MASALAH
SEPUTAR HAIDH
Oleh :
Uswatun Hasanah & Ida Swisni
I.
Muqaddimah
Darah adalah salah satu komponen
terpenting dalam tubuh kita dan merupakan salah satu pembahasan yang cukup
rumit dalam masalah fiqih terkhusus darah pada wanita yang mencakup haidh,
istihadhah dan nifas. Sehingga banyak yang keliru dalam memahaminya, meski
pembahasannya telah berulang-ulang kali disampaikan. Hal ini terjadi, mungkin karena
darah tersebut keluar dari jalur yang sama, sifatnya yang tidak jauh beda dan
berbagai macam kesamaan antara ketiga darah tersebut. Namun setiap wanita tentunya
mempunyai kebiasaan masing-masing yang mungkin berbeda antar satu dan yang lainnya.
Otomatis ketika terjadi sesuatu yang tidak wajar, akan muncul pertanyaan yang
mungkin bisa membuat kita sendiri tidak bisa menentukannya.
Lalu, bagaimana cara menentukan
darah haidh ketika terjadi di luar kebiasaannya? Maka, kami akan sedikit
memaparkan salah satu jenis dari darah yang biasa dialami para kaum Hawa dengan
beberapa point yang dianggap penting.
II.
Pembahasan
A. Definisi Haidh
1.
Etimologi:
Haidh pada dasarnya berasal dari bahasa arab حاض-يحيض-حيضا. Maka bisa dikatakan air mengalir ketika
banjir, pohon yang mengalir getahnya (pohon samurah) dan jika dikatakan hadhat
al-mar’atu berarti seorang wanita yang mengalir darahnya. Oleh sebab
itu, apabila terjadi banjir pada suatu lembah, maka orang Arab menyebutkan
sebagai haadha al-waadi.[1]
2.
Terminologi:
Shahibul Kanzi[2]
dari madzhab Hanafiyah; darah yang keluar dari rahim seorang wanita dalam
keadaan sehat dan dia bukan anak kecil.[3]
Ibnu ‘Arafah dari madzhab Malikiyah; haidh adalah darah yang
biasa keluar dari rahim wanita di luar hari kelahiran.[4]
Madzhab Syafi’iyah; darah tabiat yang keluar dari ujung
rahim wanita setelah mencapai usia baligh dalam kondisi sehat tanpa sebab
apapun di masa tertentu.[5]
Madzhab Hanabilah; darah tabiat yang keluar pada saat
kondisi sehat (bukan karena persalinan), yang keluar dari bagian dalam rahim setelah
mencapai usia baligh pada masa tertentu.[6]
Haidh mempunyai banyak istilah diantaranya; الطَمْث، العِرَاك، النفاس، الضَحِك، الإعصار، الإكبار،
الفراك، الدراس،.[7]
Hukum berkenaan dengan darah ini terdapat dalam firman Allah
I,
وَيَسْأَلُوْنَكَ عَنِ الْمَحِيْضِ...
Dan juga hadits dari Rosulullah r tentang hal itu. Diriwayatkan dari
Aisyah r.a, bahwa Rosulullah r bersabda,
هَذَا شَيْئٌ كَتَبَهُ اللهُ عَلَى
بَنَاتِ ادَمَ
Darah haidh merupakan darah yang keluarnya secara alamiyah,
bukan karena suatu sebab baik kecelakaan atau pendarahan. Ini merupakan
pengkhususan bagi kaum wanita, yang tidak akan dialami oleh kaum lelaki.
Bahkan, Hawa merupakan wanita pertama kali yang mengalami haidh. Al-Hafidz
menyebutkan sebuah riwayat dari Hakim dan Ibnul Mundzir dengan sanad yang
shahih bahwa Ibnu ‘Abbas menyatakan, “Sesungguhnya, wanita pertama yang
mengalami haidh adalah Hawa, yakni setelah ia diturunkan dari surga.”[10]
B.
Warna Darah Haidh
Pendapat ulama’ Hanafi mengatakan, bahwa darah haidh ada
enam yaitu hitam, merah, kuning, keruh, kehijauan, dan warna seperti tanah. Ini
menurut pendapat yang ashah (mendekati kebenaran). Sewaktu haidh jika dilihat
ada darah dengan warna tersebut, maka ia adalah darah haidh sehingga mendapati
warna putih (al-qushah al-baidho’).
Sedangkan menurut pendapat ulama’ Syafi’i mengatakan, daftar
urutan darah haidh menurut kekuatannya ada lima yaitu hitam, merah, cokelat
(seperti tanah), kuning dan keruh. Sifat darah haidh ada empat, mulai yang
terkuat adalah kental dan busuk, kemudian busuk, kemudian kental, kemudian
tidak kental dan tidak busuk.[11]
Dari pendapat tersebut ada beberapa perbedaan pendapat, berikut rinciannya;
1.
Hitam
Kebiasaan warna darah haidh adalah hitam, tidak ada
perselisihan dalam hal ini. Sebagaimana hadits yang berkaitan dengan shahabiyah
yang mengalami istihadzhoh yaitu Fathimah bintu Abi Hubaisy, Rosulullah r berkata kepadanya,
إِذَا كَانَ دَمُ الْحَيْضِ
فَإِنَّه دَمٌ أَسْوَدُ يُعْرَفُ، فَأَمْسِكِي عَنِ الصَّلَاةِ، فَإِذَا كَانَ
الْاَخَرُ فَتَوَضَّئِي فَإِنَّمَا هُوَ عِرْقٌ
“Bila darah itu darah haidh, maka darahnya hitam yang sudah
dikenal. Sehingga tinggalkanlah shalat, jika selain itu maka berwudhulah karena
itu darah penyakit.”[12]
2.
Humrah
Ada juga yang berpendapat bahwa warna darah haidh humrah yang
berarti darah yang berwarna merah, dan darah tersebut termasuk darah haidh
menurut madzhab Hanafiyah. Sedangkan, Imam Syafi’i berpendapat bahwa itu bukan
termasuk darah haidh, beliau berhujjah dengan hadits Fathimah bintu Abi Husyaibah
yang telah disebutkan sebelumnya, dan Hanafiyah berhujjah dengan ayat,
وَيَسْأَلُوْنَكَ عَنِ الْمَحِيْضِ
قل هو أذى...
“Dan mereka menanyakan kepadamu tentang haidh. Katakanlah, “Itu
adalah sesuatu yang kotor….”[13]
Dalam ayat tersebut, dikatakan bahwa haidh adalah sebuah kotoran.
Oleh karenanya, warna darah tidak terbatas dengan warna hitam saja.
3.
Kudrah
Kudrah adalah warna pertengahan antara putih dan hitam,
darah ini keluar di akhir masa haidh menurut Hanafiyah. Jika keluar di awal
hari haidh, maka darah itu juga tergolong darah haidh menurut Imam Abu Hanifah
dan Muhammad, sedangkan menurut Abu Yusuf, bukan merupakan darah haidh.
Menurut sebagian ulama’ Hanafiyah, sufrah
(kekuning-kuningan) yang keluar di awal masa haidh, maka termasuk darah haidh.
Namun apabila darah itu keluar di akhir masa suci yang berlanjut dengan
datangnya haidh, maka darah yang berwarna kuning tersebut tidak terhitung
haidh. Adapun menurut sebagian lainnya, “Sesungguhnya darah yang keluar dengan
warna kudrah atau sufrah, itu termasuk darah haidh secara mutlak dan tidak
berlaku bagi seorang yang menopause (seorang yang sudah tidak mengalami haidh).”[14]
Ibnu Qudamah Al-Hambali berpendapat, “Jika seorang wanita
melihat darah berwarna sufrah atau kudrah yang keluar pada masa kebiasaannya,
maka itu adalah darah haidh.” Akan tetapi jika ia melihatnya setelah masa
haidhnya, maka darah tersebut tidak terhitung darah haidh. Demikianlah
ketetapan Imam Ahmad Rahimahullah, dan ulama’ yang lainnya seperti Yahya
Al-Anshari, Rabi’ah, Malik, Ats-Tsauri, Al-Auza’i, Abdurrahman bin Mahdi,
Asy-Syafi’i dan Ishaq.
Namun Abu Yusuf dan Abu Tsur berkata, “Cairan kuning dan
keruh itu tidak bisa menjadi haidh kecuali bila didahului dengan darah hitam.”[15]
Argument kami adalah firman Allah Ta’ala, “Mereka bertanya
kepadamu tentang haidh. Katakanlah, ‘Haidh adalah suatu kotoran’. “Surat al-Baqarah:
222 hal ini mencakup kudrah atau sufrah.[16]
Menurut pendapat yang paling masyhur (terkenal) di kalangan
madzhab Malikiyah bahwa darah yang berwarna kudrah atau sufrah merupakan darah
haidh, baik keluar di masa haidh atau setelah terlihat tanda suci dari haidh. Menurut
Ibnu Majisun salah satu fuqaha’ yang bermadzhab Malikiyah bahwa, “Jika keluar
di masa haidnya maka itu termasuk darah haidh, dan sebaliknya.” Dan sebagian
lainnya berpendapat, “Darah tersebut bukan darah haidh.”[17]
Sedangkan menurut Ja’fariyah dalam kitabnya yang berjudul
An-Nihayah milik Thausy, darah sufrah yang keluar di masa haidh, itu termasuk
haidh. Maksudnya adalah jika darah yang berwarna sufrah keluar di masa haidh
maka itu termasuk darah haidh, dan jika keluar di masa suci maka bukan darah haidh.[18]
Adapun pendapat yang rajih (kuat) adalah darah kudrah atau
sufrah yang keluar di masa haidh maka termasuk darah haidh, akan tetapi jika
keluar setelah masa haidh maka bukan termasuk darah haidh. Sebagaimana hadits
Ummu ‘Athiyah r.a berkata, “Kami tidak menganggap darah yang berwarna sufrah
atau kudrah yang keluar setelah masa suci.” Dikatakan dalam kitab Nailul Authar
milik Imam Asy-Syaukani, berdasarkan hadits Ummu ‘Atiyah, “Hadits tersebut
menunjukkan bahwa sufrah dan kudrah yang keluar setelah masa suci bukan
termasuk darah haidh, namun jika keluar di waktu haidh maka keduanya termasuk darah
haidh.”[19]
C.
Waktu Keluarnya Darah Haidh
Menurut jumhur fuqaha’ darah haidh mulai keluar ketika wanita
memasuki umur baligh, yaitu sekitar sembilan tahun. Namun para fuqaha’ masih
berselisih apakah terjadi pada awal umur sembilan tahun, pertengahan, atau
akhir?
Menurut madzhab Syafi’iyah, tidak ada batasan terjadinya
haidh pada awal umur sembilan tahun, pertengahan atau akhir. Akan tetapi mereka
lebih cenderung mengambil pendapat memasuki umur sembilan tahun. Jika darah
keluar sekitar usia sembilan tahun, maka darah tersebut dianggap darah haidh.
Maksudnya jika ia melihat darah sebelum genap usia sembilan tahun kurang 1-15
hari, maka itu dianggap haidh. Namun, jika sebelum genap usia sembilan tahun
kurang 16 hari atau lebih, maka itu bukan haidh.
Menurut madzhab Hanabilah, haidh terjadi pada umur tepat
sembilan tahun. Berdasarkan hadits ‘Aisyah r.a
إِذَا بَلَغَتِ الْجَارِيَةُ تِسْعَ سِنِيْنَ فَهِيَ امْرَأَةٌ
“Jika anak perempuan berumur sembilan tahun dia sudah menjadi
baligh.”[20]
Dalam hal ini ulama’ berselisih pendapat mengenai penentuan
umur putus haidh, karena tidak ada nash sharih (jelas) yang menjelaskan tentang
hal tersebut. Meskipun demikian, para ulama’ mempunyai pendapat yang dihasilkan
dengan kajian mengenai keadaan perempuan.
Menurut ulama Hanafi, pendapat yang difatwakan atau yang
terpilih, mengatakan bahwa umur putus haidh ialah 55 tahun. Jika setelah umur
itu masih melihat darah yang kuat, hitam, atau merah pekat, maka darah itu
dianggap darah haidh. Jadi berdasarkan pendapat ini, maka pendapat madzhab yang
zhahir (madzhab Zhahiriyah) menganggap jika darah itu tidak hitam dan tidak
merah pekat, maka darah itu adalah darah istihadhah.
Menurut ulama’ Maliki, umur putus haidh adalah 70 tahun.
Menurut ulama’ Syafi’i, tidak ada batasan akhir bagi umur
putus haidh. Selama dia hidup, maka selama itulah dia mungkin mengalami haidh.
Tetapi menurut kebiasaan, umur putus haidh ialah pada usia 62 tahun.
Menurut ulama’ Hambali menetapkan umur putus haidh adalah
usia 50 tahun. Mereka berpegang pada hadits Aisyah,
إِذَا بَلَغَتِ الْمَرْأَةُ
خَمْسِيْنَ سَنَةً خَرَجَتْ مِنْ حَدِّ الْحَيْضِ، وَقَالَتْ أَيْضًا : لَنْ تَرَى
فِيْ بَطْنِهَا وَلَدًا بَعْدَ الْخَمْسِيْنَ
“Apabila perempuan
mencapai umur 50 tahun, maka dia telah keluar dari batasan haidh. ‘Aisyah
juga mengatakan, “Dia tidak mengandung setelah mencapai umur 50 tahun.”[21]
Syaikh Abdurrahman As-Sa’di mengatakan, “Wanita
yang telah mencapai umur tujuh puluh tahun kemudian keluar darah seperti darah
haidh dan tidak bisa dibantah lagi bahwa darah itu adalah darah haidh, maka
tidak diragukan lagi bahwa ia harus meninggalkan shalat, karena pendapat yang
benar adalah bahwa keluarnya darah haidh tidak ada batasan umur termuda atau
tertua, dan hukum darah tersebut adalah darah haidh.[22]
D.
Masa minimal dan maksimal haidh
Darah tidak dianggap sebagai haidh, kecuali apabila
mempunyai warna-warna yang telah disebutkan sebelumnya. Darah haidh tersebut
hendaknya didahului oleh sekurang-kurangnya masa suci yang paling minimal yaitu
lima belas hari menurut jumhur ahli fiqih. Dan ia hendaknya mencapai masa haidh
yang paling minimal juga. Namun para ahlu fiqih berbeda pendaat mengenai masa
ini. [23]
Ulama’ Hanafi berpendapat bahwa masa minimal haidh adalah
tiga hari tiga malam. Jika darah keluar pada masa kurang dari itu, maka bukan
darah haidh tapi istihadhah. Dan masa maksimal ialah sepuluh hari sepuluh
malam. Apabila darah keluar lebih dari masa itu, maka dianggap sebagai darah istihadhah.
Dalil mereka ialah hadits
أَقَّلُ الْحَيْضِ لِلْجَارِيَةِ
الْبِكْرُ وَالثَّيِّبُ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ وَأَكْثَرُهُ عَشْرَةَ أَيَّامٍ
“Masa minimal haidh bagi seorang gadis dan janda adalah tiga
hari, dan batas maksimalnya adalah sepuluh hari.”[24]
Darah yang keluar lebih dari masa itu ialah darah
istihadhah. Karena penetapan yang telah dibuat oleh syara’ menyebabkan hitungan
selainnya tidak dapat dianggap sama dengan apa yang telah ditetapkan oleh
syara’.
Ulama’ madzhab Maliki berpendapat bahwa tidak ada batasan
minimal haidh, apabila dinisbatkan kepada hukum-hukum ibadah. Haidh sekurang-kurangnya
ialah satu tetesan. Adapun jika dihubungkan dengan masalah ‘iddah dan
pembuktian tidak hamil (istibra’), maka darah haidh sekurang-kurangnya adalah
satu hari atau setengah hari dan masa
maksimal haidh adalah lima belas hari.
Ulama’ Syafi’i dan Hambali berpendapat, bahwa masa haidh
sekurang-kurangnya ialah satu hari satu malam, yaitu dua puluh empat jam dan
darah keluar secara terus menurus menurut kebiasaan. Yaitu kira-kira jika
diletakkan kapas, maka kapas tersebut akan kotor dengan darah. Jika wanita
melihat darah kurang dari satu hari satu malam, maka itu adalah darah
istihadhah. Adapun masa haidh paling banyak adalah 15 hari 15 malam, jika darah
itu keluar melebihi 15 hari, maka itu darah istihadhah.
Sedangkan menurut kebiasaan adalah enam hari atau tujuh
hari. Hal ini berdasarkan hadits Rosulullah r kepada Himnah bintu Jahsy semasa beliau ditanya olehnya
…فَتَحَيَّضِيْ سِتَّةَ أَيَّامٍ أَوْ
سَبْعَةً فِي عِلْمِ اللهِ، ثُمَّ اغْتَسِلِيْ حَتَّى إِذَا رَأَيْت أَنَّكِ قَدْ
طَهُرْتِ وَاسْتَنْقَيْتِ فَصَلِّي أَرْبَعًا وَعِشْرِيْنَ لَيْلَةً وَأَيَّامَهَا
أَوْ ثَلَاثًا عِشْرِيْنَ لَيْلَةً فَصُومِي فَإِنَّ ذَلِكَ مُجْزِيْكِ…
“…Maka engkau akan haidh selama enam atau tujuh hari dalam
pengetahuan Allah I, lalu mandilah. Jika engkau
melihat bahwa dirimu telah suci dan kering, maka shalatlah engkau dalam (dua
puluh empat hari) atau dua puluh tiga hari, dan berpuasalah engkau.
Sesungguhnya hal itu cukup bagimu…[25]
Adapun pendapat yang paling kuat adalah tidak ada batasan
masa haidh yang tercepat atau pun terlama, karena tidak ada dalil yang
menunjukkan pada kedua masalah ini, demikian pendapat yang dipilih oleh Syaikh
Taqiyuddin rahimahullah.[26]
Karena ketidak adanya dalil yang menunjukkan masalah
tersebut, maka ketika seorang wanita melihat darah yang telah diketahui oleh
kaum wanita bahwa darah itu adalah darah haidh, berarti wanita tersebut sedang
dalam keadaan haidh tanpa perlu menghitung dengan waktu-waktu tertentu. Kecuali
jika keluarnya darah secara terus menerus dan tidak ada putusnya, atau berhenti
sebentar, satu atau dua hari dalam satu bulan, maka darah yang keluar tersebut
bukan darah haidh melainkan darah istihadhah (darah karena penyakit).[27]
E.
Masa minimal dan maksimal suci
Jumhur ulama’ selain Hambali[28]
berpendapat bahwa masa suci paling minimal -yang memisahkan antara dua haidh-
adalah lima belas hari. Karena dalam setiap bulan pasti ada haidh dan nifas
jika masa maksimal haidh adalh lima belas hari, maka maksimal masa suci pun
demikian, yaitu lima belas hari dan tidak ada batasan maksimal haidh.
Menurut ulama’ madzhab Hambali,[29]
masa suci antara dua haidh sekurang-kurangnya adalah tiga belas hari.
Menurut kesepakatan seluruh ahli fiqih, tidak ada batasan
maksimal untuk masa suci dari haidh. Maksud masa suci ialah masa bersihnya
seorang wanita dari darah haidh dan nifas. Suci ada dua tanda, yaitu darah
menjadi kering dan air putih lembut yang keluar pada akhir haidh (al-qushah
al-baidha’).[30]
Hadits ‘Aisyah kepada kaum wanita yang mengatasi masalah
dengan menggunakan kapas;
لَا تَعْجَلْنَ حَتَّى تَرَيْنَ
الْقُصَّةَ الَبَيْضَةَ
“Janganlah kalian tergesa-gesa hingga kalian melihat
(mendapatkan) gumpalan putih.”
III.
Penutup
Berdasarkan pemaparan di atas
dapat diambil kesimpulan:
Imam 4 Madzhab
|
Haidh
|
Suci
|
||||
Umur haidh
|
Masa haidh
|
Suci (antara 2 haidh)
|
||||
Awal
|
Akhir
|
Minimal
|
Maksimal
|
Minimal
|
Maksimal
|
|
Hanafiyah
|
9 th
|
55 th
|
3 hari
|
10 hari
|
15 hari
|
Tidak terbatas
|
Malikiyah
|
9 th
|
50 th
|
Sesaat atau sehari semalam
|
15 hari
|
15 hari
|
Tidak terbatas
|
Syafi’iyah
|
9 th
|
62 th
|
1 hari
|
15 hari
|
15 hari
|
Tidak terbatas
|
Hanabilah
|
9 th
|
50 th
|
1 hari
|
15 hari
|
13 hari
|
Tidak terbatas
|
Syaikh Abdurrahman As-Sa’di
|
Tidak ada batasan
|
-
|
-
|
-
|
-
|
|
Syaikh Taqiyuddin
|
-
|
Tidak ada batasan
|
-
|
|||
Seluruh Ahli Fiqih
|
-
|
-
|
Tidak ada batasan
|
Apapun yang telah kami simpulkan bukan sebuah ketetapan
secara mutlak, karena setiap wanita mempunyai perbedaan baik dari usia awal dan
akhir haidh, warna haidh, masa haidh dan masa sucinya. Namun yang perlu
diperhatikan bagi setiap wanita untuk meneliti atau jeli dalam menentukan
haidh. Maka ketika seorang wanita melihat darah yang telah diketahui oleh kaum
wanita bahwa darah itu adalah darah haidh, berarti wanita tersebut sedang dalam
keadaan haidh tanpa perlu menghitung dengan waktu-waktu tertentu. Kecuali jika
keluarnya darah secara terus menerus dan tidak ada putusnya, atau berhenti
sebentar, satu atau dua hari dalam satu bulan, maka darah yang keluar tersebut
bukan darah haidh melainkan darah istihadhah (darah karena penyakit).
Wallahu A’lam Bish Showab.
IV.
Referensi
Al-‘Asqalani, Ahmad bin ‘Ali bin Hajar. Fathul Bari.
Al-Qahirah: Darul Hadits. 1424 H/ 2004 M.
Al-Baihaqi, Abu Bakar Ahmad bin
Al-Husein bin ‘Ali. As-Sunan Al-Kubra Lil Baihaqi. India. 1344 H.
Al-Buhuqi,
Manshur bin Yusuf bin Idris. Kasyaful Qina’ ‘An Matnil ‘Iqna’. ‘Alimul
Kutub.
Al-Bukhori, Al-Imam Al-Hafidz Abu
Abdullah Muhammad bin Isma’il. Saudi Arab-Riyadh: Shahih Al-Bukhori.
Baitul Afkar Ad-Daulah Linnasr. 1419 H/1998 M.
Al-Hafid, Ibnu Rusyd. Bidayatul
Mujtahid Wa Nihayatul Muqtasid. Al-Qahirah: Darul Aqidah. 1425 H/ 2004 M,
cet. Pertama.
Al-Jammal, Abu Ubaidah Usamah bin
Muhammad. Shahih Fiqih Wanita Muslimah. Surakarta: Penerbit Insan Kamil.
1431 H/ 2010 M, cet. Pertama.
Al-Jaziri, ‘Abdurrahman. Al-Fiqh
‘Ala Al-Madzhab Al-Arba’ah. Dar At-Taqwa. 2003 M.
Asy-Syarbini,
Muhammad Al-Khatib. Mughni Al-Muhtaj. Bairut-Lebanon: Darul Fikri. 1429
1430 H/ 2009 M, cet. Pertama.
Asy-Syaukani, Muhammad bin ‘Ali
bin Muhammad. Nailul Authar. Al-Qahirah: Darul Hadits. 1426 H/ 2005 M.
Asy-Syaikh, Muhammad bin Ibrahim
dkk. Fatwa-Fatwa Tentang Wanita. Jakarta: Darul Haq. 2001 M.
Asy-Syuyuthi, Jalaluddin. Sunan
An-Nasa’i. Bairut-Lebanon: Darul Fikri. 1433-1434 H/ 2012 M, cet. Pertama.
Az-Zaila’i, Jamaludin Abu
Muhammad Abdullah bin Yusuf. Nashbu Ar-Rayah Li Ahaditsi Al-Hidayati.
Jeddah: Al-Maktabah Al-Makiyah.
Az-Zuhaili, Prof. Dr. Wahbah. Fiqih
Islam Wa Adillatuhu. Damaskus: Darul Fikri. 1428 H/ 2007 M, cet. Kesepuluh.
Qudamah, Ibnu. Al-Mughni.
Jakarta: Pustaka Azzam. 2007 M, cet. Pertama.
Zaidan, Dr. Abdul Karim. Al-Mufashal
Fi Ahkamil Mar’ah Wa Baitul Muslim. Bairut-Lebanon: Muasasatu Ar-Risalah.
1420 H/ 2000 M, cet. Ketiga.
[2] Abdullah bin Ahmad bin Mahmud Abu Al-Barakat Hafidhu Ad-Din
An-Nasafi (beliau lahir diwilayah Nasaf, kota Sind yang terletak antara Jihun
dan Samarkand) dari penduduk Iizaj kelompok Shahibaan. Beliau salah satu ulama’
fiqih yang bermadzhab Hanafiy yang ahli dalam fiqih dan ushul fiqih.
[24]
Diriwayatkan dari Abu Umamah oleh Ath-Thabrani dan
Ad-Daruquthni dan dari Watsilah Ibnul Asqa’ yang ada pada Daruquthni, juga dari
hadits Mu’adz bin Jabal dalam kitab Ibnu Adi, dari hadits Abu Sa’id Al-Khudri
dalam kitab Ibnul Jauzi, dari hadits Anas bin Malik dalam kitab Ibnu Adi, dari
hadts ‘Aisyah yang ada dalam kitab Ibnul Jauzi, tetapi semua hadits ini dhaif
(Nashbu Ar-Rayah jilid 1, hal. 191).
[25]
HR. Abu Dawud, Ahmad dan
Tirmidzi. Al-Bukhori menganggap hadits ini sebagai hadits hasan (Nailul Authar
jilid 1, hal. 299)
0 komentar:
Posting Komentar