Senin, 15 Desember 2014

MASALAH SEPUTAR HAIDH

                                MASALAH SEPUTAR HAIDH
Oleh : Uswatun Hasanah & Ida Swisni

       I.            Muqaddimah

Darah adalah salah satu komponen terpenting dalam tubuh kita dan merupakan salah satu pembahasan yang cukup rumit dalam masalah fiqih terkhusus darah pada wanita yang mencakup haidh, istihadhah dan nifas. Sehingga banyak yang keliru dalam memahaminya, meski pembahasannya telah berulang-ulang kali disampaikan. Hal ini terjadi, mungkin karena darah tersebut keluar dari jalur yang sama, sifatnya yang tidak jauh beda dan berbagai macam kesamaan antara ketiga darah tersebut. Namun setiap wanita tentunya mempunyai kebiasaan masing-masing yang mungkin berbeda antar satu dan yang lainnya. Otomatis ketika terjadi sesuatu yang tidak wajar, akan muncul pertanyaan yang mungkin bisa membuat kita sendiri tidak bisa menentukannya.
Lalu, bagaimana cara menentukan darah haidh ketika terjadi di luar kebiasaannya? Maka, kami akan sedikit memaparkan salah satu jenis dari darah yang biasa dialami para kaum Hawa dengan beberapa point yang dianggap penting.

    II.            Pembahasan

A.    Definisi Haidh                          

1.      Etimologi:

Haidh pada dasarnya berasal dari bahasa arab حاض-يحيض-حيضا. Maka bisa dikatakan air mengalir ketika banjir, pohon yang mengalir getahnya (pohon samurah) dan jika dikatakan hadhat al-mar’atu berarti seorang wanita yang mengalir darahnya. Oleh sebab itu, apabila terjadi banjir pada suatu lembah, maka orang Arab menyebutkan sebagai haadha al-waadi.[1]

2.      Terminologi:

Shahibul Kanzi[2] dari madzhab Hanafiyah; darah yang keluar dari rahim seorang wanita dalam keadaan sehat dan dia bukan anak kecil.[3]
Ibnu ‘Arafah dari madzhab Malikiyah; haidh adalah darah yang biasa keluar dari rahim wanita di luar hari kelahiran.[4]
Madzhab Syafi’iyah; darah tabiat yang keluar dari ujung rahim wanita setelah mencapai usia baligh dalam kondisi sehat tanpa sebab apapun di masa tertentu.[5]
Madzhab Hanabilah; darah tabiat yang keluar pada saat kondisi sehat (bukan karena persalinan), yang keluar dari bagian dalam rahim setelah mencapai usia baligh pada masa tertentu.[6]
Haidh mempunyai banyak istilah diantaranya; الطَمْث، العِرَاك، النفاس، الضَحِك، الإعصار، الإكبار، الفراك، الدراس،.[7]
Hukum berkenaan dengan darah ini terdapat dalam firman Allah I,
وَيَسْأَلُوْنَكَ عَنِ الْمَحِيْضِ...
“Dan mereka menanyakan kepadamu (Muhammad r) tentang haidh….”[8]
Dan juga hadits dari Rosulullah r tentang hal itu. Diriwayatkan dari Aisyah r.a, bahwa Rosulullah r bersabda,
هَذَا شَيْئٌ كَتَبَهُ اللهُ عَلَى بَنَاتِ ادَمَ

“Ini perkara yang telah ditetapkan oleh Allah I kepada putri-putri Adam.”[9]
Darah haidh merupakan darah yang keluarnya secara alamiyah, bukan karena suatu sebab baik kecelakaan atau pendarahan. Ini merupakan pengkhususan bagi kaum wanita, yang tidak akan dialami oleh kaum lelaki. Bahkan, Hawa merupakan wanita pertama kali yang mengalami haidh. Al-Hafidz menyebutkan sebuah riwayat dari Hakim dan Ibnul Mundzir dengan sanad yang shahih bahwa Ibnu ‘Abbas menyatakan, “Sesungguhnya, wanita pertama yang mengalami haidh adalah Hawa, yakni setelah ia diturunkan dari surga.”[10]

B.     Warna Darah Haidh

Pendapat ulama’ Hanafi mengatakan, bahwa darah haidh ada enam yaitu hitam, merah, kuning, keruh, kehijauan, dan warna seperti tanah. Ini menurut pendapat yang ashah (mendekati kebenaran). Sewaktu haidh jika dilihat ada darah dengan warna tersebut, maka ia adalah darah haidh sehingga mendapati warna putih (al-qushah al-baidho’).
Sedangkan menurut pendapat ulama’ Syafi’i mengatakan, daftar urutan darah haidh menurut kekuatannya ada lima yaitu hitam, merah, cokelat (seperti tanah), kuning dan keruh. Sifat darah haidh ada empat, mulai yang terkuat adalah kental dan busuk, kemudian busuk, kemudian kental, kemudian tidak kental dan tidak busuk.[11] Dari pendapat tersebut ada beberapa perbedaan pendapat, berikut rinciannya;

1.      Hitam

Kebiasaan warna darah haidh adalah hitam, tidak ada perselisihan dalam hal ini. Sebagaimana hadits yang berkaitan dengan shahabiyah yang mengalami istihadzhoh yaitu Fathimah bintu Abi Hubaisy, Rosulullah r berkata kepadanya,
إِذَا كَانَ دَمُ الْحَيْضِ فَإِنَّه دَمٌ أَسْوَدُ يُعْرَفُ، فَأَمْسِكِي عَنِ الصَّلَاةِ، فَإِذَا كَانَ الْاَخَرُ فَتَوَضَّئِي  فَإِنَّمَا هُوَ عِرْقٌ
“Bila darah itu darah haidh, maka darahnya hitam yang sudah dikenal. Sehingga tinggalkanlah shalat, jika selain itu maka berwudhulah karena itu darah penyakit.”[12]

2.      Humrah

Ada juga yang berpendapat bahwa warna darah haidh humrah yang berarti darah yang berwarna merah, dan darah tersebut termasuk darah haidh menurut madzhab Hanafiyah. Sedangkan, Imam Syafi’i berpendapat bahwa itu bukan termasuk darah haidh, beliau berhujjah dengan hadits Fathimah bintu Abi Husyaibah yang telah disebutkan sebelumnya, dan  Hanafiyah berhujjah dengan ayat,
وَيَسْأَلُوْنَكَ عَنِ الْمَحِيْضِ قل هو أذى...
“Dan mereka menanyakan kepadamu tentang haidh. Katakanlah, “Itu adalah sesuatu yang kotor….”[13]
Dalam ayat tersebut, dikatakan bahwa haidh adalah sebuah kotoran. Oleh karenanya, warna darah tidak terbatas dengan warna hitam saja.

3.      Kudrah

Kudrah adalah warna pertengahan antara putih dan hitam, darah ini keluar di akhir masa haidh menurut Hanafiyah. Jika keluar di awal hari haidh, maka darah itu juga tergolong darah haidh menurut Imam Abu Hanifah dan Muhammad, sedangkan menurut Abu Yusuf, bukan merupakan darah haidh.
Menurut sebagian ulama’ Hanafiyah, sufrah (kekuning-kuningan) yang keluar di awal masa haidh, maka termasuk darah haidh. Namun apabila darah itu keluar di akhir masa suci yang berlanjut dengan datangnya haidh, maka darah yang berwarna kuning tersebut tidak terhitung haidh. Adapun menurut sebagian lainnya, “Sesungguhnya darah yang keluar dengan warna kudrah atau sufrah, itu termasuk darah haidh secara mutlak dan tidak berlaku bagi seorang yang menopause (seorang yang sudah tidak mengalami haidh).”[14]
Ibnu Qudamah Al-Hambali berpendapat, “Jika seorang wanita melihat darah berwarna sufrah atau kudrah yang keluar pada masa kebiasaannya, maka itu adalah darah haidh.” Akan tetapi jika ia melihatnya setelah masa haidhnya, maka darah tersebut tidak terhitung darah haidh. Demikianlah ketetapan Imam Ahmad Rahimahullah, dan ulama’ yang lainnya seperti Yahya Al-Anshari, Rabi’ah, Malik, Ats-Tsauri, Al-Auza’i, Abdurrahman bin Mahdi, Asy-Syafi’i dan Ishaq.
Namun Abu Yusuf dan Abu Tsur berkata, “Cairan kuning dan keruh itu tidak bisa menjadi haidh kecuali bila didahului dengan darah hitam.”[15]
Argument kami adalah firman Allah Ta’ala, “Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah, ‘Haidh adalah suatu kotoran’. “Surat al-Baqarah: 222 hal ini mencakup kudrah atau sufrah.[16]
Menurut pendapat yang paling masyhur (terkenal) di kalangan madzhab Malikiyah bahwa darah yang berwarna kudrah atau sufrah merupakan darah haidh, baik keluar di masa haidh atau setelah terlihat tanda suci dari haidh. Menurut Ibnu Majisun salah satu fuqaha’ yang bermadzhab Malikiyah bahwa, “Jika keluar di masa haidnya maka itu termasuk darah haidh, dan sebaliknya.” Dan sebagian lainnya berpendapat, “Darah tersebut bukan darah haidh.”[17]
Sedangkan menurut Ja’fariyah dalam kitabnya yang berjudul An-Nihayah milik Thausy, darah sufrah yang keluar di masa haidh, itu termasuk haidh. Maksudnya adalah jika darah yang berwarna sufrah keluar di masa haidh maka itu termasuk darah haidh, dan jika keluar di masa suci maka bukan darah haidh.[18]
Adapun pendapat yang rajih (kuat) adalah darah kudrah atau sufrah yang keluar di masa haidh maka termasuk darah haidh, akan tetapi jika keluar setelah masa haidh maka bukan termasuk darah haidh. Sebagaimana hadits Ummu ‘Athiyah r.a berkata, “Kami tidak menganggap darah yang berwarna sufrah atau kudrah yang keluar setelah masa suci.” Dikatakan dalam kitab Nailul Authar milik Imam Asy-Syaukani, berdasarkan hadits Ummu ‘Atiyah, “Hadits tersebut menunjukkan bahwa sufrah dan kudrah yang keluar setelah masa suci bukan termasuk darah haidh, namun jika keluar di waktu haidh maka keduanya termasuk darah haidh.”[19]

C.     Waktu Keluarnya Darah Haidh

Menurut jumhur fuqaha’ darah haidh mulai keluar ketika wanita memasuki umur baligh, yaitu sekitar sembilan tahun. Namun para fuqaha’ masih berselisih apakah terjadi pada awal umur sembilan tahun, pertengahan, atau akhir?
Menurut madzhab Syafi’iyah, tidak ada batasan terjadinya haidh pada awal umur sembilan tahun, pertengahan atau akhir. Akan tetapi mereka lebih cenderung mengambil pendapat memasuki umur sembilan tahun. Jika darah keluar sekitar usia sembilan tahun, maka darah tersebut dianggap darah haidh. Maksudnya jika ia melihat darah sebelum genap usia sembilan tahun kurang 1-15 hari, maka itu dianggap haidh. Namun, jika sebelum genap usia sembilan tahun kurang 16 hari atau lebih, maka itu bukan haidh.
Menurut madzhab Hanabilah, haidh terjadi pada umur tepat sembilan tahun. Berdasarkan hadits ‘Aisyah r.a
  إِذَا بَلَغَتِ الْجَارِيَةُ تِسْعَ سِنِيْنَ فَهِيَ امْرَأَةٌ
“Jika anak perempuan berumur sembilan tahun dia sudah menjadi baligh.”[20]
Dalam hal ini ulama’ berselisih pendapat mengenai penentuan umur putus haidh, karena tidak ada nash sharih (jelas) yang menjelaskan tentang hal tersebut. Meskipun demikian, para ulama’ mempunyai pendapat yang dihasilkan dengan kajian mengenai keadaan perempuan.
Menurut ulama Hanafi, pendapat yang difatwakan atau yang terpilih, mengatakan bahwa umur putus haidh ialah 55 tahun. Jika setelah umur itu masih melihat darah yang kuat, hitam, atau merah pekat, maka darah itu dianggap darah haidh. Jadi berdasarkan pendapat ini, maka pendapat madzhab yang zhahir (madzhab Zhahiriyah) menganggap jika darah itu tidak hitam dan tidak merah pekat, maka darah itu adalah darah istihadhah.
Menurut ulama’ Maliki, umur putus haidh adalah 70 tahun.
Menurut ulama’ Syafi’i, tidak ada batasan akhir bagi umur putus haidh. Selama dia hidup, maka selama itulah dia mungkin mengalami haidh. Tetapi menurut kebiasaan, umur putus haidh ialah pada usia 62 tahun.
Menurut ulama’ Hambali menetapkan umur putus haidh adalah usia 50 tahun. Mereka berpegang pada hadits Aisyah,
إِذَا بَلَغَتِ الْمَرْأَةُ خَمْسِيْنَ سَنَةً خَرَجَتْ مِنْ حَدِّ الْحَيْضِ، وَقَالَتْ أَيْضًا : لَنْ تَرَى فِيْ بَطْنِهَا وَلَدًا بَعْدَ الْخَمْسِيْنَ
 “Apabila perempuan mencapai umur 50 tahun, maka dia telah keluar dari batasan haidh. ‘Aisyah juga mengatakan, “Dia tidak mengandung setelah mencapai umur 50 tahun.”[21]
Syaikh Abdurrahman As-Sa’di mengatakan, “Wanita yang telah mencapai umur tujuh puluh tahun kemudian keluar darah seperti darah haidh dan tidak bisa dibantah lagi bahwa darah itu adalah darah haidh, maka tidak diragukan lagi bahwa ia harus meninggalkan shalat, karena pendapat yang benar adalah bahwa keluarnya darah haidh tidak ada batasan umur termuda atau tertua, dan hukum darah tersebut adalah darah haidh.[22]

D.    Masa minimal dan maksimal haidh

Darah tidak dianggap sebagai haidh, kecuali apabila mempunyai warna-warna yang telah disebutkan sebelumnya. Darah haidh tersebut hendaknya didahului oleh sekurang-kurangnya masa suci yang paling minimal yaitu lima belas hari menurut jumhur ahli fiqih. Dan ia hendaknya mencapai masa haidh yang paling minimal juga. Namun para ahlu fiqih berbeda pendaat mengenai masa ini. [23]
Ulama’ Hanafi berpendapat bahwa masa minimal haidh adalah tiga hari tiga malam. Jika darah keluar pada masa kurang dari itu, maka bukan darah haidh tapi istihadhah. Dan masa maksimal ialah sepuluh hari sepuluh malam. Apabila darah keluar lebih dari masa itu, maka dianggap sebagai darah istihadhah.
Dalil mereka ialah hadits
أَقَّلُ الْحَيْضِ لِلْجَارِيَةِ الْبِكْرُ وَالثَّيِّبُ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ وَأَكْثَرُهُ عَشْرَةَ أَيَّامٍ
“Masa minimal haidh bagi seorang gadis dan janda adalah tiga hari, dan batas maksimalnya adalah sepuluh hari.”[24]
Darah yang keluar lebih dari masa itu ialah darah istihadhah. Karena penetapan yang telah dibuat oleh syara’ menyebabkan hitungan selainnya tidak dapat dianggap sama dengan apa yang telah ditetapkan oleh syara’.
Ulama’ madzhab Maliki berpendapat bahwa tidak ada batasan minimal haidh, apabila dinisbatkan kepada hukum-hukum ibadah. Haidh sekurang-kurangnya ialah satu tetesan. Adapun jika dihubungkan dengan masalah ‘iddah dan pembuktian tidak hamil (istibra’), maka darah haidh sekurang-kurangnya adalah satu hari atau setengah hari dan  masa maksimal haidh adalah lima belas hari.
Ulama’ Syafi’i dan Hambali berpendapat, bahwa masa haidh sekurang-kurangnya ialah satu hari satu malam, yaitu dua puluh empat jam dan darah keluar secara terus menurus menurut kebiasaan. Yaitu kira-kira jika diletakkan kapas, maka kapas tersebut akan kotor dengan darah. Jika wanita melihat darah kurang dari satu hari satu malam, maka itu adalah darah istihadhah. Adapun masa haidh paling banyak adalah 15 hari 15 malam, jika darah itu keluar melebihi 15 hari, maka itu darah istihadhah.
Sedangkan menurut kebiasaan adalah enam hari atau tujuh hari. Hal ini berdasarkan hadits Rosulullah r kepada Himnah bintu Jahsy semasa beliau ditanya olehnya
فَتَحَيَّضِيْ سِتَّةَ أَيَّامٍ أَوْ سَبْعَةً فِي عِلْمِ اللهِ، ثُمَّ اغْتَسِلِيْ حَتَّى إِذَا رَأَيْت أَنَّكِ قَدْ طَهُرْتِ وَاسْتَنْقَيْتِ فَصَلِّي أَرْبَعًا وَعِشْرِيْنَ لَيْلَةً وَأَيَّامَهَا أَوْ ثَلَاثًا عِشْرِيْنَ لَيْلَةً فَصُومِي فَإِنَّ ذَلِكَ مُجْزِيْكِ
“…Maka engkau akan haidh selama enam atau tujuh hari dalam pengetahuan Allah I, lalu mandilah. Jika engkau melihat bahwa dirimu telah suci dan kering, maka shalatlah engkau dalam (dua puluh empat hari) atau dua puluh tiga hari, dan berpuasalah engkau. Sesungguhnya hal itu cukup bagimu…[25]
Adapun pendapat yang paling kuat adalah tidak ada batasan masa haidh yang tercepat atau pun terlama, karena tidak ada dalil yang menunjukkan pada kedua masalah ini, demikian pendapat yang dipilih oleh Syaikh Taqiyuddin rahimahullah.[26]
Karena ketidak adanya dalil yang menunjukkan masalah tersebut, maka ketika seorang wanita melihat darah yang telah diketahui oleh kaum wanita bahwa darah itu adalah darah haidh, berarti wanita tersebut sedang dalam keadaan haidh tanpa perlu menghitung dengan waktu-waktu tertentu. Kecuali jika keluarnya darah secara terus menerus dan tidak ada putusnya, atau berhenti sebentar, satu atau dua hari dalam satu bulan, maka darah yang keluar tersebut bukan darah haidh melainkan darah istihadhah (darah karena penyakit).[27]

E.     Masa minimal dan maksimal suci

Jumhur ulama’ selain Hambali[28] berpendapat bahwa masa suci paling minimal -yang memisahkan antara dua haidh- adalah lima belas hari. Karena dalam setiap bulan pasti ada haidh dan nifas jika masa maksimal haidh adalh lima belas hari, maka maksimal masa suci pun demikian, yaitu lima belas hari dan tidak ada batasan maksimal haidh.
Menurut ulama’ madzhab Hambali,[29] masa suci antara dua haidh sekurang-kurangnya adalah tiga belas hari.
Menurut kesepakatan seluruh ahli fiqih, tidak ada batasan maksimal untuk masa suci dari haidh. Maksud masa suci ialah masa bersihnya seorang wanita dari darah haidh dan nifas. Suci ada dua tanda, yaitu darah menjadi kering dan air putih lembut yang keluar pada akhir haidh (al-qushah al-baidha’).[30]
Hadits ‘Aisyah kepada kaum wanita yang mengatasi masalah dengan menggunakan kapas;
لَا تَعْجَلْنَ حَتَّى تَرَيْنَ الْقُصَّةَ الَبَيْضَةَ
“Janganlah kalian tergesa-gesa hingga kalian melihat (mendapatkan) gumpalan putih.”

 III.            Penutup

Berdasarkan pemaparan di atas dapat diambil kesimpulan:

Imam 4 Madzhab

Haidh

Suci

Umur haidh

Masa haidh

Suci (antara 2 haidh)

Awal

Akhir

Minimal

Maksimal

Minimal

Maksimal

Hanafiyah

9 th

55 th

3 hari

10 hari

15 hari

Tidak terbatas

Malikiyah

9 th

50 th

Sesaat atau sehari semalam

15 hari

15 hari
Tidak terbatas

Syafi’iyah

9 th

62 th

1 hari

15 hari

15 hari
Tidak terbatas

Hanabilah

9 th

50 th

1 hari

15 hari

13 hari
Tidak terbatas

Syaikh Abdurrahman As-Sa’di

Tidak ada batasan

-


-

-
-

Syaikh Taqiyuddin

-

Tidak ada batasan

-

Seluruh Ahli Fiqih

-

-

Tidak ada batasan

Apapun yang telah kami simpulkan bukan sebuah ketetapan secara mutlak, karena setiap wanita mempunyai perbedaan baik dari usia awal dan akhir haidh, warna haidh, masa haidh dan masa sucinya. Namun yang perlu diperhatikan bagi setiap wanita untuk meneliti atau jeli dalam menentukan haidh. Maka ketika seorang wanita melihat darah yang telah diketahui oleh kaum wanita bahwa darah itu adalah darah haidh, berarti wanita tersebut sedang dalam keadaan haidh tanpa perlu menghitung dengan waktu-waktu tertentu. Kecuali jika keluarnya darah secara terus menerus dan tidak ada putusnya, atau berhenti sebentar, satu atau dua hari dalam satu bulan, maka darah yang keluar tersebut bukan darah haidh melainkan darah istihadhah (darah karena penyakit).
Wallahu A’lam Bish Showab.

 IV.            Referensi

Al-‘Asqalani, Ahmad bin ‘Ali bin Hajar. Fathul Bari. Al-Qahirah: Darul Hadits. 1424 H/ 2004 M.
Al-Baihaqi, Abu Bakar Ahmad bin Al-Husein bin ‘Ali. As-Sunan Al-Kubra Lil Baihaqi. India. 1344 H.
Al-Buhuqi, Manshur bin Yusuf bin Idris. Kasyaful Qina’ ‘An Matnil ‘Iqna’. ‘Alimul Kutub.
Al-Bukhori, Al-Imam Al-Hafidz Abu Abdullah Muhammad bin Isma’il. Saudi Arab-Riyadh: Shahih Al-Bukhori. Baitul Afkar Ad-Daulah Linnasr. 1419 H/1998 M.
Al-Hafid, Ibnu Rusyd. Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtasid. Al-Qahirah: Darul Aqidah. 1425 H/ 2004 M, cet. Pertama.
Al-Jammal, Abu Ubaidah Usamah bin Muhammad. Shahih Fiqih Wanita Muslimah. Surakarta: Penerbit Insan Kamil. 1431 H/ 2010 M, cet. Pertama.
Al-Jaziri, ‘Abdurrahman. Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzhab Al-Arba’ah. Dar At-Taqwa. 2003 M.
Asy-Syarbini, Muhammad Al-Khatib. Mughni Al-Muhtaj. Bairut-Lebanon: Darul Fikri. 1429 1430 H/ 2009 M, cet. Pertama.
Asy-Syaukani, Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad. Nailul Authar. Al-Qahirah: Darul Hadits. 1426 H/ 2005 M.
Asy-Syaikh, Muhammad bin Ibrahim dkk. Fatwa-Fatwa Tentang Wanita. Jakarta: Darul Haq. 2001 M.
Asy-Syuyuthi, Jalaluddin. Sunan An-Nasa’i. Bairut-Lebanon: Darul Fikri. 1433-1434 H/ 2012 M, cet. Pertama.
Az-Zaila’i, Jamaludin Abu Muhammad Abdullah bin Yusuf. Nashbu Ar-Rayah Li Ahaditsi Al-Hidayati. Jeddah: Al-Maktabah Al-Makiyah.
Az-Zuhaili, Prof. Dr. Wahbah. Fiqih Islam Wa Adillatuhu. Damaskus: Darul Fikri. 1428 H/ 2007 M, cet. Kesepuluh.
Qudamah, Ibnu. Al-Mughni. Jakarta: Pustaka Azzam. 2007 M, cet. Pertama.
Zaidan, Dr. Abdul Karim. Al-Mufashal Fi Ahkamil Mar’ah Wa Baitul Muslim. Bairut-Lebanon: Muasasatu Ar-Risalah. 1420 H/ 2000 M, cet. Ketiga.



[1] Fiqih Islam Wa Adilatuhu jilid 1, hal. 508
[2] Abdullah bin Ahmad bin Mahmud Abu Al-Barakat Hafidhu Ad-Din An-Nasafi (beliau lahir diwilayah Nasaf, kota Sind yang terletak antara Jihun dan Samarkand) dari penduduk Iizaj kelompok Shahibaan. Beliau salah satu ulama’ fiqih yang bermadzhab Hanafiy yang ahli dalam fiqih dan ushul fiqih.
[3] Hasyiyah Ibnu ‘Abidin jilid 1, hal. 188
[4] Hasyiyah Ad-Dusuqi jilid 1, hal. 168
[5] Mughni Al-Muhtaj jilid 1, hal. 152
[6] Kasyafu Al-Qina’ jilid 1, hal. 181
[7] Ibid
[8] QS. Al-Baqarah: 222
[9] HR. Bukhori, no; 294
[10] Fathul Bari jilid 1, hal. 473
[11] Fiqih Islam Wa Adilatuhu jilid 1, hal. 511
[12] HR. An-Nasa’i, no. 359
[13] Surat Al-Baqarah ayat 222
[14] Al-Mufashal jilid 1, hal. 106
[15] Al-Mughni jilid 1, hal. 547-548
[16] Al-Mughni jilid 1, hal. 332
[17] Al-Mufashal jilid 1, hal. 106
[18] Al-Mufashal jilid 1, hal. 107
[19] Nailul Authar Li Asy-Syaukani jilid 1, hal. 374
[20] Al-Baihaqi jilid 1, hal. 319
[21] Fiqih Islam Wa Adilatuhu jili 1, hal. 509
[22] Fatwa-Fatwa Tentang Wanita jilid 1, hal. 44
[23] Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtasid jilid 1, hal. 68
[24] Diriwayatkan dari Abu Umamah oleh Ath-Thabrani dan Ad-Daruquthni dan dari Watsilah Ibnul Asqa’ yang ada pada Daruquthni, juga dari hadits Mu’adz bin Jabal dalam kitab Ibnu Adi, dari hadits Abu Sa’id Al-Khudri dalam kitab Ibnul Jauzi, dari hadits Anas bin Malik dalam kitab Ibnu Adi, dari hadts ‘Aisyah yang ada dalam kitab Ibnul Jauzi, tetapi semua hadits ini dhaif (Nashbu Ar-Rayah jilid 1, hal. 191).
[25] HR. Abu Dawud, Ahmad dan Tirmidzi. Al-Bukhori menganggap hadits ini sebagai hadits hasan (Nailul Authar jilid 1, hal. 299)
[26] Fatawa Wa Rasail Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh, 2/218
[27] Fatwa-Fatwa Tentang Wanita jilid 1, hal. 51
[28] Mughni Al-Muhtaj jilid 1, hal. 153
[29] Kasyaful Qina’ jilid 1 hal. 197
[30] Bidayatul Mujtahid jilid 1 hal. 68

0 komentar:

Posting Komentar

 
;