Hukum Air Kencing Anak yang Masih Menyusu
Oleh:
Hanina asy-Syahadah dan Masyithah adh-Dhari’ah
Pendahuluan
Masalah najis bukanlah perkara sepele, melainkan masalah yang sangat urgen
(penting), bahkan berkaitan dengan ibadah yang paling besar, yaitu shalat. Oleh
karena itu ulama biasa membahas masalah najis dan kesucian sebelum mereka membahas shalat dan ibadah-ibadah
lainnya. Air kencing bayi dalam keluarga muslim dari segi status kenajisan dan
cara mensucikannya adalah problem yang umum terjadi dan akan senantiasa
berulang selama pernikahan dan kelahiran terus terjadi.
Namun amatlah disayangkan, kaum muslimah yang notabenenya berperan sebagai ibu terkadang tidak memahami masalah ini, mereka kurang
berhati-hati dengan air kencing anak-anak mereka. Barangkali karena mereka
tidak mengerti tentang hukum air kencing
anak walaupun si anak masih
bayi atau sudah tahu tetapi malas untuk
mengamalkan ilmunya. Karena itu, kita para ibu atau calon ibu perlu sekali
mengetahui masalah ini.
Pengertian Air Kencing dan Anak Kecil
Air kencing ialah cairan yang disaring di dalam ginjal, kemudian dibawa
melalui saluran kemih menuju kandung kemih yang nantinya akan dikeluarkan dari
dalam tubuh.[1]
Anak dalam bahasa arab ada dua istilah bahkan lebih, diantaranya ialah shabiy
dan ghulam. Shabiy kebanyakan dipakai untuk menyebut anak
yang baru lahir sampai masa penyapihan,[2]
sedangkan ghulam untuk mengungkapkan anak setelah kelahirannya beberapa
waktu hingga dia remaja.[3]
Al-‘Allamah al-‘Aina dan sebagian ahli bahasa mengatakan selama anak masih dalam
perut ibunya maka disebut janin, jika dia telah lahir hingga masa penyapihan
disebut shabiy dan dari masa penyapihan hingga umur 7 tahun disebut ghulam.[4]
Hukum Air Kencing
عَنْ أَنَسِ ابْنِ
مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: جَاءَ أَعْرَابِيٌّ فَبَالَ فِيْ طَائِفَةِ الْمَسْجِدِ
فَزَجَرَهُ النَّاسُ, فَنَهَاهُمُ النَّبِيُّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَمَ, فَلَّمَا
قَضَى بَوْلَهُ, أَمَرَ النَّبِيُّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَمَ بِذُنُوْبٍ مِنْ
مَاءٍ فَأُهْرِيْقَ عَلَيْهِ
Anas bin Malik radhiyallahu
anhu mengatakan, ada seorang arab badui datang dan
kencing disalah satu bagian masjid. Para shahabat menghardiknya, akan tetapi
Nabi Saw., melarang mereka. Tatkala orang itu selesai kencing, Nabi Saw.,
meminta seember air kemudian disiramkan pada (tempat yang terkena kencing
tersebut). (HR. al-Bukhari)[5]
Hadits Anas di atas menunjukkan keumuman setiap air kencing manusia adalah
najis dan harus dibersihkan sampai hilang warna, rasa dan bau najisnya,
sebagaimana yang telah disepakati ulama, namun terdapat hadits-hadits yang
diriwayatkan dengan lebih khusus untuk air kencing anak kecil yang masih menyusu
dan memunculkan perbedaan pendapat dikalangan ulama.
عَنْ أُمِّ قَيْسٍ بِنْتِ مِحْصَنٍ أَنَّهَا أَتَتْ بِابْنٍ
لَهَا صَغِيرٍ لَمْ يَأْكُلْ الطَّعَامَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَأَجْلَسَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَجْرِهِ
فَبَالَ عَلَى ثَوْبِهِ فَدَعَا بِمَاءٍ فَنَضَحَهُ وَلَمْ يَغْسِلْهُ
Ummu Qais binti Mihshan menuturkan bahwa dirinya mendatangi Rasulullah
Saw., dengan membawa anak laki-lakinya yang masih kecil dan belum makan sesuatu
(selain ASI). Nabi Saw., mendudukkan anak itu di atas pangkuannya, bayi itu
lantas ngompol di atas pakaian Nabi Saw., Beliau meminta air lalu memercikkan
air tersesbut pada pakaiannya dan tidak membasuhnya.”(HR. al-Bukhari) [6]
عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : يُغْسَلُ مِنْ بَوْلِ
الْجَارِيَةِ ، وَيُنْضَحُ مِنْ بَوْلِ الْغُلاَمِ مَا لَمْ يُطْعَمْ
‘Ali radhiyallu ‘anhu berkata,
“Kencing bayi perempuan (cara mensucikannya) disiram atau dicuci, dan kencing
bayi laki-laki diciprati air selama belum makan.”(HR. Abu Dawud) [7]
عَنْ لُبَابَةَ بنتِ الحارِث قالتْ كان الحسينُ بنُ علىّ - رضى
الله عنه - في حِجْرِ رسولِ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- فَبَالَ عَلَيْهِ فَقَلَتْ
البَسْ ثوْبًا وأَعْطِنِى إِزَارَكَ حَتَّى أَغْسِلَهُ قال: إِنَمَا يُغْسَلُ
مِنْ بَوْلِ الأُنْثَى وَيُنْضَحُ مِنْ بَوْلِ الذَّكَرِ
Lubabah binti al-Harits berkata, bahwa
Husain bin Ali berada di pangkuan Rasulullah Saw., kemudian dia mengencingi Rasulullah Saw., maka Lubabah berkata: “Pakailah pakaianmu yang lain, dan berikan kepadaku
pakaianmu tersebut agar aku mencucinya”, maka Rasulullah berkata: “Pakaian itu dicuci
jika terkena kencing bayi perempuan, adapun bayi laki-laki cukup dipercikan air”(HR.
Abu Dawud) [8]
أبو السمح قال:
قال النبي صلى الله عليه و سلم يُغْسَلُ مِنْ بَوْلِ الجَارِيَةِ وَيُرَشُّ
مِنْ بَوْلِ الغُلَامِ
Abu Samah
berkata, bahwasanya Rasulullah Saw., bersabda, “Kencing bayi perempuan (cara
mensucikannya) disiram atau dicuci, dan kencing bayi laki-laki diciprati air
selama belum makan.”(HR.
An-Nasa’i) [9]
Ulama sepakat akan hukum air kencing yaitu najis[10],
demikian juga telah disepakati air kencing bayi yang belum makan selain ASI, tidak
ada yang memperselisihkan akan kenajisannya kecuali Dawud adh-Dhahiri. Al-Khithaby
mengatakan, dibolehkannya “memerciki” di sini bukan berarti air kencing anak
kecil itu suci, akan tetapi untuk meringankan dalam menghilangkannya, ini
adalah pendapat yang benar. Adapun riwayat Abu al-Hasan bin Bathal, kemudian
al-Qadhi ‘Iyadh tentang Imam asy-Syafi’i dan orang-orang selain beliau bahwa
mereka berpendapat air kencing adalah suci dan cukup diperciki air adalah
riwayat yang bathil.[11]
Najis
Secara bahasa najis ialah lawan dari suci[12]atau sesuatu yang kotor[13]. Secara istilah najis ialah kotoran dan setiap muslim
harus bersuci darinya serta mencuci dari apa yang mengenainya,[14]sebagaimana firman Allah Ta’ala:
وَ ثِيَابَكَ فَطَهِّرْ
“dan bersihkanlan
pakaianmu”(QS. Al-Muddatsir:4)
Status najis
Najis terbagi menjadi berbagai jenis, pembagiannyapun berbeda-beda
dikalangan ulama. Mereka mengkategorikan
air kencing anak sebagai najis hakiki[15],
mukhaffafah[16], mai’ah[17]
dan ghairu mar’iah.[18] Selain
itu Madzhab Maliki mengkategorikan air kencing anak yang masih menyusu termasuk
najis yang dimaafkan bagi wanita yang menyusuinya ketika mengenai pakaian
ataupun badannya, dengan syarat wanita yang menyusui anak itu harus berusaha
terlebih dahulu untuk tidak terkena air kencing dan tidak meremehkannya, tetapi
mensucikan dari air kencing itu lebih dianjurkan, bahkan disunnahkan bagi
wanita tersebut memiliki pakaian khusus untuk shalat.[19]
Kadar makanan yang
menajiskan
Tersurat dalam hadits selama anak laki-laki masih menyusu dan tidak
makan selain ASI maka cara mensucikannya dengan diperciki air ketika mengenai
pakaian. Ketika anak sudah memakan makanan lain maka cara mensucikan dari
najisnya adalah dengan dicuci. Persoalannya adalah kadar makanan yang
bagaimanakah yang menjadi ketentuannya?
Ibnu Hajar menjelaskan makna dari tha’am atau makanan adalah selain air susu yang
disusukan oleh seorang ibu, kurma yang ditahnikkan, serta madu untuk
pengobatan, atau selainnya selama makanan itu tidak menjadi makanan pokok
sehingga membuat si anak tidak membutuhkan penyusuan lagi.[20] Menurut madzhab Syafi’iah susu dan semua jenisnya, seperti: Jabn, Qasydah
dan Zabd baik yang berasal dari manusia ataupun hewan.[21]
Al-Utsaimin mengatakan
bahwa yang menjadi dhabith atau kaidah dalam masalah ini (mensucikan air
kencing dengan percikan air) bukanlah tidak pernah mengkonsumsi makanan selain
ASI sama sekali, sebab kemungkinan anak pernah menelan suatu makanan di hari-hari
pertama kelahirannya. Maksudnya adalah selama makanan tersebut tidak
menjadi pengganti ASI sebagai makanan pokok si anak atau mendominasi makanan
yang dimakan anak.[22]
Selain syarat minum ASI dan tidak menjadikan makanan lain sebagai
makanan pokok, usia 2 tahun juga menjadi batas maksimal dalam berlakunya hukum
memercikkan air. Jika usia anak laki-laki tersebut lewat dari dua tahun maka
najisnya tidak lagi najis mukhaffafah tetapi najis mutawasithah.[23]
Meskipun dia murni hanya minum ASI sebagaimana menjadi wajib mencuci jika dia
memakan sesuatu selain asi.[24]
Pengaruh najis dalam ibadah
Perihal najis kita perlu berhati-hati dan perhatian terhadap amalan
ibadah kita, tentunya pada amalan yang disyaratkan thaharah didalamnya.
Seperti, ibadah shalat dan thawaf. Keberadaan najis akan membawa madharat bagi
mukallaf yang sedang mengamalkan sebuah amal ibadah.
1.
Shalat dan thawaf tidak sah
عن ابن
عمر عن النبيّ قال: لاَ
تُقْبَلُ صَلاَةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ
Dari Ibnu Umar, Nabi
bersabda: “Shalat tidak diterima tanpa bersuci.” (HR.Tirmidzi)[25]
2. Menjadi penyebab adzab
عَنْ
أَنس قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :
تَنَزَّهُوا مِنَ الْبَوْلِ ؛ فَإِنَّ عَامَّةَ عَذَابِ الْقَبْرِ مِنَه
Dari Anas, bahwasanya ia
berkata, bahwasanya Rasulullah shallallahu ’alahi wassalam bersabda :
“Bersihkan dari air kencing, karena sesungguhnya kebanyakan adzab kubur itu
dari air kencing (yang tidak dibersihkan)“ (HR. Daruquthni)[26]
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ: أَكْثَرُ عَذَابِ الْقَبْرِ مِنَ الْبَوْلِ
Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda: “Kebanyakan siksa kubur
disebabkan oleh air kencing.” (HR. Ibnu Majah)[27]
عَنْ
ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : مَرَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَبْرَيْنِ
فَقَالَ إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ أَمَّا أَحَدُهُمَا
فَكَانَ لَا يَسْتَتِرُ مِنْ الْبَوْلِ وَأَمَّا الْآخَرُ فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ
ثُمَّ أَخَذَ جَرِيدَةً رَطْبَةً فَشَقَّهَا نِصْفَيْنِ فَغَرَزَ فِي كُلِّ قَبْرٍ
وَاحِدَةً قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ لِمَ فَعَلْتَ هَذَا قَالَ لَعَلَّهُ يُخَفِّفُ
عَنْهُمَا مَا لَمْ يَيْبَسَا
Dari Ibnu 'Abbas berkata, "Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam lewat di dekat dua kuburan, lalu beliau bersabda:
"Sesungguhnya keduanya sedang disiksa, dan keduanya disiksa bukan karena
dosa besar. Yang satu disiksa karena tidak bersuci setelah
kencing, sementara yang satunya suka mengadu domba." Kemudian beliau
mengambil sebatang dahan kurma yang masih basah, beliau lalu membelahnya
menjadi dua bagian kemudian menancapkannya pada masing-masing kuburan tersebut.
Para sahabat pun bertanya, "Wahai Rasulullah, kenapa engkau melakukan
ini?" beliau menjawab: "Semoga siksa keduanya diringankan selama
batang pohon ini basah." (HR. Bukhari)[28]
Cara mensucikan
Ulama sepakat mengenai cara bersuci dari air kencing anak secara
umum adalah sebagimana bersuci dari air kencing orang dewasa, tetapi ada
pengecualian untuk anak kecil laki-laki yang masih meminum ASI saja.
Perbedaan
pendapat
Berangkat dari hadits-hadits di atas ulama berbeda pendapat mengenai
cara mensucikan antara anak laki-laki dan perempuan, yaitu:
1)
Membedakan antara anak laki-laki
yaitu dengan cukup diperciki air dan anak perempuan harus dicuci.
Ibnu Syihab
berkata, “Telah dijelaskan dalam as-Sunnah bahwa cara mensucikan air kencing anak
laki-laki dengan diperciki air, adapun kencing anak perempuan dengan dicuci.”
Bahkan Imam at-Tirmidzi menyatakan, pendapat ini tidak hanya dikemukakan oleh
seorang dari ahlul ilmi dari kalangan sahabat, tabi’in dan orang-orang setelah
mereka saja. Diantara mereka adalah Ali, Atha’, al-Hasan, az-Zuhri, Ahmad,
Ishaq dan ahlu Zhahir.[29]
Al-Mubarakfuri
berkata pendapat yang paling benar adalah pendapat yang membedakan antara anak
laki-laki dan anak perempun, untuk anak laki-laki cukup diperciki air, adapun
anak perempuan wajib dicuci.[30]
2)
Tidak dibedakan antara anak
laki-laki dan anak perempuan, cukup diperciki
air.
Pendapat ini
adalah pendapat madzhab al-Auza’I, terdapat juga riwayat dari Malik dan
asy-Syafi’I, namun mereka tidak memiliki dalil dan hadits-hadits masalah ini
bertentangan dengan pendapat mereka.[31]
3)
Anak laki-laki dan perempuan
kedua-duanya harus dicuci.
Ini adalah
pendapat Hanafiah dan Malikiah. Mereka menyamakan antara air kencing anak laki-laki dengan anak perempuan.[32] Ibnu Daqiq
al-‘Ied mengatakan, “Ikutilah Hanafiah dan Malikiah dalam qiyas ini.” Berikut
adalah dalil mereka:
Pertama, tidak ada perbedaan antara air kencing anak
laki-laki dan anak perempuan dalam hukum yaitu najis, maka cara
mensucikannyapun tidak dibedakan, wajib dicuci.
Kedua, maksud رشّ dan نضح dalam hadits adalah غسل yaitu mencuci,
bukan memercikkan air. Sebab, terkadang kedua lafadz tadi memang dipakai untuk
ungkapan mencuci, sebagaimana hadits Ali bin Abi Thalib, Rasulullah bersabda:
إذَا وَجَدَ أحَدُكمُ ذَلِكَ فَلْيَنْضَحْ فَرْجَهُ
وَلْيَتوَضَّأْ وُضُوءَهُ لِلصَّلاَةِ
“Jika salah seorang dari
kalian mendapatinya (Madzi), maka hendaklah dia mencuci kemaluannya lalu
berwudhu untuk shalat.” [33] Atau jawaban Rasulullah kepada asma ketika bertanya bagaimana mensucikan
pakaian yang terkena darah haidh:
حُتِّيِه،
ثُمَّ اقْرُصِيِه بِالْمَاءِ، ثُمَّ رُشِّيه، وَصَلِّي فِيهِ
“Kuceklah lalu siramanlah air, kemudian cuci dan
gunakanlah untuk shalat.”[34] Oleh karena itu, al-‘Allamah
al-‘Aina dan ulama Hanafiah berpendapat
mencuci adalah makna yang diinginkan pada hadits-hadits masalah kencing anak.
Al-Mubarakfuri meluruskan lewat kitabnya, terkadang kata رشّ
dan نضح bermakna غسل
atau mencuci, namun ini terjadi jika
tidak ada penghalang seperti pada dua hadits di atas. Sedangkan dalam hadits
yang kita kaji ini ada penghalangnya, bahkan haditsnya menunjukkan
penafian mencuci.
Perhatikan dengan baik pada hadits Ummu Qais terdapat lafadz “فنضحه
ولم يغسله” atau pada hadits ‘Aisyah “فدعا
بماء فأتبعه إياه ولم يغسله” jelas ini menunjukkan bahwa maksud dari نضح bukanlah غسل, memercikan disini bukan mencuci. Sebab,
keduanya disebut bersama dan terpisah.
Pada hadits Lubabah,
ketika beliau meminta Rasulullah mengganti pakaiannya dan memberikan pakaian
beliau yang terkena kencing untuk dicuci justru Rasulullah memberikan jawaban
bahwa kencing anak perempuanlah yang dicuci,
adapun anak laki-laki dengan diperciki air. Demikian juga dengan hadits Ali,
jikalau yang dimaksud Rasulullah adalah mencuci tentu beliau mengatakan kata
yang sama.
Ketiga, makna lain (نضح dan رشّ) adalah mencuci tanpa mengucek sedangkan غسل
adalah
mencuci disertai kucekan atau gosokan. Perkataan ini jelas tidak ada dalilnya,
karena bertentangan dengan zhahir hadits.
Keempat, mereka juga mengatakan maknanya adalah mengalirkan air dan menyiramkannya dan ini mereka sebut termasuk
bagian dari mencuci, sehingga dihukumi mencuci.
Makna menuangkan air itu
benar dan sesuai hadits, tapi tidak mutlak menyiramkan air bisa disebut
mencuci. Ketika kotoran yang ada pada pakaian itu tidak hilang maka tetap najis.
Hadits Ummu Qais dan hadits-hadits lain menunjukkan kemutlakan menyiram tidak
terikat hingga hilang dan tidak ada ketentuan kadar air yang dituangkan.
Terdapat sebuaah riwayat lemah dari ibnu Abbas bahwa kadar airnya sesuai air
kencing.
Kelima, kencing bayi laki-laki adalah najis, status ini menyebabkan
diutamakannya memercikkan air daripada mencuci. Padahal, pakaian atau badan yang terkena najis apapun tidak akan suci hingga dicuci.
Kenajisan air kencing anak tidak mewajibkan untuk
mengutamakan memercikan air dan menyiramnya daripada mencuci, dan tidak bisa
dikatakan suatu najis akan hilang hanya dengan mencuci, sebab bukankah
mensucikan pakaian dari mani kering cukup dengan mengeriknya? Padahal keduanya sama-sama najis, baik kering maupun
basah.[35]
Pendapat rajih
Imam an-Nawawi dalam mensyarah hadits berkenaan dengan ini
mengatakan bahwa pendapat kedua dan ketiga adalah pendapat yang lemah.[36]
Ibnul Qayyim juga
menyatakan bahwa pendapat yang membedakan antara anak laki-laki dan perempuan
adalah pendapat yang sesuai dengan Sunnah, termasuk mahasin syari’ah dan
menunjukkan kesempurnaan hikmah serta maslahat syari’at Islam.[37]
Adapun mengenai khuntsa
al-Baghawi mengatakan, air kencing khuntsa sebagaimana air kencing wanita baik
keluar dari kemaluan laki-laki maupun kemaluan perempuannya.[38]
Perbedaan memercikan air dan mencuci
Al-Baghawi mensyaratkan, untuk memerciki air harus merata
semua tempat yang terkena air kencing, membasahinya tanpa harus mengalir. Untuk
mencuci disyaratkan membasahinya dan ada air yang mengalir. Ungkapan
yang sama juga dikatakan oleh Syaikh Abu Hamid dan jumhur, kemudian disyarah
oleh Imam Haramain, bahwa memerciki air adalah membasahi, menuagkan tanpa ada
air yang mengalir. Sedangkan mencuci adalah membasahi dengan air dan ada
sebagian air yang mengalir dan menetes, meskipun tidak harus diperas.[39]
Hikmah dibalik syari’at
Sebagian ulama menganggap masalah ini termasuk permasalahan ta’abbudiyah
yang hikmahnya tidak diketahui kecuali oleh Allah Ta’ala saja.
Al-Utaimin berkata, “Jika ditanya apa hikmah dari dipercikinya air
kencing anak laki-laki yang belum makan selain ASI, mengapa tidak dicuci
sebagaimana anak perempuan? Aku menjawab: sungguh sunnah telah datang
mengandung hikmah, maka itu sudah cukup. Hal ini seperti jawaban ‘Aisyah ketika
ditanya mengapa wanita haidh tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat
sebagaimana diperintah untuk mengqadha shaum. Jawaban beliau, kami mengalami haidh
dan kami diperintahkan mengqadha shaum namun tidak dengan mengqadha shalat.”[40]
Ada juga sebagian ulama yang berbicara tentang hikmah dibalik
syari’at ini. Hikmahnya adalah menjadi sebuah kemudahan bagi mukallaf.
Ulama menyebutkan tiga hal yang menjadi sebabnya:
·
ASI yang diminum oleh bayi adalah
makanan yang lembut sehingga mudah dicerna oleh lambung, sedangkan suhu badan
anak laki-laki lebih tinggi (lebih panas) dibanding suhu badan anak perempuan,
sehingga air kencing anak laki-laki lebih lembut daripada air kencing anak
perempuan. Lembutnya air kencing inilah yang menyebabkan ia tidak melekat di tempat
kencingnya, sehingga lebih mudah dibersihkan. Air kencing anak perempuan lebih
kotor dan lebih bau dibandingkan air kencing anak laki-laki.[41]
·
Air kencing anak laki-laki yang
keluar melalui lubang pada dzakar memungkinkan untuk menyebar, sehingga perlu
penjagaan lebih. Bebeda dengan anak perempuan dia tidak menyebar sehingga
ketika dia kencing hanya pada satu tempat.
·
Anak laki-laki biasanya lebih
disukai, sehingga lebih sering diajak-ajak daripada anak perempuan, sehingga menjaga
dari najis air kencingnyapun lebih sulit. Oleh sebab itu najis diperingan. Hal
ini diperkuat lagi oleh syari’at Islam dengan kemudahannya yang tidak
memberatkan seorang hamba. Kaidah Fiqih menyebutkan “al-Masyaqatu Tajlibut
Taisir” kesulitan mendatangkan kemudahan.[42]
Dewasa ini
tehnologi sudah amatlah canggih, dan dia menjadi bukti atas kebesaran Allah dan
kasihsayang-Nya terhadap hamba-hamba-Nya. Telah diadakan penelitian bahwa air
kencing anak perempuan mengandung bakteri negatif dengan jumlah yang lebih
banyak dibandingkan bakteri yang ada di air kencing anak laki-laki.[43]
Penutup
Air kencing bayi dihukumi
najis tanpa membedakan apakah bayinya laki-laki atau perempuan, masih menyusu maupun sudah
disapih, hanya makan ASI saja atau sudah makan makanan tambahan selain ASI,
semuanya dihukumi najis berdasarkan dua dalil yang telah kami utarakan
sebelumnya, yaitu dalil keumuman najisnya air kencing manusia dan dalil khusus
najisnya air kencing bayi. Mengenai tata cara mensucikan pendapat yang
lebih benar adalah yang dibedakan antara anak laki-laki dan anak perempuan. Dua
hal inilah yang menjadi titik poin dalam pembahasan tema ini.
Tujuan hidup kita di dunia ini hanyalah untuk beribadah kepada
Allah satu-satunya Ilah yang berhak diibadahi. Setiap hamba pasti berharap akan
diterimanya amal ibadah yang telah dia lakukan. Dia juga sangat takut jika
ibadahnya akan sia-sia bagai debu yang beterbangan, sehingga berujung kerugian
dunia akhirat.
Allah Ta’ala membuat syari’at untuk hambanya demi kemaslahatan
kehidupan mereka, karena Dia-lah Ar-Rahman Ar-Rahim, maka sebagai seorang hamba
cukuplah bagi kita untuk beribadah sesuai dengan apa yang telah disyari’atkan
Allah dan Dia ajarkan melalui utusan-Nya. Seyogyanya juga kita berhati-hati
terhadap hal-hal yang menyebabkan tertolaknya amal ibadah yang kita lakukan,
baik yang berkaitan dengan batin seperti menjaga keikhlasan dan jauh dari rasa
riya’ ataupun yang sifatnya zhahir seperti syarat-syarat sah dan
rukun-rukunnya.
Pepatah Indonesia berbunyi, “Tiada gading yang tak retak” artinya
tiada manusia yang luput dari kesalahan. Demikian halnya dengan kami, makalah
ini masih jauh dari kesempurnaan, namun kami berharap semoga tulisan ini
memberi sedikit manfaat bagi siapapun yang membacanya. Amiin..
Wallahu A’lam bis-Shawab…
DAFTAR PUSTAKA
Abu Abdillah
Muhammad bin Yazid al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah, jil.1, (Beirut: Dar
al-Fikr, 2010) hal. 123
‘Adzim Abadi, al-, Abu Thayyib Muhammad Syamsul Haq, ‘Aunul Ma’bud Syarh
Sunan Abi Dawud, Jil. 1, Kairo: Dar al-Hadid, 2005.
Alu Bassam, Ibnu Shalih, Abdullah bin Abdurrahman, Taisirul
‘Allam Syarhu ‘Umdatil Ahkam, cet. Ke-2, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiah,
2006.
‘Asqolani, al-, Ahmad bin Ali bin Hajar, Fathul Bari
bisyarh Shahih al-Bukhari, jil. 1, Kairo: Dar al-Hadits, 2004.
Bukhari, al-, Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin al-Mughirah
al-Ju’fi, Shahih Bukhari, jil. 1, cet. Ke-1, ttp.: Dar Thuqin Najah, 1991
Baghawi, al-, Abu Muhammad
al-Husain bin Mas’ud, Syarhus Sunnah, jil. 1, cet.
Ke-2, Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiah, 2003.
Daruquthni,
Ad-, Sunan ad-Daruquthni, cet. Ke-1, Beirut: Dar al-Fikr, 1998
Fairuz Abadi, al-, Majduddien Muhammad bin Ya’qub, Al-Qamus al-Muhith,
cet. Ke-4, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 2013.
Ibnu Saurah, Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa, Sunan at-Tirmidzi, jil. 1, Beirut: Dar
al-Fikr, 2009
Ibnu Anas, Malik, al-Muwatha’, cet. Ke-1, Beirut: Dar al-Fikr, 2011.
Jazairi, al-, ‘Abdurrahman,
al-Fiqhu ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, jil. 1, ttp.: Dar at-Taqwa, t.t.
Nasa’I, an-, Ahmad bin Syu’aib Abu
Abdirrahman, Sunan An-Nasa’I, jil.5, Halb: Maktab al-Mathbu’at
al-Islamiyah, 1986.
Nawawi, an-, Muhyiddin abi
Zakariya Yahya bin Syarf, Shahih Muslim
Bisyarh an-Nawawi, jil.1, cet. Ke-1, Kairo: Maktab
ats-Tsaqafi, 2001.
Nawawi, an-, Muhyiddin, al-Majmu’
Syarhul Muhadzdzab, jil. 3, cet. Ke-2, Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiah, 2011.
Mubarakfuri, al-, Abu al-Ula Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim, Tuhfatul
Ahwadzi bisyarhi Jami’i at-Tirmidzi, jil. 1, cet. Ke-1, Kairo: Dar
al-Hadid, 2001.
Sijistani,
as-, Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’ats, Sunan Abi Dawud, jil. 1, Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Arobi, t.t.
Unais, Ibrahim dkk, al-Mu’jamul
Wasith, (ttp.: t.p., t.t.)
Zuhaili, az-, Wahbah, Al-Fiqhul
Islami wa adillatuhu, cet. Ke-2, Damaskus: Dar al-Fikr,
1985
Zuhaili, az-, Wahbah, Al-Wajiz Fil
Fiqhi al-Islamy jil.1 hal 32
Sabiq, As-Sayyid, Fiqhus
Sunnah, jil.1, cet, ke-4, Beirut: Dar al-Fikr, 1973.
Salim al-Majawi, Musa, Musa bin Ahmad bin, asy-Syarhul Mumti’
‘Ala Zadil Mustaqni’, jil. 1, Kairo: Jannatul Afkar, 2008.
Utsaimin, al-, Muhammad bin Shalih, Fathu Dzil
Jalali wal Ikram bisyarh Bulughil Maram, jil. 1, cet. Ke-1, Kairo: al-Maktabah
al-Islamiah, 2006.
Zaidan, Abdul Karim , Al-Mufashhal Fi Ahkamil Mar’ah wa Baitil Muslim fi
Syari’ah al-Islamiyah, jil. 1, cet. Ke-3, Beirut: Muassasah ar-Risalah,
2000.
Zuhaili, az-, Wahbah, Mausu’ah al-Fiqhi al-Islami wal Qadhaya
al-Mu’ashirah, jil. 1, cet. Ke-3, Damaskus: Dar al-Fikr, 2012.
http://forsanhaq.com/showthread.php?t=242316,
20/02/2015
[2] Majduddin Muhammad bin Ya’qub al-Fairuz Abadi,
al-Qamus
al-Muhith, cet. Ke-4, (Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiah, 2013) hal.1308
[4] Abu Thayyib Muhammad
Syamsul Haq al-‘Adzim Abadi, ‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud, Jil.
1, (Kairo: Dar al-Hadid, 2005) hal. 379
[5] Abu Abdillah Muhammad
bin Isma’il bin Ibrahim bin al-Mughirah al-Ju’fi al-Bukhari, Shahih Bukhari,
jil. 1, cet. Ke-1, (ttp.: Dar Thuqin Najah, 1991) hal.54
[6] Abu Abdillah Muhammad
bin Isma’il bin Ibrahim bin al-Mughirah al-Ju’fi al-Bukhari, Shahih Bukhari, jil. 1, cet. Ke-1, (ttp.: Dar Thuqin Najah,
1991) hal 54
[7] Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’ats
as-Sijistani, Sunan Abi Dawud, jil. 1, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Arobi,
tt) hal. 103
[8] Ibid, hal. 144
[9] Ahmad bin Syu’aib Abu
Abdirrahman an-Nasa’I, Sunan An-Nasa’I, jil.5 (Halb: Maktab al-Mathbu’at al-Islamiyah, 1986) hlm.44
[10] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqhul Islami wa
adillatuhu, cet. Ke-2, (Damaskus: Dar al-Fikr,
1985) hal.151, lihat As-Sayyid
Saabiq, Fiqhus Sunnah, jil.1, cet, ke-4, (Beirut: Dar al-Fikr, 1973) hal.16
[11] Muhyiddin Abi Zakariya Yahya bin Syarf an-Nawawi, Shahih Muslim
Bisyarh an-Nawawi, jil.3, cet. Ke-1, (Kairo:
Maktab ats-Tsaqafi, 2001) hal. 199
[12] Wahbah az-Zuhaili, Al-Wajiz
Fil Fiqhi al-Islamy jil.1 hal 32, lihat Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqhul
Islami..., cet. Ke-2, (Damaskus: Dar al-Fikr,
1985) jil.1 hal 301
[15] Najis hakiki adalah benda-bendaa yang kotor
yang menghalangi sahnya shalat. Lihat, Wahbah az-Zuhaili, Mausu’ah
al-Fiqhi al-Islami wal Qadhaya al-Mu’ashirah, jil. 1, cet. Ke-3, (Damaskus:
Dar al-Fikr, 2012) hal. 259
[16] Ibid, hal.
274. Najis mukhaffafah adalah najis yang hukumnya ditetapkan melalui dalil yang
bukan qath’I.
[19] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami…,
jil. 1, hal. 171
[20] Ahmad bin Ali bin Hajar al-‘Asqalani, Fathul
Bari bisyarh Shahih al-Bukhari, jil. 1, (Kairo: Dar al-Hadits, 2004) hal.
389
[21] Abdurrahman al-Jazairi, al-Fiqhu ‘Ala
al-Madzahib al-Arba’ah, jil. 1, (ttp.: Dar at-Taqwa, t.t.) hal. 23
[22] Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Fathu
Dzil Jalali wal Ikram bisyarh Bulughil Maram, jil. 1, cet. Ke-1, (Kairo:
al-Maktabah al-Islamiah, 2006) hal. 155
[23] Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud al-Baghawi,
Syarhus Sunnah, jil. 1, cet. Ke-2, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah,
2003) hal. 386
[24] ‘Abdurrahman al-Jazairi, al-Fiqhu ‘Ala
al-Madzahib..., jil. 1, (ttp.:
Dar at-Taqwa, t.t.) hal. 23
[25] Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Saurah, Sunan at-Tirmidzi,
jil. 1, (Beirut: Dar al-Fikr, 2009) hal. 83
[26] Ad-Daruquthni, Sunan ad-Daruquthni,
cet. Ke-1, (Beirut: Dar al-Fikr, 1998) hal. 125
[27] Abu Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qazwini, Sunan
Ibnu Majah, jil.1, (Beirut: Dar al-Fikr, 2010) hal. 123
[28] Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim
bin al-Mughirah al-Ju’fi al-Bukhari, Shahih Bukhari, jil. 1, cet. Ke-1, (ttp.: Dar Thuqin Najah, 1991) hal. 54
[29] Abdul Karim Zaidan, Al-Mufashhal Fi
Ahkamil Mar’ah wa Baitil Muslim fi Syari’ah al-Islamiyah, jil. 1, cet.
Ke-3, (Beirut: Muassasah ar-Risalah, 2000) hal. 41
[30]
Abu al-Ula Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim
al-Mubarakfuri, Tuhfatu..., jil. 1, cet.
Ke-1, (Kairo: Dar al-Hadid, 2001) hal. 176
[31] Ibid
[34] Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Saurah, Sunan at-Tirmidzi,
jil. 1, (Beirut: Dar al-Fikr, 2009) hal. 188
[35] Abu al-Ula Muhammad Abdurrahman bin
Abdurrahim al-Mubarakfuri, Tuhfatu..., jil. 1, cet. Ke-1, (Kairo: Dar al-Hadid,
2001) hal. 177-178
[36]
Muhyiddin an-Nawawi, al-Majmu’
Syarhul Muhadzdzab, jil. 3, cet. Ke-2, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah,
2011) hal.
[37] Abu al-Ula Muhammad Abdurrahman bin
Abdurrahim al-Mubarakfuri, Tuhfatu..., jil. 1, cet. Ke-1, (Kairo: Dar al-Hadid,
2001) hal. 179
[38] Muhyiddin an-Nawawi, al-Majmu..., jil. 3, cet. Ke-2, (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiah, 2011) hal. 475
[39] Ibid
[40] Musa bin Ahmad bin Musa Salim al-Majawi,
asy-Syarhul Mumti’ ‘Ala Zadil Mustaqni’, jil. 1, (Kairo: Jannatul Afkar, 2008)
hal. 220
[41] Ibnul Qayyim al-Jauziyah, I’lamul
Muwaqqi’in ‘An Rabbil ‘Alamin, cet. Ke-1, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 2004) hal. 283
[42] Abdullah bin Abdurrahman bin Shalih Alu
Bassam, Taisirul ‘Allam Syarhu ‘Umdatil Ahkam, cet. Ke-2, (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiah, 2006) hal. 42
[43] http://forsanhaq.com/showthread.php?t=242316,
20/02/2015
0 komentar:
Posting Komentar