Minggu, 26 April 2015

Hukum Air Kencing Anak yang Masih Menyusu


Hukum Air Kencing Anak yang Masih Menyusu

Oleh:

Hanina asy-Syahadah dan Masyithah adh-Dhari’ah

Pendahuluan

Masalah najis bukanlah perkara sepele, melainkan masalah yang sangat urgen (penting), bahkan berkaitan dengan ibadah yang paling besar, yaitu shalat. Oleh karena itu ulama biasa membahas masalah najis dan kesucian sebelum mereka membahas shalat dan ibadah-ibadah lainnya. Air kencing bayi dalam keluarga muslim dari segi status kenajisan dan cara mensucikannya adalah problem yang umum terjadi dan akan senantiasa berulang selama pernikahan dan kelahiran terus terjadi.
Namun amatlah disayangkan, kaum muslimah yang notabenenya berperan sebagai ibu terkadang tidak memahami masalah ini, mereka kurang berhati-hati dengan air kencing anak-anak mereka. Barangkali karena mereka tidak mengerti tentang hukum air kencing anak walaupun si anak masih bayi atau sudah tahu tetapi malas untuk mengamalkan ilmunya. Karena itu, kita para ibu atau calon ibu perlu sekali mengetahui masalah ini.

Pengertian Air Kencing dan Anak Kecil

Air kencing ialah cairan yang disaring di dalam ginjal, kemudian dibawa melalui saluran kemih menuju kandung kemih yang nantinya akan dikeluarkan dari dalam tubuh.[1]
Anak dalam bahasa arab ada dua istilah bahkan lebih, diantaranya ialah shabiy dan ghulam. Shabiy kebanyakan dipakai untuk menyebut anak yang baru lahir sampai masa penyapihan,[2] sedangkan ghulam untuk mengungkapkan anak setelah kelahirannya beberapa waktu hingga dia remaja.[3] Al-‘Allamah al-‘Aina dan sebagian ahli bahasa mengatakan selama anak masih dalam perut ibunya maka disebut janin, jika dia telah lahir hingga masa penyapihan disebut shabiy dan dari masa penyapihan hingga umur 7 tahun disebut ghulam.[4]
Hukum Air Kencing
عَنْ أَنَسِ ابْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: جَاءَ أَعْرَابِيٌّ فَبَالَ فِيْ طَائِفَةِ الْمَسْجِدِ فَزَجَرَهُ النَّاسُ, فَنَهَاهُمُ النَّبِيُّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَمَ, فَلَّمَا قَضَى بَوْلَهُ, أَمَرَ النَّبِيُّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَمَ بِذُنُوْبٍ مِنْ مَاءٍ فَأُهْرِيْقَ عَلَيْهِ
Anas bin Malik radhiyallahu anhu mengatakan, ada seorang arab badui datang dan kencing disalah satu bagian masjid. Para shahabat menghardiknya, akan tetapi Nabi Saw., melarang mereka. Tatkala orang itu selesai kencing, Nabi Saw., meminta seember air kemudian disiramkan pada (tempat yang terkena kencing tersebut). (HR. al-Bukhari)[5]
Hadits Anas di atas menunjukkan keumuman setiap air kencing manusia adalah najis dan harus dibersihkan sampai hilang warna, rasa dan bau najisnya, sebagaimana yang telah disepakati ulama, namun terdapat hadits-hadits yang diriwayatkan dengan lebih khusus untuk air kencing anak kecil yang masih menyusu dan memunculkan perbedaan pendapat dikalangan ulama.
عَنْ أُمِّ قَيْسٍ بِنْتِ مِحْصَنٍ أَنَّهَا أَتَتْ بِابْنٍ لَهَا صَغِيرٍ لَمْ يَأْكُلْ الطَّعَامَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَجْلَسَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَجْرِهِ فَبَالَ عَلَى ثَوْبِهِ فَدَعَا بِمَاءٍ فَنَضَحَهُ وَلَمْ يَغْسِلْهُ
Ummu Qais binti Mihshan menuturkan bahwa dirinya mendatangi Rasulullah Saw., dengan membawa anak laki-lakinya yang masih kecil dan belum makan sesuatu (selain ASI). Nabi Saw., mendudukkan anak itu di atas pangkuannya, bayi itu lantas ngompol di atas pakaian Nabi Saw., Beliau meminta air lalu memercikkan air tersesbut pada pakaiannya dan tidak membasuhnya.”(HR. al-Bukhari)  [6]
عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : يُغْسَلُ مِنْ بَوْلِ الْجَارِيَةِ ، وَيُنْضَحُ مِنْ بَوْلِ الْغُلاَمِ مَا لَمْ يُطْعَمْ
‘Ali radhiyallu ‘anhu berkata, “Kencing bayi perempuan (cara mensucikannya) disiram atau dicuci, dan kencing bayi laki-laki diciprati air selama belum makan.”(HR. Abu Dawud) [7]
عَنْ لُبَابَةَ بنتِ الحارِث قالتْ كان الحسينُ بنُ علىّ - رضى الله عنه - في حِجْرِ رسولِ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- فَبَالَ عَلَيْهِ فَقَلَتْ البَسْ ثوْبًا وأَعْطِنِى إِزَارَكَ حَتَّى أَغْسِلَهُ قال: إِنَمَا يُغْسَلُ مِنْ بَوْلِ الأُنْثَى وَيُنْضَحُ مِنْ بَوْلِ الذَّكَرِ
Lubabah binti al-Harits berkata, bahwa Husain bin Ali berada di pangkuan Rasulullah Saw., kemudian dia mengencingi Rasulullah Saw., maka Lubabah berkata: “Pakailah pakaianmu yang lain, dan berikan kepadaku pakaianmu tersebut agar aku mencucinya”, maka Rasulullah berkata: “Pakaian itu dicuci jika terkena kencing bayi perempuan, adapun bayi laki-laki cukup dipercikan air”(HR. Abu Dawud)  [8]
أبو السمح قال: قال النبي صلى الله عليه و سلم يُغْسَلُ مِنْ بَوْلِ الجَارِيَةِ وَيُرَشُّ مِنْ بَوْلِ الغُلَامِ
Abu Samah berkata, bahwasanya Rasulullah Saw., bersabda, “Kencing bayi perempuan (cara mensucikannya) disiram atau dicuci, dan kencing bayi laki-laki diciprati air selama belum makan.”(HR. An-Nasa’i)  [9]
Ulama sepakat akan hukum air kencing  yaitu najis[10], demikian juga telah disepakati air kencing bayi yang belum makan selain ASI, tidak ada yang memperselisihkan akan kenajisannya kecuali Dawud adh-Dhahiri. Al-Khithaby mengatakan, dibolehkannya “memerciki” di sini bukan berarti air kencing anak kecil itu suci, akan tetapi untuk meringankan dalam menghilangkannya, ini adalah pendapat yang benar. Adapun riwayat Abu al-Hasan bin Bathal, kemudian al-Qadhi ‘Iyadh tentang Imam asy-Syafi’i dan orang-orang selain beliau bahwa mereka berpendapat air kencing adalah suci dan cukup diperciki air adalah riwayat yang bathil.[11]
Najis
Secara bahasa najis ialah lawan dari suci[12]atau sesuatu yang kotor[13]. Secara istilah najis ialah kotoran dan setiap muslim harus bersuci darinya serta mencuci dari apa yang mengenainya,[14]sebagaimana firman Allah Ta’ala:
وَ ثِيَابَكَ فَطَهِّرْ
“dan bersihkanlan pakaianmu”(QS. Al-Muddatsir:4)
Status najis
Najis terbagi menjadi berbagai jenis, pembagiannyapun berbeda-beda dikalangan ulama. Mereka mengkategorikan air kencing anak sebagai najis hakiki[15], mukhaffafah[16], mai’ah[17] dan ghairu mar’iah.[18] Selain itu Madzhab Maliki mengkategorikan air kencing anak yang masih menyusu termasuk najis yang dimaafkan bagi wanita yang menyusuinya ketika mengenai pakaian ataupun badannya, dengan syarat wanita yang menyusui anak itu harus berusaha terlebih dahulu untuk tidak terkena air kencing dan tidak meremehkannya, tetapi mensucikan dari air kencing itu lebih dianjurkan, bahkan disunnahkan bagi wanita tersebut memiliki pakaian khusus untuk shalat.[19]
Kadar makanan yang menajiskan
Tersurat dalam hadits selama anak laki-laki masih menyusu dan tidak makan selain ASI maka cara mensucikannya dengan diperciki air ketika mengenai pakaian. Ketika anak sudah memakan makanan lain maka cara mensucikan dari najisnya adalah dengan dicuci. Persoalannya adalah kadar makanan yang bagaimanakah yang menjadi ketentuannya?
Ibnu Hajar menjelaskan makna dari tha’am  atau makanan adalah selain air susu yang disusukan oleh seorang ibu, kurma yang ditahnikkan, serta madu untuk pengobatan, atau selainnya selama makanan itu tidak menjadi makanan pokok sehingga membuat si anak tidak membutuhkan penyusuan lagi.[20] Menurut madzhab Syafi’iah susu dan semua jenisnya, seperti: Jabn, Qasydah dan Zabd baik yang berasal dari manusia ataupun hewan.[21]
Al-Utsaimin mengatakan bahwa yang menjadi dhabith atau kaidah dalam masalah ini (mensucikan air kencing dengan percikan air) bukanlah tidak pernah mengkonsumsi makanan selain ASI sama sekali, sebab kemungkinan anak pernah menelan suatu makanan di hari-hari pertama kelahirannya. Maksudnya adalah selama makanan tersebut tidak menjadi pengganti ASI sebagai makanan pokok si anak atau mendominasi makanan yang dimakan anak.[22]
Selain syarat minum ASI dan tidak menjadikan makanan lain sebagai makanan pokok, usia 2 tahun juga menjadi batas maksimal dalam berlakunya hukum memercikkan air. Jika usia anak laki-laki tersebut lewat dari dua tahun maka najisnya tidak lagi najis mukhaffafah tetapi najis mutawasithah.[23] Meskipun dia murni hanya minum ASI sebagaimana menjadi wajib mencuci jika dia memakan sesuatu selain asi.[24]
Pengaruh najis dalam ibadah
Perihal najis kita perlu berhati-hati dan perhatian terhadap amalan ibadah kita, tentunya pada amalan yang disyaratkan thaharah didalamnya. Seperti, ibadah shalat dan thawaf. Keberadaan najis akan membawa madharat bagi mukallaf yang sedang mengamalkan sebuah amal ibadah.
1.      Shalat dan thawaf tidak sah
عن ابن عمر عن النبيّ قال: لاَ تُقْبَلُ صَلاَةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ
Dari Ibnu Umar, Nabi bersabda: “Shalat tidak diterima tanpa bersuci.” (HR.Tirmidzi)[25]
2.      Menjadi penyebab adzab
عَنْ أَنس قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : تَنَزَّهُوا مِنَ الْبَوْلِ ؛ فَإِنَّ عَامَّةَ عَذَابِ الْقَبْرِ مِنَه
Dari Anas, bahwasanya ia berkata, bahwasanya Rasulullah shallallahu ’alahi wassalam bersabda : “Bersihkan dari air kencing, karena sesungguhnya kebanyakan adzab kubur itu dari air kencing (yang tidak dibersihkan)“ (HR. Daruquthni)[26]
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ: أَكْثَرُ عَذَابِ الْقَبْرِ مِنَ الْبَوْلِ
Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda: “Kebanyakan siksa kubur disebabkan oleh air kencing.” (HR. Ibnu Majah)[27]
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : مَرَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَبْرَيْنِ فَقَالَ إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لَا يَسْتَتِرُ مِنْ الْبَوْلِ وَأَمَّا الْآخَرُ فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ ثُمَّ أَخَذَ جَرِيدَةً رَطْبَةً فَشَقَّهَا نِصْفَيْنِ فَغَرَزَ فِي كُلِّ قَبْرٍ وَاحِدَةً قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ لِمَ فَعَلْتَ هَذَا قَالَ لَعَلَّهُ يُخَفِّفُ عَنْهُمَا مَا لَمْ يَيْبَسَا
Dari Ibnu 'Abbas berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam lewat di dekat dua kuburan, lalu beliau bersabda: "Sesungguhnya keduanya sedang disiksa, dan keduanya disiksa bukan karena dosa besar. Yang satu disiksa karena tidak bersuci setelah kencing, sementara yang satunya suka mengadu domba." Kemudian beliau mengambil sebatang dahan kurma yang masih basah, beliau lalu membelahnya menjadi dua bagian kemudian menancapkannya pada masing-masing kuburan tersebut. Para sahabat pun bertanya, "Wahai Rasulullah, kenapa engkau melakukan ini?" beliau menjawab: "Semoga siksa keduanya diringankan selama batang pohon ini basah." (HR. Bukhari)[28]
Cara mensucikan
Ulama sepakat mengenai cara bersuci dari air kencing anak secara umum adalah sebagimana bersuci dari air kencing orang dewasa, tetapi ada pengecualian untuk anak kecil laki-laki yang masih meminum ASI saja.
Perbedaan pendapat
Berangkat dari hadits-hadits di atas ulama berbeda pendapat mengenai cara mensucikan antara anak laki-laki dan perempuan, yaitu:
1)      Membedakan antara anak laki-laki yaitu dengan cukup diperciki air dan anak perempuan harus dicuci.
Ibnu Syihab berkata, “Telah dijelaskan dalam as-Sunnah bahwa cara mensucikan air kencing anak laki-laki dengan diperciki air, adapun kencing anak perempuan dengan dicuci.” Bahkan Imam at-Tirmidzi menyatakan, pendapat ini tidak hanya dikemukakan oleh seorang dari ahlul ilmi dari kalangan sahabat, tabi’in dan orang-orang setelah mereka saja. Diantara mereka adalah Ali, Atha’, al-Hasan, az-Zuhri, Ahmad, Ishaq dan ahlu Zhahir.[29]
Al-Mubarakfuri berkata pendapat yang paling benar adalah pendapat yang membedakan antara anak laki-laki dan anak perempun, untuk anak laki-laki cukup diperciki air, adapun anak perempuan wajib dicuci.[30]
2)      Tidak dibedakan antara anak laki-laki dan anak perempuan, cukup diperciki air.
Pendapat ini adalah pendapat madzhab al-Auza’I, terdapat juga riwayat dari Malik dan asy-Syafi’I, namun mereka tidak memiliki dalil dan hadits-hadits masalah ini bertentangan dengan pendapat mereka.[31]
3)      Anak laki-laki dan perempuan kedua-duanya harus dicuci.
Ini adalah pendapat Hanafiah dan Malikiah. Mereka menyamakan antara air kencing anak laki-laki dengan anak perempuan.[32] Ibnu Daqiq al-‘Ied mengatakan, “Ikutilah Hanafiah dan Malikiah dalam qiyas ini.” Berikut adalah dalil mereka:
Pertama, tidak ada perbedaan antara air kencing anak laki-laki dan anak perempuan dalam hukum yaitu najis, maka cara mensucikannyapun tidak dibedakan, wajib dicuci.
Kedua, maksud رشّ dan نضح dalam hadits adalah غسل yaitu mencuci, bukan memercikkan air. Sebab, terkadang kedua lafadz tadi memang dipakai untuk ungkapan mencuci, sebagaimana hadits Ali bin Abi Thalib, Rasulullah bersabda:
  إذَا وَجَدَ أحَدُكمُ ذَلِكَ فَلْيَنْضَحْ فَرْجَهُ وَلْيَتوَضَّأْ وُضُوءَهُ لِلصَّلاَةِ
“Jika salah seorang dari kalian mendapatinya (Madzi), maka hendaklah dia mencuci kemaluannya lalu berwudhu untuk shalat.” [33] Atau jawaban Rasulullah kepada asma ketika bertanya bagaimana mensucikan pakaian yang terkena darah haidh:
حُتِّيِه، ثُمَّ اقْرُصِيِه بِالْمَاءِ، ثُمَّ رُشِّيه، وَصَلِّي فِيهِ
“Kuceklah lalu siramanlah air, kemudian cuci dan gunakanlah untuk shalat.”[34] Oleh karena itu, al-‘Allamah al-‘Aina dan ulama Hanafiah berpendapat  mencuci adalah makna yang diinginkan pada hadits-hadits masalah kencing anak.
Al-Mubarakfuri meluruskan lewat kitabnya, terkadang kata رشّ dan نضح bermakna غسل atau mencuci, namun ini terjadi jika tidak ada penghalang seperti pada dua hadits di atas. Sedangkan dalam hadits yang kita kaji ini ada penghalangnya, bahkan haditsnya  menunjukkan penafian mencuci. Perhatikan dengan baik pada hadits Ummu Qais terdapat lafadz فنضحه ولم يغسله atau pada hadits ‘Aisyah فدعا بماء فأتبعه إياه ولم يغسله jelas ini menunjukkan bahwa maksud dari نضح bukanlah غسل, memercikan disini bukan mencuci. Sebab, keduanya disebut bersama dan terpisah.
Pada hadits Lubabah, ketika beliau meminta Rasulullah mengganti pakaiannya dan memberikan pakaian beliau yang terkena kencing untuk dicuci justru Rasulullah memberikan jawaban bahwa kencing anak perempuanlah yang dicuci, adapun anak laki-laki dengan diperciki air. Demikian juga dengan hadits Ali, jikalau yang dimaksud Rasulullah adalah mencuci tentu beliau mengatakan kata yang sama.
Ketiga, makna lain (نضح dan رشّ) adalah mencuci tanpa mengucek sedangkan غسل  adalah mencuci disertai kucekan atau gosokan. Perkataan ini jelas tidak ada dalilnya, karena bertentangan dengan zhahir hadits.
Keempat, mereka juga mengatakan maknanya adalah mengalirkan air dan menyiramkannya dan ini mereka sebut termasuk bagian dari mencuci, sehingga dihukumi mencuci.
Makna menuangkan air itu benar dan sesuai hadits, tapi tidak mutlak menyiramkan air bisa disebut mencuci. Ketika kotoran yang ada pada pakaian itu tidak hilang maka tetap najis. Hadits Ummu Qais dan hadits-hadits lain menunjukkan kemutlakan menyiram tidak terikat hingga hilang dan tidak ada ketentuan kadar air yang dituangkan. Terdapat sebuaah riwayat lemah dari ibnu Abbas bahwa kadar airnya sesuai air kencing.
Kelima, kencing bayi laki-laki adalah najis, status ini menyebabkan diutamakannya memercikkan air daripada mencuci. Padahal, pakaian atau badan yang terkena najis apapun tidak akan suci hingga dicuci.
Kenajisan air kencing anak tidak mewajibkan untuk mengutamakan memercikan air dan menyiramnya daripada mencuci, dan tidak bisa dikatakan suatu najis akan hilang hanya dengan mencuci, sebab bukankah mensucikan pakaian dari mani kering cukup dengan mengeriknya? Padahal keduanya sama-sama najis, baik kering maupun basah.[35]
Pendapat rajih
Imam an-Nawawi dalam mensyarah hadits berkenaan dengan ini mengatakan bahwa pendapat kedua dan ketiga adalah pendapat yang lemah.[36]
Ibnul Qayyim juga menyatakan bahwa pendapat yang membedakan antara anak laki-laki dan perempuan adalah pendapat yang sesuai dengan Sunnah, termasuk mahasin syari’ah dan menunjukkan kesempurnaan hikmah serta maslahat syari’at Islam.[37]
Adapun mengenai khuntsa al-Baghawi mengatakan, air kencing khuntsa sebagaimana air kencing wanita baik keluar dari kemaluan laki-laki maupun kemaluan perempuannya.[38]
Perbedaan memercikan air dan mencuci
Al-Baghawi mensyaratkan, untuk memerciki air harus merata semua tempat yang terkena air kencing, membasahinya tanpa harus mengalir. Untuk mencuci disyaratkan membasahinya dan ada air yang mengalir. Ungkapan yang sama juga dikatakan oleh Syaikh Abu Hamid dan jumhur, kemudian disyarah oleh Imam Haramain, bahwa memerciki air adalah membasahi, menuagkan tanpa ada air yang mengalir. Sedangkan mencuci adalah membasahi dengan air dan ada sebagian air yang mengalir dan menetes, meskipun tidak harus diperas.[39]
Hikmah dibalik syari’at
Sebagian ulama menganggap masalah ini termasuk permasalahan ta’abbudiyah yang hikmahnya tidak diketahui kecuali oleh Allah Ta’ala saja.
Al-Utaimin berkata, “Jika ditanya apa hikmah dari dipercikinya air kencing anak laki-laki yang belum makan selain ASI, mengapa tidak dicuci sebagaimana anak perempuan? Aku menjawab: sungguh sunnah telah datang mengandung hikmah, maka itu sudah cukup. Hal ini seperti jawaban ‘Aisyah ketika ditanya mengapa wanita haidh tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat sebagaimana diperintah untuk mengqadha shaum. Jawaban beliau, kami mengalami haidh dan kami diperintahkan mengqadha shaum namun tidak dengan mengqadha shalat.”[40]
Ada juga sebagian ulama yang berbicara tentang hikmah dibalik syari’at ini. Hikmahnya adalah menjadi sebuah kemudahan bagi mukallaf. Ulama menyebutkan tiga hal yang menjadi sebabnya:
·         ASI yang diminum oleh bayi adalah makanan yang lembut sehingga mudah dicerna oleh lambung, sedangkan suhu badan anak laki-laki lebih tinggi (lebih panas) dibanding suhu badan anak perempuan, sehingga air kencing anak laki-laki lebih lembut daripada air kencing anak perempuan. Lembutnya air kencing inilah yang menyebabkan ia tidak melekat di tempat kencingnya, sehingga lebih mudah dibersihkan. Air kencing anak perempuan lebih kotor dan lebih bau dibandingkan air kencing anak laki-laki.[41]
·         Air kencing anak laki-laki yang keluar melalui lubang pada dzakar memungkinkan untuk menyebar, sehingga perlu penjagaan lebih. Bebeda dengan anak perempuan dia tidak menyebar sehingga ketika dia kencing hanya pada satu tempat.
·         Anak laki-laki biasanya lebih disukai, sehingga lebih sering diajak-ajak daripada anak perempuan, sehingga menjaga dari najis air kencingnyapun lebih sulit. Oleh sebab itu najis diperingan. Hal ini diperkuat lagi oleh syari’at Islam dengan kemudahannya yang tidak memberatkan seorang hamba. Kaidah Fiqih menyebutkan “al-Masyaqatu Tajlibut Taisir” kesulitan mendatangkan kemudahan.[42]
Dewasa ini tehnologi sudah amatlah canggih, dan dia menjadi bukti atas kebesaran Allah dan kasihsayang-Nya terhadap hamba-hamba-Nya. Telah diadakan penelitian bahwa air kencing anak perempuan mengandung bakteri negatif dengan jumlah yang lebih banyak dibandingkan bakteri yang ada di air kencing anak laki-laki.[43]
Penutup
Air kencing bayi dihukumi najis tanpa membedakan apakah bayinya laki-laki atau  perempuan, masih menyusu maupun sudah disapih, hanya makan ASI saja atau sudah makan makanan tambahan selain ASI, semuanya dihukumi najis berdasarkan dua dalil yang telah kami utarakan sebelumnya, yaitu dalil keumuman najisnya air kencing manusia dan dalil khusus najisnya air kencing bayi. Mengenai tata cara mensucikan pendapat yang lebih benar adalah yang dibedakan antara anak laki-laki dan anak perempuan. Dua hal inilah yang menjadi titik poin dalam pembahasan tema ini.
Tujuan hidup kita di dunia ini hanyalah untuk beribadah kepada Allah satu-satunya Ilah yang berhak diibadahi. Setiap hamba pasti berharap akan diterimanya amal ibadah yang telah dia lakukan. Dia juga sangat takut jika ibadahnya akan sia-sia bagai debu yang beterbangan, sehingga berujung kerugian dunia akhirat.
Allah Ta’ala membuat syari’at untuk hambanya demi kemaslahatan kehidupan mereka, karena Dia-lah Ar-Rahman Ar-Rahim, maka sebagai seorang hamba cukuplah bagi kita untuk beribadah sesuai dengan apa yang telah disyari’atkan Allah dan Dia ajarkan melalui utusan-Nya. Seyogyanya juga kita berhati-hati terhadap hal-hal yang menyebabkan tertolaknya amal ibadah yang kita lakukan, baik yang berkaitan dengan batin seperti menjaga keikhlasan dan jauh dari rasa riya’ ataupun yang sifatnya zhahir seperti syarat-syarat sah dan rukun-rukunnya.
Pepatah Indonesia berbunyi, “Tiada gading yang tak retak” artinya tiada manusia yang luput dari kesalahan. Demikian halnya dengan kami, makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, namun kami berharap semoga tulisan ini memberi sedikit manfaat bagi siapapun yang membacanya. Amiin..
Wallahu A’lam bis-Shawab…


DAFTAR PUSTAKA
Abu Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah, jil.1, (Beirut: Dar al-Fikr, 2010) hal. 123
‘Adzim Abadi, al-, Abu Thayyib Muhammad Syamsul Haq, ‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud, Jil. 1, Kairo: Dar al-Hadid, 2005.
Alu Bassam, Ibnu Shalih, Abdullah bin Abdurrahman, Taisirul ‘Allam Syarhu ‘Umdatil Ahkam, cet. Ke-2, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, 2006.
‘Asqolani, al-, Ahmad bin Ali bin Hajar, Fathul Bari bisyarh Shahih al-Bukhari, jil. 1, Kairo: Dar al-Hadits, 2004.
Bukhari, al-, Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin al-Mughirah al-Ju’fi, Shahih Bukhari, jil. 1, cet. Ke-1, ttp.: Dar Thuqin Najah, 1991
Baghawi, al-, Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud, Syarhus Sunnah, jil. 1, cet. Ke-2, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 2003.
Daruquthni, Ad-, Sunan ad-Daruquthni, cet. Ke-1, Beirut: Dar al-Fikr, 1998
Fairuz Abadi, al-, Majduddien Muhammad bin Ya’qub, Al-Qamus al-Muhith, cet. Ke-4, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 2013.
Ibnu Saurah, Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa, Sunan at-Tirmidzi, jil. 1, Beirut: Dar al-Fikr, 2009
Ibnu Anas, Malik, al-Muwatha’, cet. Ke-1, Beirut: Dar al-Fikr, 2011.
Jazairi, al-, ‘Abdurrahman, al-Fiqhu ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, jil. 1, ttp.: Dar at-Taqwa, t.t.
Nasa’I, an-, Ahmad bin Syu’aib Abu Abdirrahman, Sunan An-Nasa’I, jil.5, Halb: Maktab al-Mathbu’at al-Islamiyah, 1986.
Nawawi, an-, Muhyiddin abi Zakariya Yahya bin Syarf, Shahih Muslim Bisyarh an-Nawawi, jil.1, cet. Ke-1, Kairo: Maktab ats-Tsaqafi, 2001.
Nawawi, an-, Muhyiddin, al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, jil. 3, cet. Ke-2, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 2011.
Mubarakfuri, al-, Abu al-Ula Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim, Tuhfatul Ahwadzi bisyarhi Jami’i at-Tirmidzi, jil. 1, cet. Ke-1, Kairo: Dar al-Hadid, 2001.
Sijistani, as-, Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’ats, Sunan Abi Dawud, jil. 1, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Arobi, t.t.
Unais, Ibrahim dkk, al-Mu’jamul Wasith, (ttp.: t.p., t.t.)
Zuhaili, az-, Wahbah, Al-Fiqhul Islami wa adillatuhu, cet. Ke-2, Damaskus: Dar al-Fikr, 1985
Zuhaili, az-, Wahbah, Al-Wajiz Fil Fiqhi al-Islamy jil.1 hal 32
Sabiq, As-Sayyid, Fiqhus Sunnah, jil.1, cet, ke-4, Beirut: Dar al-Fikr, 1973.
Salim al-Majawi, Musa, Musa bin Ahmad bin, asy-Syarhul Mumti’ ‘Ala Zadil Mustaqni’, jil. 1, Kairo: Jannatul Afkar, 2008.
Utsaimin, al-, Muhammad bin Shalih, Fathu Dzil Jalali wal Ikram bisyarh Bulughil Maram, jil. 1, cet. Ke-1, Kairo: al-Maktabah al-Islamiah, 2006.
Zaidan, Abdul Karim , Al-Mufashhal Fi Ahkamil Mar’ah wa Baitil Muslim fi Syari’ah al-Islamiyah, jil. 1, cet. Ke-3, Beirut: Muassasah ar-Risalah, 2000.
Zuhaili, az-, Wahbah, Mausu’ah al-Fiqhi al-Islami wal Qadhaya al-Mu’ashirah, jil. 1, cet. Ke-3, Damaskus: Dar al-Fikr, 2012.


[1] Ibrahim Unais dkk, al-Mu’jamul Wasith, (ttp.: t.p., t.t.) hal. 97
[2] Majduddin Muhammad bin Ya’qub al-Fairuz Abadi, al-Qamus al-Muhith, cet. Ke-4, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 2013) hal.1308
[3] Ibid, hal. 692
[4] Abu Thayyib Muhammad Syamsul Haq al-‘Adzim Abadi, ‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud, Jil. 1, (Kairo: Dar al-Hadid, 2005) hal. 379
[5] Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin al-Mughirah al-Ju’fi al-Bukhari, Shahih Bukhari, jil. 1, cet. Ke-1, (ttp.: Dar Thuqin Najah, 1991) hal.54
[6] Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin al-Mughirah al-Ju’fi al-Bukhari, Shahih Bukhari,  jil. 1, cet. Ke-1, (ttp.: Dar Thuqin Najah, 1991) hal 54
[7] Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’ats as-Sijistani, Sunan Abi Dawud, jil. 1, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Arobi, tt) hal. 103
[8] Ibid, hal. 144
[9] Ahmad bin Syu’aib Abu Abdirrahman an-Nasa’I, Sunan An-Nasa’I, jil.5 (Halb: Maktab al-Mathbu’at al-Islamiyah, 1986) hlm.44
[10] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqhul Islami wa adillatuhu, cet. Ke-2, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1985) hal.151, lihat As-Sayyid Saabiq, Fiqhus Sunnah, jil.1, cet, ke-4, (Beirut: Dar al-Fikr, 1973) hal.16
[11] Muhyiddin Abi Zakariya Yahya bin Syarf an-Nawawi, Shahih Muslim Bisyarh an-Nawawi, jil.3, cet. Ke-1, (Kairo: Maktab ats-Tsaqafi, 2001) hal. 199
[12] Wahbah az-Zuhaili, Al-Wajiz Fil Fiqhi al-Islamy jil.1 hal 32, lihat Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqhul Islami..., cet. Ke-2, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1985) jil.1 hal 301
[13] Ibrahim Unais dkk, al-Mu’jamul Wasith, (ttp.: tp, tt) hal. 600
[14] As-Sayyid Saabiq, Fiqhus Sunnah, jil.1, cet, ke-4, (Beirut: Dar al-Fikr, 1973) hal. 22
[15] Najis hakiki adalah benda-bendaa yang kotor yang menghalangi sahnya shalat. Lihat, Wahbah az-Zuhaili, Mausu’ah al-Fiqhi al-Islami wal Qadhaya al-Mu’ashirah, jil. 1, cet. Ke-3, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2012) hal. 259
[16] Ibid, hal. 274. Najis mukhaffafah adalah najis yang hukumnya ditetapkan melalui dalil yang bukan qath’I.
[17] Ibid, hal. 275. Najis Mai’ah adalah najis yang dzatnya berbentuk benda cair.
[18] Ibid. Najis ghairu Mar’iah adalah najis yang tidak terlihat oleh mata setelah dia kering.
[19] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami…, jil. 1, hal. 171
[20] Ahmad bin Ali bin Hajar al-‘Asqalani, Fathul Bari bisyarh Shahih al-Bukhari, jil. 1, (Kairo: Dar al-Hadits, 2004) hal. 389
[21] Abdurrahman al-Jazairi, al-Fiqhu ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, jil. 1, (ttp.: Dar at-Taqwa, t.t.) hal. 23
[22] Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Fathu Dzil Jalali wal Ikram bisyarh Bulughil Maram, jil. 1, cet. Ke-1, (Kairo: al-Maktabah al-Islamiah, 2006) hal. 155
[23] Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud al-Baghawi, Syarhus Sunnah, jil. 1, cet. Ke-2, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 2003) hal. 386
[24] ‘Abdurrahman al-Jazairi, al-Fiqhu ‘Ala al-Madzahib..., jil. 1, (ttp.: Dar at-Taqwa, t.t.) hal. 23
[25] Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Saurah, Sunan at-Tirmidzi, jil. 1, (Beirut: Dar al-Fikr, 2009) hal. 83
[26] Ad-Daruquthni, Sunan ad-Daruquthni, cet. Ke-1, (Beirut: Dar al-Fikr, 1998) hal. 125
[27] Abu Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah, jil.1, (Beirut: Dar al-Fikr, 2010) hal. 123
[28] Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin al-Mughirah al-Ju’fi al-Bukhari, Shahih Bukhari, jil. 1, cet. Ke-1, (ttp.: Dar Thuqin Najah, 1991) hal. 54
[29] Abdul Karim Zaidan, Al-Mufashhal Fi Ahkamil Mar’ah wa Baitil Muslim fi Syari’ah al-Islamiyah, jil. 1, cet. Ke-3, (Beirut: Muassasah ar-Risalah, 2000) hal. 41
[30] Abu al-Ula Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim al-Mubarakfuri, Tuhfatu..., jil. 1, cet. Ke-1, (Kairo: Dar al-Hadid, 2001) hal. 176
[31] Ibid
[32] Ibid
[33] Malik bin Malik, al-Muwatha’, cet. Ke-1, (Beirut: Dar al-Fikr, 2011) hal. 35
[34] Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Saurah, Sunan at-Tirmidzi, jil. 1, (Beirut: Dar al-Fikr, 2009) hal. 188
[35] Abu al-Ula Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim al-Mubarakfuri, Tuhfatu..., jil. 1, cet. Ke-1, (Kairo: Dar al-Hadid, 2001) hal. 177-178
[36] Muhyiddin an-Nawawi, al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, jil. 3, cet. Ke-2, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 2011) hal.
[37] Abu al-Ula Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim al-Mubarakfuri, Tuhfatu..., jil. 1, cet. Ke-1, (Kairo: Dar al-Hadid, 2001) hal. 179
[38] Muhyiddin an-Nawawi, al-Majmu..., jil. 3, cet. Ke-2, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 2011) hal. 475
[39] Ibid
[40] Musa bin Ahmad bin Musa Salim al-Majawi, asy-Syarhul Mumti’ ‘Ala Zadil Mustaqni’, jil. 1, (Kairo: Jannatul Afkar, 2008) hal. 220
[41] Ibnul Qayyim al-Jauziyah, I’lamul Muwaqqi’in ‘An Rabbil ‘Alamin, cet. Ke-1, (Beirut:  Dar al-Kutub al-Ilmiah, 2004) hal. 283
[42] Abdullah bin Abdurrahman bin Shalih Alu Bassam, Taisirul ‘Allam Syarhu ‘Umdatil Ahkam, cet. Ke-2, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, 2006) hal. 42

0 komentar:

Posting Komentar

 
;