adalah
sebagai berikut:
1.
Sholat
Wanita yang sedang haidh diharamkan melakukan shalat. Abu Sa’id ra
meriwayatkan bahwa Rosulullah SAW bersabda,
أَ لَيْسَ إِذَا
حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَ لَمْ تَصُوْمُ؟ فَذَلِكَ نُقْصَانُ دِيْنَهَا
“Bukanlah ketika haidh wanita tidak mengerjakan sholat dan
puasa? Itulah bentuk kekurangan agamanya.” [1]
Seluruh ulama sepakat bahwa wanita yang mengalami haidh haram melakukan
sholat, baik sholat fardhu maupun sunnah. Mereka juga sepakat bahwa wanita yang
haidh tidak perlu mengqodho (mengganti) sholat fardhu yang ditinggalkannya
setelah suci.
Mu’adzah meriwayatkan bahwa seorang wanita bertanya kepada Aisyah ra,
“Apakah kita (wanita) mengganti sholat setelah suci?” ‘Aisyah ra berkata,
“Apakah engkau seorang wanita haruri?[2]
Kami mengalami haidh dimasa Rosulullah SAW, dan beliau tidak pernah
menyuruh kami mengganti sholat atau tidak pernah mengerjakannya.”[3]
(HR. Bukhori dan Muslim)
Mengqodho sholat adalah perkara yang menyusahkan, karena haidh senantiasa
berulang dan masanya pun panjang, tidak seperti puasa. Wanita yang haidh haram
mengqodho sholat. Pendapat yang mu’tamad menurut madzhab Syafi’i ialah
makruh mengqodho sholat. Jika ia melakukannya, maka sholat itu menjadi sholat
sunnah mutlak yang tidak diberi pahala.[4]
2.
Puasa
Ulama sepakat (ijma’) bahwa wanita yang haidh tidak boleh puasa, hanya saja
mereka harus mengqodho (mengganti) puasa ramadhan.[5] Haidh
dapat menggugurkan kewajiban sholat, tapi tidak untuk puasa. Telah diriwayatkan
bahwa, Mu’adzah meriwayatkan bahwa seorang wanita bertanya kepada Aisyah ra,
“Apakah kita (wanita) mengganti sholat setelah suci?” ‘Aisyah ra berkata,
“Apakah engkau seorang wanita haruri?[6]
Kami mengalami haidh dimasa Rosulullah SAW, dan beliau tidak pernah
menyuruh kami mengganti sholat atau tidak pernah mengerjakannya.” (HR. Bukhori
dan Muslim)[7]
Hadits ini menunjukan bahwa pada zaman Rosulullah SAW, wanita-wanita yang
haidh dan nifas tidak berpuasa. Tetapi, mereka tetap wajib mengqodhonya. Oleh
karena itu, wanita yang sedang haidh dan nifas hendaklah mengqodho puasa
mereka, tetapi tidak perlu mengqodho sholat.[8]
3.
Thawaf
Perempuan yang haidh diharamkan untuk melakukan thawaf di Baitul Haram, baik
yang wajib maupun sunnah. Hal ini berdasarkan sabda Rosulullah SAW kepada
Aisyah ra,
إِذَا حِضْتَ فَا
فْعَلِي مَا يَفْعَلُ الحَاجُّ غَيْر َأَنْ لَا تَطُوْفِي بِالبَيْتِ حَتَّي تَطْهُرِي
“Apabila kamu sedang haidh, lakukanlah apa yang dilakukan oleh orang yang
mengerjakan haji. Tetapi kamu tidak boleh thowaf di ka’bah kecuali setelah kamu
bersuci.” (Muttafaqun ‘Alaih)[9]
Adapun rukun lainnya seperti sa’i di antara Shafa dan Marwah, wukuf di
Arafah, mabith (bermalam) di Muzdalifah dan Mina, melempar jumrah, dan manasik
lainnya tidaklah haram untuk dilakukan oleh perempuan yang haidh. Berdasarkan
hal tersebut, seandainya ada seorang perempuan yang tidak haidh melakukan
thawaf di Baitul Haram, setelah itu ia langsung haidhtau juga di tengah-tengah
sa’i, ia mengalami haidh, maka itu tidak apa-apa.[10]
4.
Memegang dan Membawa Mushaf Al-Qur’an
Kedudukan wanita haidh sama seperti orang yang berjunub. Hal ini
berdasarkan firman Allah SWT,
“Tidak ada yang menyentuhnya selain hamba-hamba yang
disucikan.” (QS. Al-Waqi’ah:
79)
Juga, berdasarkan sabda Rosulullah SAW,
لاَ تَقْرَأُ الحَائِضُ
وَ الجُنُبُ شَيْئًا مِنَ القُرْأَنِ
“Seseorang yang haidh dan orang yang berjunub janganlah
membaca apa pun dari Al-Qur’an.”
Ulama Syafi’i membuat pengecualian apabila ada kekhawatiran Al-Qur’an akan
tenggelam, terbakar, terkena najis, atau jatuh ke tangan orang kafir. Dalam
kasus seperti
ini, maka wanita yang sedang haidh wajib membawa Al-Qur’an itu. Demikian juga,
para ulama berpendapat bahwa mereka boleh juga membawa Al-Qur’an yang mengandung
tafsir, yang diyakini lebih banyak tafsirnya.
Ulama Hanafiah mengecualikan kasus menyentuh sarung Al-Qur’an
yang terpisah dengannya. Makruh juga menyentuh dengan lengan baju, karena ia
termasuk pakaian yang di berikan keringanan bagi para pengkaji kitab syari’ah
baik hadits, fiqih, atau tafsir untuk membuka helaian kertas dengan tangan karena
darurat. Begitu juga makruh menyentuh ayat-ayat itu, karena ia tetap mengandung
ayat-ayat Al-Qur’an. Di sunnahkan membuka helaian Al-Qur’an setelah berwudhu.
Mereka membolehkan
membuka helaian Al-Qur’an dengan menggunakan pensil atau pena untuk dibaca.
Demikian juga mereka membolehkan anak-anak membawa Al-Qur’an dan mengangkatnya
dengan tujuan untuk belajar.
Orang yang junub dan haid,
tidak makruh melihat Al-Qur’an. Menulis Al-Qur’an dan nama Allah di atas uang,
di mihrab masjid, di dinding, dan diatas hamparan adalah makruh. Makruh juga
membaca Al-Qur’an di tempat mandi, bilik air, dan di tempat buang sampah. Namun
tidak dimakruhkan menulis ayat Al-Qur’an di atas lembaran kertas. Dengan
syarat, lembaran itu terpisah dengan penulis, kecuali jika dia menyentuhnya
dengan tanganya.
Menurut pendapat yang
Mu’tamad di kalangan ulama Maliki, orang haid tidak diharamkan membaca Al-Qur’an
dalam hati, kecuali setelah darah berhenti namun dia belum mandi. Pada masa
itu, tidak boleh membacanya sama sekali hingga dia mandi. Sebab ketika itu dia tidak ada udzur lagi.[11]
5.
Masuk, Duduk,
dan I’tikaf di dalam Masjid Meskipun dengan Wudhu
Jumhur Ulama
mengharamkan wanita haidh dan junub masuk ke dalam masjid. Larangan ini berdasarkan
sabda Rasullulah SAW,
لَا أُحِلَّ المَسْجِدَ لِحَا ئِضِ وَلَا
جٌنٌبٍ
Ulama’ Syafi’i dan
Hambali membolehkan wanita yang sedang haid atau nifas berlalu di dalam masjid,
jika ia yakin tidak mengotori masjid. Karena, hukum mengotori masjid adalah
haram. Juga, karena pendapat riwayat Aisyah yang menyatakan bahwa Rasululluh
SAW berkata kepadanya,
“ Ambilkan aku sajadah (tikar) dari
masjid. Maka aku menjawab, ’aku
sekarang sedang haid’ lantas
Nabi Muhammad SAW bersabda
‘Sesungguhnya haidmu tidak terletak di tanganmu.’
Juga berdasarkan
riwayat dari Maimunah ra yang berkata, “ salah seorang
dari kami membawa sajadah (tikar) ke masjid lalu menghamparkanya, padahal ia
sedang haid.”
Di samping itu ulama Hambali juga membolehkan wanita sedang haid diam di dalam masjid dengan berwudhu
terlebih dahulu sesudah darah kering.
6.
Bersetubuh
dengan Istri Ketika Haidh
Para Ulama bersepakat bahwa diharamkan menyetubuhi istri yang sedang haidh
pada kemaluannya. Adapun istimta’ (bersenang-senang) pada bagian tubuh yang
berada diantara pusar dan lutut juga dilarang, menurut jumhur ulama selain
ulama Hambali. Larangan ini berdasarkan firman Alloh SWT,
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah,
‘Haidh adalah suatu kotoran.’ Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri
dari wanita di waktu haidh, dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka
suci...” (QS. Al-Baqoroh:
222)
Juga, berdasarkan sabda Rosulullah SAW kepada Abdullah bin Sa’ad ketika dia
bertanya kepada beliau, “Apakah perkara yang dihalalkan untuk ku ketika istriku
sedang haidh?” Rosulullah menjawab, “Yang dibolehkan untukmu adalah apa yang
berada di atas pakaian (izaar).”
Selain itu karena ber-istimta’ di bawah pusar dapat mendorong
seseorang untuk bersetubuh, maka hukumnya diharamkan. Adapun bersenang-senang
di selain tempat itu adalah dibolehkan. Ulama Hanafi membolehkan ber-istimta’
dengan istri yang sedang haidh, atau yang semacamnya pada bagian tubuh yang
berada di antara pusar dan lutut selain bersetubuh. Hal ini berdasarkan sabda
Rosulullah SAW,
إِصْنَعُوْا كُلَّ
شَئٍ إِلَّا النِّكاَحَ
“Lakukanlah semua perkara kecuali Nikah (persetubuhan).”
Mereka juga menghalalkan seorang suami yang nafsunya kuat untuk
bersetubuh dengan istrinya yang sedang haidh, dengan syarat dia tidak dapat menahan
syahwatnya dengan cara lain. Menurut pendapat ulama Maliki dan Syafi’i,
bersetubuh dan istimta’ pada bagian tubuh yang terdapat di antara pusar
dan lutut adalah haram.[13]
C. Mandi Besar
1. Definisi Mandi Besar (mandi janabah)
a.
Secara bahasa mandi adalah mengalirkan air ke sesuatu secara sempurna.
b.
Secara syar’i adalah mengalirkan air suci ke seluruh
badan dengan cara tertentu.
§ Menurut Syafi’iyah al-ghuslu
adalah mengalirkan air ke seluruh badan dengan niat.
§ Menurut Malikiyah al-ghuslu
adalah mengalirkan air ke seluruh badan dan menggosoknya dengan niat agar
diperbolehkan shalat.[14]
c.
Makna janabah adalah “Al-Bu’du”
yang berarti jauh, dinamakan janabah dikarenakan jauh atau terhindar untuk
melakukan ibadah seperti, sholat. Makna lain yaitu tidak
suci.[15]
2. Dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah
Allah
SAW
berfirman:
وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا
فَاطَّهَّرُوا
“ Jika kamu junub maka bersucilah.” (QS.
Al-Maidah: 6)
Allah SWT berfirman dalam ayat lain:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ
قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى
يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ
اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh.
Katakanlah:"Haidh itu adalah suatu kotoran". Oleh sebab itu hendaklah
kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati
mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka
itu di tempat yang diperintakan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. (QS. Al-Baqoroh: 222)
Rosulullah SAW bersabda:
“Apabila satu
khitan melewati (menyentuh) satu khitan lainnya maka telah wajib mandi.” (HR. Muslim)[16]
3. Hal-hal yang Mewajibkan Mandi
1)
Keluarnya mani yang disertai syahwat baik dalam keadaan tidur maupun
terjaga.
Allah SWT berfirman:
“Dan apabila kamu junub, maka bersucilah (mandi)” (QS. Al-Maidah: 6)
Bila mani
keluar, maka harus wajib mandi, tanpa memandang cara keluarnya, apakah melalui
hubungan badan (jimak), mimpi, maupun manstrubasi (istimna’). Ini merupakan
pendapat seluruh ulama fiqih. Mereka berdalil dengan hadits Rosulullah SAW,
“Sesungguhnya air (mandi) itu disebabkan oleh keluarnya air (mani).” (HR. Muslim dan Abu Daud)
2)
Berhubungan badan walaupun tanpa disertai keluarnya mani.
Dalilnya
adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairoh bahwa Rosulullah SAW bersabda,
“Apabila seorang laki-laki telah duduk dalam posisi di antara empat anggota
tubuh wanita, lalu melakukan hubungan badan dengannya, maka wajiblah mandi.” (HR. Bukhori, Muslim, Abu Daud, Nasa’i, dan Ibnu Majah)
3)
Setelah berakhirnya masa haidh dan
nifas
Dalilnya
adalah hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah RA, bahwa Rosulullah SAW berkata
kepada fathimah binti Abu Hubaisy,
“Jika masa haidh tiba, maka tinggalkan sholat, dan jika masa haidh
berakhir, maka mandilah dan kerjakan sholat.” (HR. Bukhori dan Muslim)
Para ulama sepakat
(ijma’) bahwa hukum nifas sama dengan hukum haidh.[17]
4)
Orang yang masuk Islam
Dalilnya
adalah hadits yang diriwayatkan oleh Qais bin Ashim bahwa ketika dia masuk
Islam, Rosulullah SAW menyuruhnya
mandi dengan air yang dicampur dengan sidr (daun pewangi).
5)
Meninggal dunia
Apabila
seorang muslim meninggal dunia, ia wajib dimandikan berdasakan perintah
Rosul-Nya. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Ummu ‘Athiyah ra, “Rosulullah SAW masuk kepada kami ketika
putrinya wafat. Beliau lalu berkata, ‘Mandikanlah ia tiga atau lima kali, atau
lebih jika menurut kalian harus demikian…’ (HR. Bukhori)[18]
4. Hal-hal yang Wajib dalam Mandi
1) Niat
Niat
adalah tekad atau
keinginan hati untuk menghilangkan hadats besar dengan cara mandi.[19]
Jumhur ulama selain ulama Hanafi mewajibkan niat mandi seperti juga niat wudhu.[20]
Hal ini berdasarkan sabda Rosulullah SAW :
"Sesunguhnya segala amalan
itu tergantung dengan niat, dan sesungguhnya setiap orang baginya (balasan)
apa-apa yang telah ia niatkan.”[21]
Menurut ulama Hanafi, memulai
dengan niat hanyalah sunnah supaya perbuatannya menjadi ibadah dan mendapat
pahala seperti wudhu.[22]
2)
Mengguyurkan air ke seluruh badan sambil
menggosoknya sebisa mungkin.
Ini adalah syarat yang disepakati
oleh Fuqoha. Oleh karena itu meratakan air ke seluruh tubuh adalah wajib. Ulama
Hanafi berpendapat bahwa membasuh seluruh badan yang memang dapat di basuh
tanpa mengalami kesulitan adalah wajib.[23]
3)
Menyela-nyela jari-jari (tangan dan
kaki), rambut-rambut kepala dan lainnya, kemudian mengulanginya pada bagian
yang sukar terkena air, seperti pusar.[24]
5. Hal-hal yang Sunah dalam Mandi
1)
Membaca bismillah karena hal ini
dianjurkan sebelum melakukan amal kebaikan.
2)
Membasuh kedua tangan, kemaluan,
dan membuang najis jika memang ada pada tubuhnya.
3)
Berwudhu seperti wudhu untuk sholat.
Menurut pendapat ulama Hanafi,
apabila orang yang mandi itu berdiri di tempat genangan air, maka sebaiknya dia
mengakhiri membasuh kedua telapak kaki hingga dia selesai mandi. Sebaliknya,
jika dia berdiri di atas tempat yang tidak ada air tergenang seperti di atas
batu atau dia memakai sandal, maka hendaklah mendahulukan membasuh kedua
telapak kaki.[25]
4)
Berkumur-kumur, beristinsyaq (memasukan air ke dalam hidung
lalu mengeluarkannya), dan membersihkan bagian dalam telinga.[26]
6. Tata Cara Mandi Janabah
Ada beberapa hadits yang
menerangkan cara mandi janabah. Diantaranya adalah hadits Aisyah ra,
“Apabila Nabi SAW mandi karena
junub, beliau memulai dengan mencuci kedua tangannya. Kemudian beliau berwudhu
seperti wudhu untuk sholat. Lalu beliau memasukan jari-jarinaya ke dalam air,
kemudian beliau membasahi rambutnya sampai ke pangkal. Setelah itu beliau
menuangkan air ke atas kepalanya tiga cidukan dengan kedua tangannya, lalu
beliau menuangkan ke seluruh kulit badannya. (HR. Bukhori dan Muslim)
Maimunah ra juga meriwayatkan, “Aku
menyiapkan air untuk Nabi SAW. Beliau membasuh kedua tangan dua atau tiga kali,
menuangkan air dari tangan kanan ke tangan kiri, lalu membasuh sekitar
kemaluannya. Beliau menggosokan tangan pada debu atau dinding lalu membasuhnya.
Selanjutnya, beliau berkumur dan istinsyaq, membasuh wajah dan kedua tangan
serta kepala. Kemudian, membasahi seluruh badannya. Setelah itu, beliau
bergeser, lalu membasuh kedua telapak kakinya. Maka, aku menyodorkan kain kepadanya,
tapi beliau menolaknya dengan memberi isyarat tangan.” (HR. Bukhori dan
Muslim)[27]
Dengan menggabungkan kedua riwayat
di atas dapat disimpulkan bahwa cara mandi janabah yang dianjurkan adalah
sebagai berikut:
1.
Niat untuk melakukan mandi janabat.
2.
Membasuh kedua tangan tiga kali.
4.
Berwudhu seperti wudhu untuk
shalat.[29] Tapi boleh
mengakhirkan basuhan pada kedua kaki hingga selesai mandi, jika menggunakan air
dari bak atau semisalnya.[30]
5.
Membasuh kepala tiga kali hingga
mencapai pangkal rambut. Jika rambutnya dikepang atau di sanggul, maka tidak
perlu menguraikannya. Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ummu
Salamah ra, saat dia bertanya, “Wahai Rosululullah, aku adalah seorang
wanita yang suka mengepang rambut. Apakah aku harus menguraikannya ketika mandi
junub?” Rosulullah SAW menjawab,“Tidak perlu. Engkau cukup menuangkan
air ke kepala tiga kali lalu membasahi seluruh tubuhnya dan bersuci.” (HR.
Muslim, Abu daud, Nasa’i, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
D. Penutup
Hal-hal yang diharamkan
bagi wanita haidh, berdasarkan rinciannya adalah sebagai berikut:
1.
Shalat, seluruh ulama sepakat bahwa wanita yang mengalami haidh
haram melakukan sholat, baik sholat fardhu maupun sunnah.
2.
Puasa, Ulama sepakat (ijma’) bahwa wanita yang haidh tidak boleh
puasa, hanya saja mereka harus mengqodho (mengganti) puasa ramadhan.
3.
Thawaf, perempuan
yang haidh diharamkan untuk
melakukan thawaf di Baitul Haram, baik yang wajib maupun sunnah.
4.
Bersuci, menurut Ulama Syafi’i dan Hambali, apabila perempuan
sedang haidh, maka dia haram melakukan thaharah untuk haidh dan nifasnya.
Karena, haidh dan nifas adalah mewajibkan thaharoh.
5.
Menyentuh atau
memegang mushaf Al-Qur’an, Kedudukan
wanita haidh sama seperti orang yang berjunub, yaitu tidak
diperbolehkan untuk menyentuh mushaf. Akan tetapi para ulama berbeda pendapat
dalam hal itu, seperti yang telah
disebutkan.
6.
Menyetubuhi
istri ketika haidh, Para Ulama
bersepakat bahwa diharamkan menyetubuhi istri yang sedang haidh pada kemaluannya.
Adapun tata cara mandi
janabah, dengan menggabungkan hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah ra dan
Maimunah ra sebagaimana yang telah disebutkan di atas, dapat
disimpulkan bahwa cara mandi janabah yang dianjurkan adalah sebagai berikut:
1.
Niat untuk melakukan mandi janabat.
2.
Membasuh kedua tangan tiga kali.
3.
Membasuh kemaluan dengan tangan
kiri tanpa harus memasukan air ke dalam kemaluan.
4.
Berwudhu seperti wudhu untuk
shalat.
5.
Membasuh kepala tiga kali hingga
mencapai pangkal rambut.
6.
Membasahi seluruh badan dengan
memulai bagian kanan dan dilanjutkan dengan
bagian kiri.
Wallohu ‘Alam Bi Showab…
DAFTAR PUSTAKA
Abu Malik Kamal Bin
Sayyid Salim. Fiqih Sunnah Untuk Wanita. (Jakarta: Al-I’tishom, maret 2012 M).
PROf. DR. Wahbah Az-Zuhaili. Fiqih Islam Wa Adilatuhu. (Kuala Lumpur: Darul Fikri 1434 H/2013 M).
Abu Ubaidah Usamah bin Muhammad Al-Jammal. Shahih Fiqih Wanita. (Surakarta:
Insan Kamil, 1431 H/2001, cet: 1).
DR. Wahbah Az-Az-Zuhaili. Mausu’atul Fiqhil Islami Wal Qodhoya Al-Mu’ashiroh. (Damaskus:
Darul Fikri, 1433 H/2012 M).
Mushtofal
Bagho. Fiqhul Manhaji. (Damaskus:
Darul Qolam, 1429 H/2008 M).
Abu Bakar Jabir Al-Jaza’iri. Minhajul Muslim, Abu Bakar Jabir Al-Jaza’iri, (Solo: Insan Kamil,
1434 H/2012 M, Cet. 5)
Abu Abdirrahman ‘Adil bin Yusuf Al-‘Azazi. Tamamul Minnah. Abu Abdirrahman ‘Adil
bin Yusuf Al-‘Azazi. (Iskandaria: Darul Aqidah, 1430 H/2009 M).
Muhammad fu’ad Abdul
Baqi. Al-Lu’lu Wal Marjan
(kumpulan hadits shahih Bukhori dan Muslim). (Solo: Insan Kamil, Maret 2013,
cet. 10).
DR. Sholih bin Fauzan
bin Abdullah Al-Fauzan. Al-Mulakhosh
Al-Fiqhi. (Kairo: Darul Aqidah, 1424 H/2003 M, Cet. 1).
[2] Haruri adalah sebutan bagi orang yang mengikuti pandangan kelompok
khawarij. Sebagian dari mereka mewajibkan mengqodho sholat bagi wanita yang
haidh.
[3] Fiqih Sunnah Untuk Wanita, Abu Malik Kamal Bin
Sayyid Salim, (Jakarta: Al-I’tishom, maret 2012 M), hal. 79.
[4] Fiqih Islam Wa Adilatuhu, PROf. DR. Wahbah Az-Zuhaili,
(Kuala Lumpur: Darul Fikri, 1434 H/2013 M), hal. 520, jld. 1.
[5] Fiqih Sunnah Untuk Wanita, Abu Malik Kamal Bin Sayyid Salim,
(Jakarta: Al-I’tishom, maret 2012 M), hal. 81.
[6] Haruri adalah sebutan bagi orang yang mengikuti pandangan kelompok khawarij. Sebagian dari
mereka mewajibkan mengqodho sholat bagi wanita yang haidh.
[8] Fiqih Islam Wa Adilatuhu, PROf. DR. Wahbah Az-Zuhaili,
(Kuala Lumpur: Darul Fikri, 1434 H/2013 M), hal. 520, jld. 1.
[9]
Ibid
[10]
Shahih Fiqih
Wanita, Abu Ubaidah Usamah bin Muhammad Al-Jammal, (Surakarta: Insan Kamil, 1431
H/2001, cet: 1), hal. 44.
[12]
HR. Abu Daud
[13] Fiqih Islam
Wa Adilatuhu, PROF.
DR. Wahbah Az-Zuhaili, (Kuala Lumpur: Darul Fikri, 1434 H/2013 M), hal.521-522, jld. 1.
[14]
Mausu’atul
Fiqhil Islami Wal Qodhoya Al-Mu’ashiroh, DR. Wahbah
Az-Az-Zuhaili, (Damaskus: Darul
Fikri, 1433 H/2012 M), hal. 440, jld. 1.
[16]
Minhajul
Muslim, Abu
Bakar Jabir Al-Jaza’iri, (Solo: Insan Kamil, 1434 H/2012 M, Cet. 5), hal. 341.
[17]Fiqih
Sunnah Untuk Wanita, Abu Malik Kamal Bin Sayyid Salim, (Jakarta:
Al-I’tishom, maret 2012 M),
Hal. 56-61.
[18]
Tamamul
Minnah, Abu Abdirrahman ‘Adil bin Yusuf Al-‘Azazi, ,
(Iskandaria: Darul Aqidah, 1430 H/2009 M), hal. 107, jld. 1.
[19]
Minhajul
Muslim, Abu
Bakar Jabir Al-Jaza’iri, (Solo: Insan Kamil, 1434 H/2012 M, Cet. 5), hal. 343.
[20] Mausu’atul Fiqhil Islami Wal Qodhoya Al-Mu’ashiroh, DR. Wahbah Az-Zuhaili, (Damaskus: Darul Fikri, 1433 H/2012 M),
hal. 452, jld. 1.
[21] HR. Bukhori dan Muslim.
[22]
Mausu’atul
Fiqhil Islami Wal Qodhoya Al-Mu’ashiroh, DR. Wahbah Az-Zuhaili, (Damaskus: Darul Fikri, 1433 H/2012 M), hal. 452, jld. 1.
[24] Minhajul Muslim, Abu Bakar Jabir Al-Jaza’iri, (Solo: Insan Kamil,
1434 H/2012 M, Cet. 5), hal. 344.
[25] Mausu’atul Fiqhil Islami Wal Qodhoya Al-Mu’ashiroh, DR. Wahbah Az-Zuhaili, (Damaskus: Darul Fikri, 1433 H/2012 M),
hal. 452, jld. 1.
[26] Minhajul Muslim, Abu Bakar Jabir Al-Jaza’iri, (Solo: Insan Kamil,
1434 H/2012 M, Cet. 5), hal. 344.
[27]Al-Lu’lu Wal
Marjan (kumpulan hadits shahih Bukhori dan Muslim), Muhammad fu’ad Abdul
Baqi, (Solo: Insan Kamil, Maret 2013, cet. 10),
hal. 94-95.
[28]Al-Mulakhosh Al-Fiqhi, DR. Sholih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan
(Kairo: Darul Aqidah, 1424 H/2003 M, Cet. 1), hal. 53-54, jld. 1.
[30]Fiqih Sunnah Untuk Wanita, Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, (Jakarta:
Al-I’tishom Cahaya Umat, Maret 2012, Cet. 6), hal. 63.
0 komentar:
Posting Komentar