Minggu, 26 April 2015

HAL-HAL YANG DILARANG KETIKA HAIDH DAN MANDI JANABAH


HAL-HAL YANG DILARANG KETIKA HAIDH DAN MANDI JANABAH
Oleh: Az-Zahro Husnul Hasanah dan Meliyana

A.    Pendahuluan

Wanita haidh mempunyai aturan tersendiri dalam menjalani kewajibannya sebagai seorang mukallaf. Ada hal-hal yang diperbolehkan untuk dilakukan dan ada juga hal-hal yang dilarang atasnya. Serta dianjurkan atasnya ketika selesai haidh untuk mandi janabah.
Ada sebagian wanita yang belum mengetahui akan hal-hal yang dilarang baginya ketika haidh dan tata cara mandi janabah yang dilakukan setelah masa haidh selesai, bahkan ada yang masih ragu-ragu, hal ini menunjukan kurangnya pengetahuan muslimah tentang ilmu syar’i.
Lalu, perkara apa saja yang dilarang bagi wanita haidh dan bagaimana hukum dari perkara tersebut serta bagaimana tata cara mandi janabah yang sesuai dengan  tuntunan Rosulullah SAW ?

B.     Hal-Hal yang Diharamkan Ketika Haidh

Perincian tentang larangan-larangan dalam masa haidh serta dalilnya adalah sebagai berikut:
1.      Sholat
Wanita yang sedang haidh diharamkan melakukan shalat. Abu Sa’id ra meriwayatkan bahwa Rosulullah SAW bersabda,
أَ لَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَ لَمْ تَصُوْمُ؟ فَذَلِكَ نُقْصَانُ دِيْنَهَا
“Bukanlah ketika haidh wanita tidak mengerjakan sholat dan puasa? Itulah bentuk kekurangan agamanya.” [1]
Seluruh ulama sepakat bahwa wanita yang mengalami haidh haram melakukan sholat, baik sholat fardhu maupun sunnah. Mereka juga sepakat bahwa wanita yang haidh tidak perlu mengqodho (mengganti) sholat fardhu yang ditinggalkannya setelah suci.
Mu’adzah meriwayatkan bahwa seorang wanita bertanya kepada Aisyah ra, “Apakah kita (wanita) mengganti sholat setelah suci?” ‘Aisyah ra berkata, “Apakah engkau seorang wanita haruri?[2] Kami mengalami haidh dimasa Rosulullah SAW, dan beliau tidak pernah menyuruh kami mengganti sholat atau tidak pernah mengerjakannya.”[3] (HR. Bukhori dan Muslim)
Mengqodho sholat adalah perkara yang menyusahkan, karena haidh senantiasa berulang dan masanya pun panjang, tidak seperti puasa. Wanita yang haidh haram mengqodho sholat. Pendapat yang mu’tamad menurut madzhab Syafi’i ialah makruh mengqodho sholat. Jika ia melakukannya, maka sholat itu menjadi sholat sunnah mutlak yang tidak diberi pahala.[4]
2.      Puasa
Ulama sepakat (ijma’) bahwa wanita yang haidh tidak boleh puasa, hanya saja mereka harus mengqodho (mengganti) puasa ramadhan.[5] Haidh dapat menggugurkan kewajiban sholat, tapi tidak untuk puasa. Telah diriwayatkan bahwa, Mu’adzah meriwayatkan bahwa seorang wanita bertanya kepada Aisyah ra, “Apakah kita (wanita) mengganti sholat setelah suci?” ‘Aisyah ra berkata, “Apakah engkau seorang wanita haruri?[6] Kami mengalami haidh dimasa Rosulullah SAW, dan beliau tidak pernah menyuruh kami mengganti sholat atau tidak pernah mengerjakannya.” (HR. Bukhori dan Muslim)[7]
Hadits ini menunjukan bahwa pada zaman Rosulullah SAW, wanita-wanita yang haidh dan nifas tidak berpuasa. Tetapi, mereka tetap wajib mengqodhonya. Oleh karena itu, wanita yang sedang haidh dan nifas hendaklah mengqodho puasa mereka, tetapi tidak perlu mengqodho sholat.[8]
3.      Thawaf
Perempuan yang haidh diharamkan untuk melakukan thawaf di Baitul Haram, baik yang wajib maupun sunnah. Hal ini berdasarkan sabda Rosulullah SAW kepada Aisyah ra,
إِذَا حِضْتَ فَا فْعَلِي مَا يَفْعَلُ الحَاجُّ غَيْر َأَنْ لَا تَطُوْفِي بِالبَيْتِ حَتَّي تَطْهُرِي
“Apabila kamu sedang haidh, lakukanlah apa yang dilakukan oleh orang yang mengerjakan haji. Tetapi kamu tidak boleh thowaf di ka’bah kecuali setelah kamu bersuci.” (Muttafaqun ‘Alaih)[9]
Adapun rukun lainnya seperti sa’i di antara Shafa dan Marwah, wukuf di Arafah, mabith (bermalam) di Muzdalifah dan Mina, melempar jumrah, dan manasik lainnya tidaklah haram untuk dilakukan oleh perempuan yang haidh. Berdasarkan hal tersebut, seandainya ada seorang perempuan yang tidak haidh melakukan thawaf di Baitul Haram, setelah itu ia langsung haidhtau juga di tengah-tengah sa’i, ia mengalami haidh, maka itu tidak apa-apa.[10]
4.      Memegang dan Membawa Mushaf Al-Qur’an
Kedudukan wanita haidh sama seperti orang yang berjunub. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT,
“Tidak ada yang menyentuhnya selain hamba-hamba yang disucikan.” (QS. Al-Waqi’ah: 79)
Juga, berdasarkan sabda Rosulullah SAW,
لاَ تَقْرَأُ الحَائِضُ وَ الجُنُبُ شَيْئًا مِنَ القُرْأَنِ
“Seseorang yang haidh dan orang yang berjunub janganlah membaca apa pun dari Al-Qur’an.”
Ulama Syafi’i membuat pengecualian apabila ada kekhawatiran Al-Qur’an akan tenggelam, terbakar, terkena najis, atau jatuh ke tangan orang kafir. Dalam kasus seperti ini, maka wanita yang sedang haidh wajib membawa Al-Qur’an itu. Demikian juga, para ulama berpendapat bahwa mereka boleh juga membawa Al-Qur’an yang mengandung tafsir, yang diyakini lebih banyak tafsirnya.
Ulama  Hanafiah mengecualikan kasus menyentuh sarung Al-Qur’an yang terpisah dengannya. Makruh juga menyentuh dengan lengan baju, karena ia termasuk pakaian yang di berikan keringanan bagi para pengkaji kitab syari’ah baik hadits, fiqih, atau tafsir untuk membuka helaian kertas dengan tangan karena darurat. Begitu juga makruh menyentuh ayat-ayat itu, karena ia tetap mengandung ayat-ayat Al-Qur’an. Di sunnahkan membuka helaian Al-Qur’an setelah berwudhu.
Mereka membolehkan membuka helaian Al-Qur’an dengan menggunakan pensil atau pena untuk dibaca. Demikian juga mereka membolehkan anak-anak membawa Al-Qur’an dan mengangkatnya dengan tujuan untuk belajar.
Orang yang junub dan haid, tidak makruh melihat Al-Qur’an. Menulis Al-Qur’an dan nama Allah di atas uang, di mihrab masjid, di dinding, dan diatas hamparan adalah makruh. Makruh juga membaca Al-Qur’an di tempat mandi, bilik air, dan di tempat buang sampah. Namun tidak dimakruhkan menulis ayat Al-Qur’an di atas lembaran kertas. Dengan syarat, lembaran itu terpisah dengan penulis, kecuali jika dia menyentuhnya dengan tanganya.
Menurut pendapat yang Mu’tamad di kalangan ulama Maliki, orang haid tidak diharamkan membaca Al-Qur’an dalam hati, kecuali setelah darah berhenti namun dia belum mandi. Pada masa itu, tidak boleh membacanya sama sekali hingga dia mandi. Sebab ketika itu dia tidak ada udzur lagi.[11]
5.      Masuk, Duduk, dan I’tikaf di dalam Masjid Meskipun dengan Wudhu
Jumhur Ulama mengharamkan wanita haidh dan junub masuk ke dalam masjid. Larangan ini berdasarkan sabda Rasullulah SAW,
  لَا أُحِلَّ المَسْجِدَ لِحَا ئِضِ وَلَا جٌنٌبٍ
Aku tidak menghalalkan bagi orang haid atau junub memasuki masjid”[12]         
Ulama’ Syafi’i dan Hambali membolehkan wanita yang sedang haid atau nifas berlalu di dalam masjid, jika ia yakin tidak mengotori masjid. Karena, hukum mengotori masjid adalah haram. Juga, karena pendapat riwayat Aisyah yang menyatakan bahwa Rasululluh SAW berkata kepadanya,
Ambilkan aku sajadah (tikar) dari masjid. Maka aku menjawab, ’aku sekarang sedang haid’ lantas Nabi Muhammad SAW bersabda ‘Sesungguhnya haidmu tidak terletak di tanganmu.’  
Juga berdasarkan riwayat  dari Maimunah ra yang berkata, “ salah seorang dari kami membawa sajadah (tikar) ke masjid lalu menghamparkanya, padahal ia sedang haid.” Di samping itu ulama Hambali juga membolehkan wanita sedang haid diam di dalam masjid dengan berwudhu terlebih dahulu sesudah darah kering. 
6.      Bersetubuh dengan Istri Ketika Haidh
Para Ulama bersepakat bahwa diharamkan menyetubuhi istri yang sedang haidh pada kemaluannya. Adapun istimta’ (bersenang-senang) pada bagian tubuh yang berada diantara pusar dan lutut juga dilarang, menurut jumhur ulama selain ulama Hambali. Larangan ini berdasarkan firman Alloh SWT,
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah, ‘Haidh adalah suatu kotoran.’ Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh, dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci...” (QS. Al-Baqoroh: 222)
Juga, berdasarkan sabda Rosulullah SAW kepada Abdullah bin Sa’ad ketika dia bertanya kepada beliau, “Apakah perkara yang dihalalkan untuk ku ketika istriku sedang haidh?” Rosulullah menjawab, “Yang dibolehkan untukmu adalah apa yang berada di atas pakaian (izaar).”
Selain itu karena ber-istimta’ di bawah pusar dapat mendorong seseorang untuk bersetubuh, maka hukumnya diharamkan. Adapun bersenang-senang di selain tempat itu adalah dibolehkan. Ulama Hanafi membolehkan ber-istimta’ dengan istri yang sedang haidh, atau yang semacamnya pada bagian tubuh yang berada di antara pusar dan lutut selain bersetubuh. Hal ini berdasarkan sabda Rosulullah SAW,
إِصْنَعُوْا كُلَّ شَئٍ إِلَّا النِّكاَحَ
“Lakukanlah semua perkara kecuali Nikah (persetubuhan).”
Mereka juga menghalalkan seorang suami yang nafsunya kuat untuk bersetubuh dengan istrinya yang sedang haidh, dengan syarat dia tidak dapat menahan syahwatnya dengan cara lain. Menurut pendapat ulama Maliki dan Syafi’i, bersetubuh dan istimta’ pada bagian tubuh yang terdapat di antara pusar dan lutut adalah haram.[13]

C.    Mandi Besar

1.      Definisi Mandi Besar (mandi janabah)

a.       Secara bahasa mandi adalah mengalirkan air ke sesuatu secara sempurna.
b.      Secara syar’i adalah mengalirkan air suci ke seluruh badan dengan cara tertentu.
§  Menurut Syafi’iyah al-ghuslu adalah mengalirkan air ke seluruh badan dengan niat.
§  Menurut Malikiyah al-ghuslu adalah mengalirkan air ke seluruh badan dan menggosoknya dengan niat agar diperbolehkan shalat.[14]
c.       Makna janabah adalah “Al-Bu’du” yang berarti jauh, dinamakan janabah dikarenakan jauh atau terhindar untuk melakukan ibadah seperti, sholat. Makna lain yaitu tidak suci.[15]

2.      Dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah

Allah SAW berfirman:
وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا
Jika kamu junub maka bersucilah.” (QS. Al-Maidah: 6)
Allah SWT berfirman dalam ayat lain:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah:"Haidh itu adalah suatu kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintakan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. (QS. Al-Baqoroh: 222)
Rosulullah SAW bersabda:
“Apabila satu khitan melewati (menyentuh) satu khitan lainnya maka telah wajib mandi.” (HR. Muslim)[16]

3.      Hal-hal yang Mewajibkan Mandi

1)      Keluarnya mani yang disertai syahwat baik dalam keadaan tidur maupun terjaga.
Allah SWT berfirman:
“Dan apabila kamu junub, maka bersucilah (mandi)” (QS. Al-Maidah: 6)
Bila mani keluar, maka harus wajib mandi, tanpa memandang cara keluarnya, apakah melalui hubungan badan (jimak), mimpi, maupun manstrubasi (istimna’). Ini merupakan pendapat seluruh ulama fiqih. Mereka berdalil dengan hadits Rosulullah SAW,
“Sesungguhnya air (mandi) itu disebabkan oleh keluarnya air (mani).” (HR. Muslim dan Abu Daud)
2)      Berhubungan badan walaupun tanpa disertai keluarnya mani.
Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairoh bahwa Rosulullah SAW bersabda,
“Apabila seorang laki-laki telah duduk dalam posisi di antara empat anggota tubuh wanita, lalu melakukan hubungan badan dengannya, maka wajiblah mandi.” (HR. Bukhori, Muslim, Abu Daud, Nasa’i, dan Ibnu Majah)
3)      Setelah berakhirnya masa haidh dan nifas
Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah RA, bahwa Rosulullah SAW berkata kepada fathimah binti Abu Hubaisy,
“Jika masa haidh tiba, maka tinggalkan sholat, dan jika masa haidh berakhir, maka mandilah dan kerjakan sholat.” (HR. Bukhori dan Muslim)
Para ulama sepakat (ijma’) bahwa hukum nifas sama dengan hukum haidh.[17]
4)      Orang yang masuk Islam
Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Qais bin Ashim bahwa ketika dia masuk Islam, Rosulullah SAW menyuruhnya mandi dengan air yang dicampur dengan sidr (daun pewangi).
5)      Meninggal dunia
Apabila seorang muslim meninggal dunia, ia wajib dimandikan berdasakan perintah Rosul-Nya. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Ummu ‘Athiyah ra, “Rosulullah SAW masuk kepada kami ketika putrinya wafat. Beliau lalu berkata, ‘Mandikanlah ia tiga atau lima kali, atau lebih jika menurut kalian harus demikian…’ (HR. Bukhori)[18]

4.      Hal-hal yang Wajib dalam Mandi

1)      Niat
Niat adalah tekad atau keinginan hati untuk menghilangkan hadats besar dengan cara mandi.[19] Jumhur ulama selain ulama Hanafi mewajibkan niat mandi seperti juga niat wudhu.[20] Hal ini berdasarkan sabda Rosulullah SAW :
"Sesunguhnya segala amalan itu tergantung dengan niat, dan sesungguhnya setiap orang baginya (balasan) apa-apa yang telah ia niatkan.[21]
Menurut ulama Hanafi, memulai dengan niat hanyalah sunnah supaya perbuatannya menjadi ibadah dan mendapat pahala seperti wudhu.[22]
2)      Mengguyurkan air ke seluruh badan sambil menggosoknya sebisa mungkin.
Ini adalah syarat yang disepakati oleh Fuqoha. Oleh karena itu meratakan air ke seluruh tubuh adalah wajib. Ulama Hanafi berpendapat bahwa membasuh seluruh badan yang memang dapat di basuh tanpa mengalami kesulitan adalah wajib.[23]
3)      Menyela-nyela jari-jari (tangan dan kaki), rambut-rambut kepala dan lainnya, kemudian mengulanginya pada bagian yang sukar terkena air, seperti pusar.[24]

5.      Hal-hal yang Sunah dalam Mandi

1)      Membaca bismillah karena hal ini dianjurkan sebelum melakukan amal kebaikan.
2)      Membasuh kedua tangan, kemaluan, dan membuang najis jika memang ada pada tubuhnya.
3)      Berwudhu seperti wudhu untuk sholat.
Menurut pendapat ulama Hanafi, apabila orang yang mandi itu berdiri di tempat genangan air, maka sebaiknya dia mengakhiri membasuh kedua telapak kaki hingga dia selesai mandi. Sebaliknya, jika dia berdiri di atas tempat yang tidak ada air tergenang seperti di atas batu atau dia memakai sandal, maka hendaklah mendahulukan membasuh kedua telapak kaki.[25]
4)      Berkumur-kumur, beristinsyaq (memasukan air ke dalam hidung lalu mengeluarkannya), dan membersihkan bagian dalam telinga.[26]

6.      Tata Cara Mandi Janabah

Ada beberapa hadits yang menerangkan cara mandi janabah. Diantaranya adalah hadits Aisyah ra,
“Apabila Nabi SAW mandi karena junub, beliau memulai dengan mencuci kedua tangannya. Kemudian beliau berwudhu seperti wudhu untuk sholat. Lalu beliau memasukan jari-jarinaya ke dalam air, kemudian beliau membasahi rambutnya sampai ke pangkal. Setelah itu beliau menuangkan air ke atas kepalanya tiga cidukan dengan kedua tangannya, lalu beliau menuangkan ke seluruh kulit badannya. (HR. Bukhori dan Muslim)
Maimunah ra juga meriwayatkan, “Aku menyiapkan air untuk Nabi SAW. Beliau membasuh kedua tangan dua atau tiga kali, menuangkan air dari tangan kanan ke tangan kiri, lalu membasuh sekitar kemaluannya. Beliau menggosokan tangan pada debu atau dinding lalu membasuhnya. Selanjutnya, beliau berkumur dan istinsyaq, membasuh wajah dan kedua tangan serta kepala. Kemudian, membasahi seluruh badannya. Setelah itu, beliau bergeser, lalu membasuh kedua telapak kakinya. Maka, aku menyodorkan kain kepadanya, tapi beliau menolaknya dengan memberi isyarat tangan.” (HR. Bukhori dan Muslim)[27]
Dengan menggabungkan kedua riwayat di atas dapat disimpulkan bahwa cara mandi janabah yang dianjurkan adalah sebagai berikut:
1.      Niat untuk melakukan mandi janabat.
2.      Membasuh kedua tangan tiga kali.
3.      Membasuh kemaluan dengan tangan kiri tanpa harus memasukan tangan ke dalam bejana.[28]
4.      Berwudhu seperti wudhu untuk shalat.[29] Tapi boleh mengakhirkan basuhan pada kedua kaki hingga selesai mandi, jika menggunakan air dari bak atau semisalnya.[30]
5.      Membasuh kepala tiga kali hingga mencapai pangkal rambut. Jika rambutnya dikepang atau di sanggul, maka tidak perlu menguraikannya. Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah ra, saat dia bertanya, “Wahai Rosululullah, aku adalah seorang wanita yang suka mengepang rambut. Apakah aku harus menguraikannya ketika mandi junub?” Rosulullah SAW menjawab,“Tidak perlu. Engkau cukup menuangkan air ke kepala tiga kali lalu membasahi seluruh tubuhnya dan bersuci.” (HR. Muslim, Abu daud, Nasa’i, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
6.      Membasahi seluruh badan dengan memulai bagian kanan dan dilanjutkan dengan  bagian kiri.[31]

D.    Penutup

Hal-hal yang diharamkan bagi wanita haidh, berdasarkan rinciannya adalah sebagai berikut:
1.      Shalat, seluruh ulama sepakat bahwa wanita yang mengalami haidh haram melakukan sholat, baik sholat fardhu maupun sunnah.
2.      Puasa, Ulama sepakat (ijma’) bahwa wanita yang haidh tidak boleh puasa, hanya saja mereka harus mengqodho (mengganti) puasa ramadhan.
3.      Thawaf, perempuan yang haidh diharamkan untuk melakukan thawaf di Baitul Haram, baik yang wajib maupun sunnah.
4.      Bersuci, menurut Ulama Syafi’i dan Hambali, apabila perempuan sedang haidh, maka dia haram melakukan thaharah untuk haidh dan nifasnya. Karena, haidh dan nifas adalah mewajibkan thaharoh.
5.      Menyentuh atau memegang mushaf Al-Qur’an, Kedudukan wanita haidh sama seperti orang yang berjunub, yaitu tidak diperbolehkan untuk menyentuh mushaf. Akan tetapi para ulama berbeda pendapat dalam hal itu, seperti yang telah disebutkan.
6.      Menyetubuhi istri ketika haidh, Para Ulama bersepakat bahwa diharamkan menyetubuhi istri yang sedang haidh pada kemaluannya.
Adapun tata cara mandi janabah, dengan menggabungkan hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah ra dan Maimunah ra sebagaimana yang telah disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa cara mandi janabah yang dianjurkan adalah sebagai berikut:
1.      Niat untuk melakukan mandi janabat.
2.      Membasuh kedua tangan tiga kali.
3.      Membasuh kemaluan dengan tangan kiri tanpa harus memasukan air ke dalam kemaluan.
4.      Berwudhu seperti wudhu untuk shalat.
5.      Membasuh kepala tiga kali hingga mencapai pangkal rambut.
6.      Membasahi seluruh badan dengan memulai bagian kanan dan dilanjutkan dengan  bagian kiri.

Wallohu ‘Alam Bi Showab…

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Abu Malik Kamal Bin Sayyid Salim. Fiqih Sunnah Untuk Wanita. (Jakarta: Al-I’tishom, maret 2012 M).
PROf. DR. Wahbah Az-Zuhaili. Fiqih Islam Wa Adilatuhu. (Kuala Lumpur: Darul Fikri 1434 H/2013 M).
 Abu Ubaidah Usamah bin Muhammad Al-Jammal. Shahih Fiqih Wanita. (Surakarta: Insan Kamil, 1431 H/2001, cet: 1).
DR. Wahbah Az-Az-Zuhaili. Mausu’atul Fiqhil Islami Wal Qodhoya Al-Mu’ashiroh. (Damaskus: Darul Fikri, 1433 H/2012 M).
Mushtofal Bagho. Fiqhul Manhaji. (Damaskus: Darul Qolam, 1429 H/2008 M).
Abu Bakar Jabir Al-Jaza’iri. Minhajul Muslim, Abu Bakar Jabir Al-Jaza’iri, (Solo: Insan Kamil, 1434 H/2012 M, Cet. 5)
Abu Abdirrahman ‘Adil bin Yusuf Al-‘Azazi. Tamamul Minnah. Abu Abdirrahman ‘Adil bin Yusuf Al-‘Azazi. (Iskandaria: Darul Aqidah, 1430 H/2009 M).
Muhammad fu’ad Abdul Baqi.  Al-Lu’lu Wal Marjan (kumpulan hadits shahih Bukhori dan Muslim). (Solo: Insan Kamil, Maret 2013, cet. 10).
 DR. Sholih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan.  Al-Mulakhosh Al-Fiqhi. (Kairo: Darul Aqidah, 1424 H/2003 M, Cet. 1).












     





[1] HR. Bukhori dan Muslim
[2] Haruri adalah sebutan bagi orang yang mengikuti pandangan kelompok khawarij. Sebagian dari mereka mewajibkan mengqodho sholat bagi wanita yang haidh.
[3] Fiqih Sunnah Untuk Wanita, Abu Malik Kamal Bin Sayyid Salim, (Jakarta: Al-I’tishom, maret 2012 M), hal. 79.
[4] Fiqih Islam Wa Adilatuhu, PROf. DR. Wahbah Az-Zuhaili, (Kuala Lumpur: Darul Fikri, 1434 H/2013 M), hal. 520, jld. 1.
[5] Fiqih Sunnah Untuk Wanita, Abu Malik Kamal Bin Sayyid Salim, (Jakarta: Al-I’tishom, maret 2012 M), hal. 81.
[6] Haruri adalah sebutan bagi orang yang mengikuti pandangan kelompok khawarij. Sebagian dari mereka mewajibkan mengqodho sholat bagi wanita yang haidh.
[7] Al-Mughni, Ibnu Qudamah, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007 M), hal. 502, jld. 1.
[8] Fiqih Islam Wa Adilatuhu, PROf. DR. Wahbah Az-Zuhaili, (Kuala Lumpur: Darul Fikri, 1434 H/2013 M), hal. 520, jld. 1.
[9] Ibid
[10] Shahih Fiqih Wanita, Abu Ubaidah Usamah bin Muhammad Al-Jammal, (Surakarta: Insan Kamil, 1431 H/2001, cet: 1), hal. 44.
[11] Ibid, hal. 520-521
[12] HR. Abu Daud
[13] Fiqih Islam Wa Adilatuhu, PROF. DR. Wahbah Az-Zuhaili, (Kuala Lumpur: Darul Fikri, 1434 H/2013 M), hal.521-522, jld. 1.
[14] Mausu’atul Fiqhil Islami Wal Qodhoya Al-Mu’ashiroh,  DR. Wahbah Az-Az-Zuhaili, (Damaskus: Darul Fikri, 1433 H/2012 M), hal. 440, jld. 1.
[15] Fiqhul Manhaji, Mushtofal Bagho, (Damaskus: Darul Qolam, 1429 H/2008 M), hal. 73, jld. 1.
[16] Minhajul Muslim, Abu Bakar Jabir Al-Jaza’iri, (Solo: Insan Kamil, 1434 H/2012 M, Cet. 5), hal. 341.
[17]Fiqih Sunnah Untuk Wanita, Abu Malik Kamal Bin Sayyid Salim, (Jakarta: Al-I’tishom, maret 2012 M), Hal. 56-61.
[18] Tamamul Minnah,  Abu Abdirrahman ‘Adil bin Yusuf Al-‘Azazi, , (Iskandaria: Darul Aqidah, 1430 H/2009 M), hal. 107, jld. 1.
[19] Minhajul Muslim, Abu Bakar Jabir Al-Jaza’iri, (Solo: Insan Kamil, 1434 H/2012 M, Cet. 5), hal. 343.
[20] Mausu’atul Fiqhil Islami Wal Qodhoya Al-Mu’ashiroh, DR. Wahbah Az-Zuhaili, (Damaskus: Darul Fikri, 1433 H/2012 M), hal. 452, jld. 1.
[21] HR. Bukhori dan Muslim.
[22] Mausu’atul Fiqhil Islami Wal Qodhoya Al-Mu’ashiroh, DR. Wahbah Az-Zuhaili, (Damaskus: Darul Fikri, 1433 H/2012 M), hal. 452, jld. 1.
[23] Ibid, hal. 449.
[24] Minhajul Muslim, Abu Bakar Jabir Al-Jaza’iri, (Solo: Insan Kamil, 1434 H/2012 M, Cet. 5), hal. 344.
[25] Mausu’atul Fiqhil Islami Wal Qodhoya Al-Mu’ashiroh, DR. Wahbah Az-Zuhaili, (Damaskus: Darul Fikri, 1433 H/2012 M), hal. 452, jld. 1.
[26] Minhajul Muslim, Abu Bakar Jabir Al-Jaza’iri, (Solo: Insan Kamil, 1434 H/2012 M, Cet. 5), hal. 344.
[27]Al-Lu’lu Wal Marjan (kumpulan hadits shahih Bukhori dan Muslim), Muhammad fu’ad Abdul Baqi, (Solo: Insan Kamil, Maret 2013, cet. 10), hal. 94-95.
[28]Al-Mulakhosh Al-Fiqhi, DR. Sholih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan (Kairo: Darul Aqidah, 1424 H/2003 M, Cet. 1), hal. 53-54, jld. 1.
[29]Ibid, hal. 54.
[30]Fiqih Sunnah Untuk Wanita, Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, (Jakarta: Al-I’tishom Cahaya Umat, Maret 2012, Cet. 6), hal. 63.
[31]Ibid, hal. 63-64.

0 komentar:

Posting Komentar

 
;